“Yang Penting Ngerti.” Masa?
Sejak dulu gue orang yang paling rewel soal ketertiban berbahasa dan paling “gemes” (pengen nyubit — pake gunting kawat) sama orang yang bilang, “Udahlah, nggak usah terlalu musingin bahasa, yang penting sama-sama ngerti.” Iya kalo elu lagi belajar bahasa asing, memang bener nggak usah terlalu mikirin struktur dulu, karena keberanian mencoba lebih penting. Kayak pedagang-pedagang di daerah wisata: strukturnya kacau, pelafalan sekadar mirip tapi yang penting bisa ngobrol sama turis dan dagangan laku. Nggak papa. Tapi kalo lagi ngomong bahasa sendiri, bahasa yang kita pelajari sejak kecil, maka bahasa itu ibarat OS (operating system) di ponsel: dia melandasi bagaimana informasi kita terima, kita olah, dan kita sampaikan balik ke dunia. Kalau logika bahasa kita kacau, maka kita ibarat ponsel yang OS-nya error: biar kata prosesornya pake Snapdragon seri terbaru, RAM 1 TB, maka pas dipake juga akan error. Minimal lemot banget dan bikin emosi pemakainya.
Kasus Arawinda dan “press release” yang dikeluarkan perusahaan manajemen yang menaunginya; Kite Entertainment (selanjutnya gue singkat KE ya) adalah contoh betapa gawatnya kalau logika bahasa yang error dipaksakan untuk menulis publikasi massa: mencoba meredam satu masalah dengan menciptakan masalah baru yang dampaknya malah lebih luas.
Mari kita bahas satu per satu.
(lebih…)