Nonton Film Indonesia? Emang Penting, Ya?

“Nonton film Indonesia yuk!”

“Idih! Film Indonesia kan jelek!”

“Emangnya lu pernah nonton film Indonesia yang mana?”

“Nggak pernah! Abis jelek!”

Dialog barusan bener-bener pernah, bahkan lumayan sering, gue alami dengan temen-temen gue: ogah nonton film Indonesia karena (konon) jelek, sambil mengakui bahwa nggak pernah nonton film Indonesia.

Kalo pun didesak lebih lanjut, biasanya orang anti film Indonesia karena:

  • aktingnya kaku, kurang penghayatan
  • penggarapannya asal-asalan
  • temanya hantu-hantuan melulu
  • naskahnya nggak natural, terlalu nyastra

Dan kalo ditanya, film yang bagus itu seperti apa sih? Rata-rata menunjuk film Hollywood sebagai patokan.

Dengan demikian, menurut sebagian orang yang gue kenal, film Hollywood lebih bagus dari film Indonesia.

Bener, nih?

Film Hollywood = Nasi Goreng Buatan Ibu

Silakan coba survei kecil-kecilan berikut: tanya ke 10 orang secara acak, di mana mereka pernah makan nasi goreng terenak?

Gue yakin, minimal 8 dari 10 orang itu akan jawab, di rumah, buatan ibu mereka.

Kenapa?

Karena sebagian besar dari kita pertama kali makan nasi goreng di rumah, buatan Ibu masing-masing. Apa pun rasa nasi gorengnya, pengalaman itu akan menjadi standar untuk rasa nasi goreng yang baik dan benar. Definisi ‘nasi goreng yang enak’ adalah subyektif, tergantung selera setiap orang. Dan selera dibentuk berdasarkan pengalaman pertama.

Selera kita terhadap film, sama subyektifnya dengan penilaian terhadap nasi goreng. Masalahnya, sebagai pusat industri perfilman dunia, Hollywood udah keburu membentuk selera kita tentang film yang ‘baik dan benar’ itu – tentunya menurut standar mereka.

Sepanjang yang gue bisa inget, bioskop Indonesia selalu didominasi film-film Hollywood. edwige_fenech-cropDi era 70-an masih lumayan, bioskop kita masih kenal bintang-bintang non Hollywood. Yang doyan nonton koboi bisa ketemu Franco Nero, yang demen nonton lemak menggandul bisa lihat Edwige Fenech. Tapi sejak jaringan 21 berkuasa di akhir 80-an, hampir nggak ada tempat untuk film non Hollywood.

Dengan kata lain, kemungkinan kita nggak suka film non-Hollywood ya karena kita tahunya film Hollywood doang.

Lagipula, siapa bilang film Indonesia masih didominasi tema hantu-hantuan? Kalo 5 tahun lalu mungkin iya. Sekarang, hantu nggak lagi mendominasi. Sebaliknya, justru film Hollywood yang makin lama makin kehabisan ide cerita. Film-film terbaru nya kalo nggak prequel, sequel, atau remake! Nah, kalo udah gini siapa yang lebih kreatif, coba?

Tapi secara Teknis Film Hollywood memang lebih Bagus kok!

Ngebandingin teknis film Hollywood dengan film Indonesia itu seperti ngebandingin permainan gitar oom-oom yang baru mulai kursus 2 bulan di Purwacaraka sama Yngwie Malmsteen: jauh banget.

Mulai dari yang paling simpel: lokasi.

Sutradara Hollywood punya buanyak pilihan tempat shooting. Mau suasana tempo dulu? Ada! Mau futuristik? Bisa! Kalo pun lokasi yang diinginkan terlalu susah, tenang, ada matte painter: lokasinya dilukis di atas kaca, terus digabung dengan aksi para aktornya pake komputer. Dan lu bisa hidup layak di Hollywood sebagai matte painter. Minimal, kalo lu ngelamar anak orang, calon mertua lu nggak akan sinis ngomong, “Apa? Kamu kerjanya jadi matte painter? Anak saya mau dikasih makan apa nanti?”

