Selamat Hari Film Nasional!


Lebih dr setengah responden jajak pendapat Kompas bilang bahwa mrk lbh sering nonton film Indonesia dan yakin film Indonesia bisa bersaing dengan film asing. Selamat hari film nasional!

View on Path

Mampir Ya… Ke Blog Baru Gue!


Permisi… numpang ngiklan… gue sekarang punya blog baru lho! Isinya seputar film, mulai dari review, prediksi film yang akan muncul, berita behind the scene, yang semuanya dibalut dalams ocehan  yang kurang berguna.

Alamatnya adalah:

nontondeh.blogspot.com

Sekarang baru ada 2 posting di sana, tapi akan segera bertambah kok. Amin? Bilang amin, dong!

Ditunggu kunjungannya!

[review] Evil Dead


EVILDEAD-newart

Sejujurnya gue nggak terlalu tertarik sama film ini, tapi tetep gue tulis review-nya sebagai penyeimbang bahwa nggak bener semua film Hollywood itu bagus. Ini, adalah salah satu yang culun – dan sangat nggak kreatif.

Pertama-tama, ini adalah remake dari film berjudul sama keluaran tahun 1981, alias bukti lain dari penurunan kreativitas sineas Hollywood yang gue tulis di posting yang ini. Gue belum nonton film yang dulunya kayak apa, jadi gue nonton film ini tanpa pembanding. Dan karena dia digadang-gadang sebagai “The Most Terrifying Film You Will Ever Experience”, maka cukup tinggi lah harapan gue atas film ini.

(lebih…)

Nonton Film Indonesia? Emang Penting, Ya?


“Nonton film Indonesia yuk!”

“Idih! Film Indonesia kan jelek!”

“Emangnya lu pernah nonton film Indonesia yang mana?”

“Nggak pernah! Abis jelek!”

Dialog barusan bener-bener pernah, bahkan lumayan sering, gue alami dengan temen-temen gue: ogah nonton film Indonesia karena (konon) jelek, sambil mengakui bahwa nggak pernah nonton film Indonesia.

Kalo pun didesak lebih lanjut, biasanya orang anti film Indonesia karena:

  • aktingnya kaku, kurang penghayatan
  • penggarapannya asal-asalan
  • temanya hantu-hantuan melulu
  • naskahnya nggak natural, terlalu nyastra

Dan kalo ditanya, film yang bagus itu seperti apa sih? Rata-rata menunjuk film Hollywood sebagai patokan.

Dengan demikian, menurut sebagian orang yang gue kenal, film Hollywood lebih bagus dari film Indonesia.

Bener, nih?

(lebih…)

Ketika Iron Man Berteman dengan Dudung


Udah nonton Iron Man 3?

Mungkin nggak semua orang suka, tapi pasti semua orang setuju bahwa film itu akan sangat memukau bagi bocah berumur 6 tahun.

Dalam hal ini adalah Rafi.

Setelah bapaknya (dalam hal ini gue) secara sangat salah mengiyakan permintaannya untuk nonton Iron Man 3 sampe 2 kali, Rafi nggak bisa berhenti membahas segala aspek film itu mulai dari bangun tidur sampe tidur lagi.

(lebih…)

[review] 9 Summers, 10 Autumns


Gue ini penonton tipe orientasi hasil: yaitu penonton yang maunya dibikin penasaran ingin tahu gimana ending sebuah, berharap yang terjadi di luar tebakannya. Abis, kayaknya percuma aja ngabisin waktu 1,5 sampe 2 jam duduk di bioskop kalo udah tau ceritanya akan jadi gimana.

Tapi gue juga tau bahwa nggak semua film dirancang untuk ngasih kejutan di bagian akhir.  Ada film yang orientasinya proses: mau ngasih lihat gimana perkembangan alur sebuah cerita, tahap demi tahap, tanpa ada usaha ngasih kejutan di bagian akhir. Film 9 Summers 10 Autumn ini termasuk yang berorientasi proses.

