Filosofi Slow Shutter Speed


Teknik fotografi slow shutter speed adalah memotret dengan kecepatan buka-tutup diafragma yang relatif lambat. Karena diafragma adalah pintu masuk cahaya menuju sensor/film, maka bila kecepatan buka-tutupnya diperlambat, volume cahaya yang masuk ke sensor/film bisa lebih banyak. Akibatnya obyek yang tadinya kelihatan gelap bisa jadi lebih terang, obyek yang tadinya tersembunyi dalam gelap jadi muncul. Syarat untuk melakukan teknik ini: kamera harus dalam keadaan stabil, bisa dengan bantuan tripod atau ditaruh di landasan yang kokoh, nggak boleh gerak sedikit pun. Kalau shutter speed lambat, lalu kamera goyang sedikiiit, aja, maka gambar akan blur.

Prinsip yang sama berlalu saat kita lagi mengahadapi situasi yang kurang jelas, yang belum bisa kita pahami. Tetap tenang, ambil waktu sedikit lebih lama untuk hening, buka mata (dan pikiran) untuk untuk menangkap dan mengolah semua informasi yang mungkin terlewatkan. Seperti kamera yang membuka diafragmanya lebih lama untuk menghasilkan gambar yang lebih terang, pikiran yang terbuka lebih lama, akan menerima informasi yang oebih banyak. Syaratnya juga sama: saat melakukannya, sikap kita harus tenang, karena kalau dilakukan dalam keadaan labil, akibatnya malah gampang terpengaruh informasi yang salah. Seperti gambar yang lebih terang saat diambil dengan teknik slow shutter speed, keputusan yang diambil dengan pikiran yang terbuka dan tenang, biasanya akan lebih tepat.

Apa teknik yang kalian gunakan untuk mengahadapi masalah sulit? Ceritain di komentar ya!

Prinsip Wing Chun: Worth It Nggak?


ip-man-2-movie-poster

Gambar gue pinjem dari sini

Selama beberapa bulan terakhir ini, gue ikut latihan wing chun di kantor. Itu lho, aliran bela diri yang ada di film Ip Man. Tapi kalo gue bilang ‘selama beberapa bulan terakhir’ jangan bayangin latihan rutin penuh disiplin ya. Kadang bolos latihan karena ada tugas luar kota, kadang karena diajak temen-temen nonton, kadang karena males aja. Yah, wing chun ala kantoran lah.

Berhubung pesertanya sedikit, biasanya setelah latihan selesai ada sesi tanya jawab sama Sifu (guru). Bagian sini yang seru, karena topiknya nggak terbatas soal wing chun tapi juga aliran bela diri lainnya. Maklum sifunya juga menguasai beberapa aliran di luar wing chun.

Di salah satu kesempatan tanya jawab, gue nanya begini:

Sifu, kadang di bis kan suka ada orang yang ngaku-ngaku baru keluar penjara, ada yang ngamen setengah nodong dengan belaga mabok, ada preman malakin penumpang. Ada nggak sih jurus wing chun yang ringan aja, sekedar buat nakut-nakutin mereka biar nggak ngocol?

Di luar dugaan, ternyata Sifu jawab begini:

(lebih…)

Boss itu ibarat perut…


Sore tadi, gue dan sejumlah temen terjebak di kantor nggak bisa pulang gara-gara ujan deras. Perut lapar, tapi mau jajan di depan kantor nggak bisa karena, lagi-lagi, ujan deras. Maka kami memutuskan untuk pesan pizza.

Pizza dateng, dan langsung diganyang rame-rame. Nggak lama kemudian, muncullah si boss dari ruangannya. Rupanya dia abis meeting kecil dengan beberapa orang kroconya (baca = orang-orang senasib dengan gue).

“Wah… wah, ada pizza ya… kok nggak bilang-bilang sih?” kata boss.
“Abis tadi kayaknya lagi serius, jadi takut ganggu,” kata gue.
“Trus gue masih kebagian nggak nih?”
“Yah, mudah-mudahan ya… siapa cepat, dia dapat…”

Untungnya boss masih kebagian sepotong, dan sambil ngunyah pizza dia tiba-tiba dapet inspirasi untuk berfilsafat.

“Gini ya gung, gue kasih tau nih pepatah kuno. Boss itu, ibarat perut. Coba lu pikir, semua anggota badan kita kan tujuannya satu, yaitu mengisi perut, kan? Tangan mengambil makanan, masuk ke mulut, dikunyah oleh gigi, masuk perut. Kalo makanannya jauh, maka kaki harus kerja. Dia jalan ke tempat makanan, supaya tangan bisa kerja memasukkan makanan ke perut. Mata, telinga, hidung, tugasnya seperti radar, mencari makanan untuk masuk ke dalam perut. Otak bertugas mikir, gimana caranya dapat makanan untuk diisi ke dalam perut. Kalau perut kenyang, terisi dengan makanan yang baik, siapa yang senang? Tangan, kaki, mata, hidung, semuanya senang, semua kebagian jatah yang dibagikan oleh perut.

Nah, boss itu juga seperti itu. Tugas kalian menyenangkan boss, kalo boss senang, pasti kalian juga senang. Salah satu caranya adalah dengan mengambilkan pizza buat boss saat boss lagi meeting.”

“Oh gitu ya boss. Seluruh anggota tubuh tugasnya mengisi perut, ya? Lalu bagaimana dengan pantat, boss? Tugas dia kan mengosongkan perut, bukan mengisi perut?”

“Bener juga. Ya deh, ya deh gue ralat. Tugas seluruh anggota tubuh adalah menjaga kesejahteraan perut, itu termasuk mengisi dan mengosongkan. Kalo diisi terus tapi nggak dikosongkan kan perutnya bisa sakit. Nah di situlah peran pantat…”

“Tapi kadang ada perut yang suka nggak tau diri boss. Udah dijaga kesejahteraannya, tapi tangan dan kaki masih belum sejahtera. Itu gimana tuh boss?”

“Ya itu artinya perut nggak tau diri. Ya udahlah pokoknya pepatahnya gitu,” jawab si boss mulai males.

“Trus gimana dengan bulu-buluan seperti rambut, alis, kumis, jenggot… itu kan nggak ada kontribusinya terhadap upaya menjaga kesejahteraan perut, boss? Mereka cuma terima enaknya aja, dapet pembagian dari perut. Padahal nggak kerja apa-apa, cuma numpang hidup.”

“Ya ada dong. Kan kalo kita cari makan kita harus jaga penampilan yang rapi dengan mengurus rambut, kumis, jenggot…”

“Atau mungkin rambut, kumis, jenggot melambangkan pemegang saham kali ya boss. Nggak usah kerja tinggal nerima hasilnya doang.”

“Hhhh… makasih pizzanya. Mari kita pulang.”

Foto: poster buatan gue, menampilkan si boss pada suatu hari kebetulan pake baju kembar dengan salah satu kroconya.