Enggak. Kenapa? Karena industrinya udah berkembang cukup besar sehingga menghasilkan perputaran duit yang cukup banyak.

Gimana urusan lokasi film di Indonesia?

Berita baiknya: pemandangan alam kita keren-keren. Berita buruknya: birokrasinya hanya sedikit lebih bermanfaat daripada gambris. Ada yang pernah ngerasain ribetnya ngurus izin nutup jalan untuk acara kawinan atau sunatan di rumah? Nah, ngurus izin lokasi shooting, ribetnya sama… tapi dikali 100. Nggak usah shooting film: lu nenteng kamera SLR masuk tempat wisata aja udah dipalakin untuk  ‘biaya pemanfaatan lokasi untuk keperluan komersial’. Sekali pun di lokasi tersebut lu cuma mau motret anak main prosotan. Biayanya tanpa kuitansi, tentunya. Dan seringkali yang malakin juga cuma Satpam. Dan selalu ada kemungkinan lagi tengah-tengah shooting tau-tau muncul serombongan orang naik motor, sarungan, kopiahan, bawa bendera, nyepik ini-itu, buntutnya minta duit.

Kenapa Indonesia nggak bisa punya studio sekeren Hollywood? Karena perputaran duit di industri film masih terlalu sedikit. Kenapa? Karena kita masih males nonton film Indonesia.

Eh, iya.

Ngomong-ngomong soal lokasi shooting, tau nggak sih kalian bahwa Indonesia pernah nyaris jadi lokasi shooting film James Bond yang “Tomorrow Never Dies”? Rencana ini akhirnya batal karena salah satu pejabat Indonesia berpendapat film James Bond kurang masuk akal, kurang sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang sangat rasional. Tentulah, orang Indonesia kan hanya sudi nonton film yang bener-bener rasional, seperti pocong dan kuntilanak. Buat yang ingin gemes, baca cerita lengkapnya di sini.

Aktor Indonesia kan Payah, Kurang Penghayatan!

Waktu main film ‘Monster’, Charlize Theron naikin berat badannya sampe 15 kilo supaya bisa memerankan tokoh pembunuh berantai Aileen Wuornos secara realistis. Yang lebih sadis Christian Bale: tahun 2002 beratnya 83 kilo untuk film “Reign of Fire”, 2004 turun ke 55 kilo untuk film “The Machinist”, setahun kemudian balik ke 86 kilo untuk film “Batman Begins”.

bale
Gambar aslinya bisa dilihat di sini

 

Kenapa mereka berani “berkorban” sejauh itu hanya demi sebuah peran?

Lagi-lagi, ya karena industrinya udah bisa ngasih makan sampe kenyang.

Dari Mei 2011 – Mei 2012 doang, Charlize Theron dapet bayaran 18 juta dollar, alias sekitar 180 miliar rupiah kalo kursnya dibuletin 10 ribu. Kalo Christian Bale pendapatannya kecilan dikit, ‘cuma’ sekitar 15 juta dollar (sekitar 150 miliar rupiah).

Kalo dihitung secara bego aja nih, dengan bayaran 150 miliar per tahun, artinya per bulan dia dapet 12,5 miliar. Misalnya dia anaknya boros banget, sekali makan abis 20 juta, 3 kali sehari, maka sebulan dia cuma ngabisin 1,8 miliar: lebihnya masih banyak banget!

Itu sebabnya aktor Hollywood bisa hidup kayak ular: nyaplok kambing 1 ekor trus santai berminggu-minggu. Mereka bisa pilih-pilih peran yang bagus, yang bayarannya mahal, fokus ngerjain satu film berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pun nggak masalah karena dapur pasti akan tetep ngebul.

Aktor Indonesia?