(lebih…)

Impossible Conversation


Iseng-iseng nyalain TV, ada film “Due Date” (Robert Downey, Jr. & Zach Galifianakis). Lagi tengah-tengah nonton, muncullah Rafi.

“Bapak! Ini film Iron Man ya?” katanya sambil menunjuk Robert Downey, Jr. yang lagi muncul di layar.

“Bukan. Ini film lain.”

“Tapi itu ada Tony Stark!” katanya keukeuh.

“Jadi begini, ya. Orang itu nama benerannya bukan Tony Stark. Dia itu namanya Robert. Pekerjaannya main film. Kalau dia lagi main film Iron Man, namanya jadi Tony Stark. Tapi di film ini, namanya Peter,” gue mengerahkan kemampuan untuk berusaha menjelaskan.

“Oooo gitu,” kata Rafi sambil manggut-manggut.

Lima menit berlalu dalam kedamaian, sampe akhirnya dia angkat bicara lagi.

“Bapak… tapi si Peter ini mirip sekali ya dengan Tony Stark…”

“Arrgh! Gimana sih Rafi, tadi kan sudah bapak jelaskan! Dia memang yang jadi Tony Stark di film Iron Man, tapi di film ini namanya Peter. Kan filmnya berbeda.”

“Oh, gitu…” jawab Rafi kurang meyakinkan.

Lima menit lagi berlalu, akhirnya dia bangkit dari duduk dan ngeloyor ke kamar sambil bilang, “Bapak benar. Setelah diperhatikan, dia nggak terlalu mirip kok dengan Tony Stark…”

*Bapaknya ngemil boneka Iron Man*

Dari Filmmaking Workshop @america bagian 1: “Naskah yang Buruk = Nasi Pera”


Bertahun-tahun gue ngecap di blog ini tentang film, ngomentarin suatu film kurang ini atau kurang itu, harusnya begini dan kenapa kok begitu, padahal pengetahuan tentang film masih nol. Itulah alasan kenapa gue tertarik banget dengan program @america yang satu ini: Filmmaking Workshop bersama Monty Tiwa.

Buat yang belum tahu, @america yang berlokasi di Pacific Place lantai 3 ini adalah sebuah pusat kebudayaan yang (kayaknya) didanai oleh pemerintah Amerika. Secara rutin mereka bikin aneka acara yang bagus-bagus. Ada hiburan, ada juga yang berbagi pengetahuan. Dulu gue pernah ngajak Rafi waktu acaranya shooting serial ‘Jalan Sesama’ (versi lokal Sesame Street). Setau gue semua programnya gratis. Kalo mau tau lebih banyak, bisa cek di situs resminya.

Monty Tiwa adalah orang serba bisa yang pernah jadi penulis naskah, editor, sutradara, produser, bahkan penulis soundtrack. Karya terbarunya sebagai sutradara adalah Test Pack. Dalam workshop ini, dia akan menceritakan secara ringkas proses pembuatan film dari awal sampai akhir, dibagi dalam 4 pertemuan.

Sesuai dengan motto gue dalam ngeblog yaitu: “berbagi segala hal yang menarik dan / atau berguna” – maka berikut ini hasil rangkuman sesi pertama. Mudah-mudahan menarik dan bermanfaat buat kalian para penggemar film. (lebih…)

Laman: 1 2 3 4 5 6 7

[2012-023] The Amazing Spider-Man


The Amazing Spider-Man Poster

Gue sebenernya rada pesimis dengan reboot film Spider-Man ini, karena:

  • kostumnya nampak terlalu sederhana, nggak glossy kayak kostumnya Tobey Maguire. Lambang laba-laba di punggungnya juga nampak terlalu kurus, nyaris nggak kelihatan.
  • trailer terakhir yang dirilis berdurasi 6 menit. Ini pertanda apa kalo bukan kurang pede takut filmnya nggak laku?
  • tongkrongan Andrew Garfield nampak kurang nerd, kalo dibandingin dengan kadar ke-nerd-annya Tobey. Padahal Peter Parker seharusnya super nerd.
  • setelah Spider-Man 3 menampilkan Venom, musuh terbesarnya, seharusnya film selanjutnya menampilkan musuh yang lebih sangar lagi. Carnage, misalnya. Masa The Lizard?

Tapi ternyata film ini mampu melewati semua ekspektasi gue.

(lebih…)

[2012-022] Prometheus


Prometheus Movie Poster

Film dibuka dengan pemandangan bumi yang masih kosong melompong, didarati sebuah pesawat luar angkasa gede. Ada mahluk berkulit abu-abu muncul, kelihatannya berasal dari pesawat gede itu. Dia minum sebuah cairan item, lalu nyemplung ke sungai. Di dalam air, badannya protol satu-satu dan melebur dengan air. Abis itu setting loncat ke tahun 2089. Sekelompok arkeolog yang dipimpin Elizabeth ‘Ellie’ Shaw (Noomi Rapace) dan Charlie Holloway (Logan Marshall-Green) menemukan bukti ke sekian di gua bahwa orang-orang zaman purba dari berbagai belahan bumi memuja ‘dewa’ yang sama. Ellie dan Charlie berkesimpulan, ‘dewa’ ini adalah pengunjung dari angkasa luar, dan mereka adalah para ‘engineer’ yang melakukan rekayasa genetik untuk menciptakan manusia di muka bumi.

(lebih…)

[2012-016] Snow White and the Huntsman


Snow White and the Huntsman Movie PosterNgeliat judulnya, bisa ditebak bahwa film ini adalah reka ulang dongeng Snow White. Bedanya, di film ini dunia Snow White jauh lebih gelap, monsternya lebih serem, dan nenek sihirnya lebih sadis. Untunglah yang main si cantik Charlize Theron.

Film dibuka dengan kilasan gambaran masa kecil Snow White sebagai putri raja yang berani dan baik hati. Lalu muncullah Ravenna (Charlize Theron) penyihir licik yang dengan segala tipu daya berhasil merebut tahta kerajaan dan mengurung Snow White di menara. Bertahun-tahun Snow White dikurung sampe dia tumbuh besar. Sebagaimana lazimnya orang yang lama dikurung sendirian, wajar kalo pas udah gede Snow White jadi datar gitu ekspresinya. Maka nggak heran peran ini dipercayakan pada Kristen Stewart yang kedataran ekspresinya udah teruji di rangkaian film Twilight. Coba aja perhatikan perbandingan foto berikut, mana yang ekspresinya lebih jelas?

(lebih…)

Mission Impossible: Ghost Protocol


ghost_protocol_movie_poster

Walaupun ngefans sama serial TV-nya, selama ini gue kurang sreg sama versi bioskopnya Mission Impossible. Kayaknya semua (kecuali yang nomer 2) berusaha terlalu keras bikin cerita njelimet yang penuh intrik. Mungkin maksudnya biar nggak terlalu cemen amat kayak di serial TV-nya. Sedangkan yang nomer 2, berhubung sutradaranya sutradara spesialis film silat, jadinya malah lebih mirip film action Hong Kong. Yang selalu ada adegan orang nembak sambil lompat ke samping gitu deh.

Untunglah film MI yang ini nggak kayak gitu. Lucunya, Brad Bird sang sutradara justru baru pertama kali ini menyutradarai film orang – karena sebelumnya lebih sering bikin film animasi! Salah satu film buatannya adalah Ratatouille yang gue puja-puji setengah mati di review yang ini. Selain itu dia juga pernah menyutradarai The Incredibles, film animasi Pixar yang sukses secara kualitas maupun finansial.