Perhatiin deh: jarang banget aktor Indonesia yang profesinya hanya sebagai aktor doang. Kalo lu nonton infotainment, suka ada berita yang bunyinya gini nih:

Aktor yang multi talenta ini kini merambah dunia tarik suara dengan merilis album terbaru…

Asal tau aja ya, seringkali para aktor dan aktris itu nggak multi talenta – multi talenta amat. Talentanya ya cuma di akting. Masalahnya kalo ngandalin akting doang dapur kagak ngebul. Mungkin dia baru dapet surat teguran dari sekolah anak, belum bayar SPP. Atau bininya minta beliin tas baru, invoice belum cair. Terpaksa deh nyanyi. Terpaksa deh main sinetron. Atau jadi model iklan obat mencret. Hati nuraninya mungkin menjerit, tapi mau gimana lagi. Industri yang dia cintai belum mampu sepenuhnya menopang hidup. Dan itu gara-gara kita males nonton film Indonesia.

Film Indonesia Penggarapannya Asal-Asalan!

Untuk bikin film “Pirates of the Caribbean: At World’s End” cukongnya ngabisin duit  300 juta dollar alias 3 triliun rupiah. Tuh cukong enteng aja ngeluarin duit segitu karena yakin filmnya akan mendatangkan untung yang lebih gede. Dan bener aja, pendapatan box officenya lebih dari 960 juta dollar atau 9,6 triliun rupiah. Artinya film itu mendatangkan laba sebesar 6,6 triliun rupiah. Dengan kata lain, cukup dengan bikin 7-8 film sejenis Pirates of Carribean ini, kita bisa memenuhi APBD DKI Jakarta yang ‘cuma’ 50 triliun!

Selain itu, karena pemasarannya yang luas, film Hollywood juga enteng banget dapet titipan produk sponsor yang ingin numpang ngiklan dalam film. Coba aja lihat Transformers, itu kan iklan mobil-mobil produk Chevrolet abis-abisan. Film-film James Bond juga langganan ketitipan iklan produk jam tangan, ponsel, dan mobil. Karena produknya keren-keren, penonton nggak merasa terganggu dengan kehadiran iklan-iklan terselubung itu, malah rame-rame tertarik beli produknya biar serasa jadi James Bond.

Film Indonesia: produk yang numpang ngiklan kalo nggak sirup, sosis, atau paling keren taksi. Ini juga menjelaskan kenapa film Indonesia sampe sekarang belum ada yang bertema futuristik: karena di setting masa depan sulit masukin adegan orang makan sosis atau minum sirup markisa.

Bayangin aja kalo Star Wars, misalnya, dibuat di Indonesia. Mungkin naskahnya akan jadi gini:

Darth Vader

Luke, I am your father

Luke

Oh nooo! Wait, I need something sweet to drink. Hmmm… this passion fruit syrup is so refreshing!

Darth Vader

Of course, it is! It is made from 100% passion fruit juice with no preservatives!

Kenapa pilihan sponsornya terbatas? Lah, penontonnya sedikit!

Jadi kalo Gue mulai Rajin Nonton Film Indonesia, Kualitasnya akan jadi Bagus, Gitu?

Tentunya nggak langsung begitu, tapi minimal perputaran duit di industri perfilman akan bertambah. Kalo perputaran duitnya cukup gede, makin banyak pemodal berani investasi untuk bikin film. Karena, terus terang aja, menurut gue orang-orang yang berani investasi di film Indonesia itu luar biasa nekadnya. Kalo gue punya duit 10 miliar, misalnya, mendingan gue buka kos-kosan di Margonda ketimbang ngongkosin bikin film. Untungnya jauh lebih pasti, bebas ribet. Syukurlah nggak semua pemilik modal berpikir seperti gue, sehingga masih ada yang mau modalin pembuatan film.

Nah, kalo makin banyak yang berani modalin bikin film, jam terbang para pekerja film kita akan makin banyak. Dengan sendirinya skill mereka akan semakin bagus.