Salah satu langkah ‘berani’ Brad Bird dalam membuat MI: Ghost Protocol ini adalah memasukkan tokoh Benji yang diperankan oleh Simon Pegg. Buat yang belum kenal sama Simon Pegg, dia adalah mantan stand-up comedian Inggris yang hampir selalu kebagian peran-peran sinting. Ciri khasnya adalah nge-joke dengan tampang lempeng khas Inggris tapi kocak banget. Buat yang penasaran ngeliat kayak apa kesintingan Simon Pegg, gue sarankan nonton Shaun of the Dead atau Hot Fuzz – lu akan ngerti apa yang gue maksud. Film terbarunya yang beredar di Indonesia adalah The Adventure of Tintin – Simon adalah pengisi suara salah satu detektif kembar Thompson and Thomson.

Ada komedian di tengah film Mission Impossible yang biasanya penuh instrik njelikmet? Nggak salah?

(lebih…)

The Fighter


The Fighter Movie PosterCerita film ini berdasarkan kehidupan petinju Micky Ward, yang praktis cuma gue kenal kiprahnya dari game PS Fight Night. Yang menarik gue untuk nonton justru karena sebagai petinju, Micky Ward nggak kondang-kondang amat. Malah di Fight Night statistiknya nggak bagus-bagus amat. Setelah nonton filmnya, baru gue tau bahwa memang yang mau “dijual” bukanlah adegan tinju-tinjuannya.

Film dibuka dengan penggambaran bahwa Micky Ward (Mark Wahlberg) adalah petinju yang rada telat memulai karirnya – karena di umur yang udah kepala tiga baru bertanding tiga kali dan kalah melulu. Dia dilatih oleh Dicky Ecklund (Christian Bale) kakak tirinya yang mantan petinju tapi sekarang udah jadi pengangguran pecandu narkoba. Selain kakak beradik ini, ada juga tokoh Alice (Melissa Leo) ibu Micky dan Dicky yang bertindak sebagai manager Micky, dan Charlene (Amy Adams) pramusaji bar yang kemudian pacaran dengan Micky.

Konflik mulai dibangun saat digambarkan Dicky terkesan asal-asalah melatih adiknya – maklum namanya juga orang teler – dan lagi-lagi membuat Micky kalah. Micky yang pada dasarnya kurang PeDe makin minder dengan kekalahannya itu. Charlene sebagai pacar terus memotivasi Micky, apalagi dengan adanya seorang promotor kaya yang bersedia membiayai Micky berlatih secara lebih profesional. Micky dihadapkan pada dilema: kalau ingin mengembangkan karirnya maka dia harus ‘tega’ meninggalkan manajemen keluarganya yang kacau balau itu. Di sisi lain, Dicky dengan caranya sendiri juga berusaha mendukung karir tinju adiknya dan ingin adiknya tetap berada di bawah manajemen keluarga.

Buat yang belum nonton film ini, gue sarankan mengatur ekspektasinya dulu. Film ini bukan film action, jadi jangan harap akan banyak adegan pukul-pukulan dramatis ala film Rocky. Malah mungkin porsi adegan tinju di film ini nggak sampe 10%. Yang jadi kekuatan film ini bukanlah adegan tinjunya, tapi penggambaran konflik berlapis yang meliputi para tokohnya. Micky: rendah diri, sayang keluarga tapi juga ingin karir tinjunya maju. Dicky: penderita post-power syndrome yang hidup di masa lalu, doyan mengulang-ulang kenangan manis waktu sempat menjatuhkan Sugar Ray Leonard tapi nggak berani menghadapi kenyataan, sayang keluarga, sayang adik, tapi pendek akal dan tukang bikin onar. Alice: ibu yang diam-diam pilih kasih pada anaknya, dan Charlene: pengidap rendah diri yang menemukan semangatnya pada orang lain. Saat terjadi perdebatan antar tokoh, dialog-dialognya terasa hidup karena masing-masing tokoh mengeluarkan argumen yang kuat mencerminkan sudut pandangnya. Selain itu, penggambaran tokohnya juga sangat manusiawi; nggak ada yang 100% jahat atau 100% baik.

Seperti dugaan gue, Christian Bale berhasil memenangkan Oscar dari perannya di film ini. Untuk memerankan seorang pecandu narkoba, Bale menurunkan berat secara ekstrim sampe tampangnya kayak orang sakit. Salah satu temen gue berkomentar, “Ya iyalah, dia kan dibayar mahal.” Nggak juga, ternyata. Sebagai film yang awalnya dianggap nggak akan terlalu sukses secara komersial, film ini nggak punya anggaran yang terlalu leluasa untuk menggaji para pemainnya. Bale ‘hanya’ dibayar 250.000 dolar saja. Bandingkan dengan waktu dia memainkan Batman – Dark Knight: bayarannya 38 juta dollar! Dari segi pemilihan pemain dan tata rias, film ini memang jeli. Coba liat dandanan Alice si ibu yang digambarkan agak sedikit kampungan, dan Ida pun berkomentar tega soal Charlene, “Hebat ya milih pemerannya, realistik, nggak milih pemeran yang cantik-cantik amat dan langsing-langsing amat…”

Faktor lain yang membuat film ini enak ditonton, bagi gue, adalah pemilihan tokoh Micky Ward sendiri. Dia adalah petinju yang cukup sukses, sempet jadi juara dunia, tapi nggak banyak orang kenal namanya dan tau cerita hidupnya. Maksud gue, beda dengan kalo kita nonton film tentang Muhammad Ali atau Mike Tyson; mungkin udah nggak akan terlalu seru lagi karena kita udah tau endingnya akan gimana. Film ini tetep mampu membuat penonton harap-harap cemas apakah tokoh utamanya akan memenangkan pertandingan.

Kesimpulannya: sebuah film sederhana yang menyajikan hubungan keluarga secara sangat realistis, dan tentunya menarik!

===

Kalo mau baca posting-posting terbaru gue soal film, silakan klik Nonton Deh!

Celah-celah plot dalam film “The Tourist”


tourist_affiche4

spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert –BUAT YANG BELUM NONTON DAN BERENCANA NONTON TANPA KEHILANGAN KEJUTAN DILARANG BACA – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert – spoiler alert

 
Gue memang apes untuk urusan film ini: dalam sebuah acara ngobrol-ngobrol santai di kantor tiba-tiba salah satu temen gue dengan wajah sepolos bayi menceritakan kisah film ini dari awal hingga kejutan di akhirnya.
“…jadi sebenarnya si Johnny Depp itulah suaminya,” kata temen gue ini lugu.
Crot.
Berhubung kejutan utamanya udah bubar jalan, maka pas nonton gue malah sibuk mengamati apakah kejadian-kejadian di awal film mendukung kejutan di akhir film . Inilah hasil temuan gue, bukan review melainkan sekedar “daftar temuan”.

(lebih…)

Tolong, beri kami film horror yang serem


Pada suatu weekend yang iseng, Bondan terdampar sesiangan di rumah gue dan ternyata kami menemukan kesamaan minat: film horror. Sesiangan itu kami nonton 2 film horror, yang satu film Thailand berjudul “Ghost Game” dan satunya film Hollywood berjudul “Unrest”.

Berhubung sama-sama udah kebanyakan nonton film horror, maka acara nonton siang itu malah diisi dengan tebak-tebakan, “abis ini pasti gini deh ceritanya…”. Dan sialnya, seringkali tebakan kami bener!

Setelah kenyang keseringan bener nebaknya, yang muncul berikutnya adalah pertanyaan: “Film horror seperti apa sih yang menarik buat orang-orang yang udah keseringan nonton film horror?”

Karena untuk menjawab pertanyaan barusan butuh tingkat kreativitas tinggi serta pemikiran yang mendalam, sedangkan penonton awam seperti kami kan bisanya cuma komentar dan complain, maka gue mengubah pertanyaannya menjadi “Elemen apa dari film horror yang nggak lagi ingin kami lihat karena udah basi?”