Liat aja industri Jepang. Sampe era 80-an, citra produk Jepang masih produk ‘kelas 2’. Kalo perabotan rumah tangga lu masih Sharp atau National, artinya hidup lu belum mapan. Karena orang-orang mapan hanya sudi punya TV Loewe, kulkas GE, dan radio Grundig, yang kualitasnya, saat itu, memang jauh di atas produk-produk Jepang.

Sekarang, produk-produk Jepang udah jauh lebih bagus. Kenapa? Karena sejak produk mereka masih cupu, rakyatnya udah fanatik pake produk bikinan negeri sendiri. Makanya industrinya punya modal untuk berkembang.

Industri perfilman kita juga bisa gitu. Selama kita mau nonton film Indonesia, tentunya yang dibuat secara serius, minimal yang kalo bikin setting interior pesawat ya mirip interior pesawat, gitu. Tonton filmnya, kasih feedback lewat social media. Percayalah, saking sedikitnya penonton film Indonesia, para sutradaranya akan punya waktu untuk baca review kalian semua. Mereka bisa belajar dari feedback itu, minimal dapet semangat untuk terus berproduksi – karena tau karya mereka ada yang nonton.

 

Emang apa Pentingnya buat Gue kalo Film Indonesia Maju?

Banyak.

Sebagai sebuah karya kolektif yang melibatkan banyak orang, pembuatan satu film aja udah membuka banyak lapangan pekerjaan. Belum lagi pihak-pihak yang terkait, misalnya catering. Tukang jahit kostum. Abang tukang gorengan yang mangkal di depan lokasi shooting.

Kalo filmnya sukses, terbuka peluang untuk jualan suvenir. Kaos. Mug. Novel adaptasi.

Kalo seluruh industri perfilman maju, pariwisata juga akan terdongkrak. Bayangin kalo Iko Uwais, misalnya, sedemikian ngetopnya di seantero jagad sehingga cewek-cewek dari Venezuela pada berbondong-bondong ke Jakarta hanya sekedar berharap bisa papasan sama Iko di Plaza Senayan. Nggak mungkin mereka ke sini tanpa jajan, minimal kan nyewa hotel, bayar taksi, dan minum Starbucks. Itu semua pemasukan buat penyedia jasanya, dan pajak buat negara. Serta kebahagiaan batin buat cowok-cowok jomblo Jakarta.

Buat para aktrisnya juga. Kalo popularitas mereka mendunia, mereka punya lebih banyak pilihan. Kali aja ada pangeran Arab yang naksir aktris kita, trus mereka menikah, trus diliput CNN. Keren kan. Nggak kayak sekarang, saking terbatasnya pilihan akhirnya mentok sama mas-mas makelar sapi yang belakangan malah jadi tahanan KPK . Duh, miris.

Dari segi lokasi, bekas lokasi shooting selalu laku dijual. Film The Beach dibuat tahun 2000 di Thailand, dan sampe sekarang lokasi shootingnya masih laris dibeli para turis yang penasaran dengan bandrol ‘bekas lokasi shooting film Hollywood’. Sejak buku dan film “Da Vinci Code” pengunjung museum Louvre juga meningkat. Begitu juga dengan Empire State Building yang entah udah berapa kali jadi ikon di film Hollywood: banyak turis dateng ke sana karena ikatan batin dengan film yang pernah mereka tonton. Bayangin kalo Monas sedemikian seksinya di mata turis, ada berapa puluh abang tukang andong yang ujug-ujug bawa pulang dollar ke kontrakannya!

Sebagai industri, film adalah komoditi ideal: padat karya, padat modal, ramah lingkungan. Bandingin sama industri kelapa sawit, misalnya, yang butuh 2 hektar lahan hanya untuk menghasilkan pemasukan kotor 5 juta per bulan, sambil merusak keseimbangan ekosistem. Jangan seneng dulu lihat Indonesia jadi hutan sawit raksasa seperti sekarang, dalam 30 tahun yang akan datang lahan-lahan itu akan jadi padang pasir karena tanahnya kehabisan unsur hara!