Berikut ini daftarnya:

    1. Hukum kemunculan 180o: Setan selalu muncul dari kanan kalo tokohnya noleh ke kiri, dari bawah kalo tokohnya nengok ke atas, dst. Pokoknya, selalu datang dari arah yang berlawanan dengan arah pandangan tokoh. Hukum standar ini bikin setan jadi mudah ditebak, nggak ngagetin lagi. Film Alien udah mencoba pendekatan yang lumayan menarik, yaitu monsternya muncrat dari dalam perut. Itu awal yang baik, nah sekarang coba cari kemunculan yang lebih kreatif.
  • Bayangan gelap melintas di kejauhan. Ini hampir pasti ada di semua film horror. Bosen.
  • Setan / monster yang nggak terlalu jelas kebisaannya. Ini meliputi kuntilanak, pocong dan suster ngesot. Ya, mereka bisa cekikikan, loncat-loncat dan ngesot… terus, kenapa? Penonton jaman sekarang butuh ancaman yang betul-betul serius. Freddie itu cukup keren, orang lagi tidur baik-baik aja bisa dia gorok dalam mimpi. Tapi setelah setengah lusin sequel, Freddie udah kaya mas-mas yang nganterin air galonan: nggak serem lagi karena keseringan ketemu.
  • Hambatan teknis. Ini meliputi mobil susah distarter, dan kunci pintu susah dibuka saat tokoh lagi diuber-uber setan.
  • “Tunggu dulu di sini ya.” Dalam situasi genting, tokoh yang tinggal berdua selalu memisahkan diri. Logisnya sih kalo udah tau lagi diuber setan, pepatah yang dijunjung “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Memisahkan diri adalah pilihan yang sangat nggak masuk akal.
  • Alat musik gesek. Musik film horror selalu dipenuhi dengan suara-suara biola, cello, dan sejenisnya. Bosen. Angklung kek sekali-sekali.
  • Bisik-bisik. Masalahnya adalah nggak semua orang nonton film horror di bioskop. Kadang kami nonton pake DVD bajakan, dan belum ori pula. Setan yang terlalu gemar bisik-bisik akan mengaburkan alur cerita, oleh karena itu sebaiknya dikurangi porsinya.
  • Jorok. Ada satu periode di mana para pembuat film horror nampak putus ada cari cara baru nakut-nakutin penonton, dan sebagai gantinya mereka bikin adegan yang super jorok. Adegan muntah lendir ijo di The Exorcist, misalnya. Mas sutradara horor, tolong deh: kami ingin merinding, bukan mual.
  • Tokoh-tokoh non setan yang bergaya kayak setan. Ini penyakit pada film horror dengan setting daerah terpencil: ada tokoh bapak-bapak tua dengan tampang misterius yang pelit omong mengendap-endap ke sana ke mari seolah-olah jadi bagian dari aktivitas setan di sana. Biasanya terbukti enggak, dan ini ganggu.
  • Tokoh-tokoh sok berani yang penakut. Udah jelas tempatnya rumah tua angker, bekas ada pembunuhan, terkenal ada setannya, eh didatengin juga. Giliran beneran ketemu sama setannya: jerit-jerit. Atau kalo lagi dalam posisi dikejar-kejar setan, selalu larinya ke tempat yang paling gelap, paling sepi, dan paling tidak kondusif untuk mengamankan diri. Terlalu gampang ditebak, nggak seru. (Sumbangan dari jmave).

Nah itu tadi daftar yang nggak ingin kami lihat lagi karena udah basi. Tapi ada juga elemn-elemen yang walau udah basi dan udah hampir pasti ada di film horror, nggak kami rasakan sebagai elemen yang mengganggu / membosankan, yaitu tokoh cewek selalu bertank-top, beradegan mandi, dan/atau nyebur-nyebur ke air. Untuk yang tiga itu, kami nggak keberatan.

Gambar gue ambil dari sini, yang kebetulan juga ngebahas tentang tipikal film horror.

Untuk baca posting-posting lainnya tentang film, silakan mampir ke blog gue yang ini ya!