Jadi, ayo deh. Nonton film Indonesia. Di bioskop, jangan download. Nonton secara proporsional, dalam arti lupakan kalo ujug-ujug ada iklan sirop atau sosis, maafkan kalo settingnya nampak ‘sedikit’ amatiran seperti film The Raid. Harap maklum, modal terbatas. Tulis kesan kalian di blog, FB, atau Twitter. Biarkan para pekerja film itu tau, karya mereka nggak sia-sia. Dan mereka bisa belajar untuk membangun industri perfilman Indonesia yang lebih seksi.

Karena industri perfilman itu penting banget.

Untuk baca posting-posting lainnya tentang film, silakan mampir ke blog gue yang ini ya! 

45 comments


  1. sayangnya jumlah penonton Indonesia merosot terus dari tahun ke tahun sejak 5 tahun terakhir. Memang masalah distribusi yg di monopoli 21 dan film-film hollywood akan selalu menjadi masalah besar tetapi jika di putar balik juga ke industri film-film kita, kelemahan utama perfilman kita terletak di penulisan skenario yg lemah karena mayoritas penulis kita belum berani mempunyai visi yg berani dan skill level yg tinggi. Juga penulis kita di dominasi oleh produser-produser yg tidak mengerti cara membuat cerita bagus karena mereka hanya fokus ke sensasi dan cari untung.


  2. Nonton film Indonesia musti di bioskop pinggiran, yg penontonnya rame, yang penontonnya suka dan antusias. Apalagi yang penontonnya interaktif alias suka nyeletuk, suka nyorakin huuuu ke tokoh antagonis, suka tepok tangan kalo jagoannya menang. Tapi baiknya duduk sambil angkat kaki, sebab banyak nyamuk dan kadang ada tikus lewat.


  3. Gak semua film Indonesia jelek, tergantung siapa sutradaranya siapa pemainnya siapa penulis skenarionya dan apa temanya. Banyak kok film Indonesia yang bagus, sayangnya banyak orang Indonesia yang silau sama produk luar negeri (termasuk film).

    Gung, gimana caranya bisa posting jadi beberapa halaman (sampe 4 halaman), dan tetep jadi satu postingan?


    1. Masih gak mudeng.
      Udah ubek ubek panduan, larinya ke pages yang di bagian dashboard setelah links, padahal bukan pages itu yang aku maksud.


  4. Samaaa dgn mybeautterfly. Saya lbh suka nonton film Indonesia di bioskop drpd nunggu muncul di TV. Film huliwut sih lbh sering donlot *eh* *hapus hapus hapus*
    Setelah baca post ini, jd lbh ngerti ternyata industri film tu pengaruhnya luas ya.
    Seperti biasa, keren lah postingannya.


  5. Analisa dan penjelasan yang bagus. Terimakasih Mbot. Frekuensi nonton film saya termasuk jarang, belum tentu sebulan sekali ke bioskop, jadi ya nonton film Indonesia pun tambah jarang lagi. Udah jarang, sblm masuk bioskop pakai nyela pula ^_^

    Btw film Indonesia terakhir yang kutonton (dan suka): Atambua 39° Celcius.
    Terus barusan cek 21cineplex ada film baru “What they don’t talk about when they talk about love”. kayaknya perlu juga ditonton.


    1. What they don’t talk about when they talm about love udah masa kritis karena tinggal diputer di sedikit bioskop. Bagus, walau nggak biasa. Buruan kalo mau nonton sebelum lenyap. Ini mau nulis reviewnya belum kelar2 dari 3 hari lalu


  6. saya salah satu yang kalo ada film indo di bioskop komentar-nya “tungguin aja di RCTI ntar jg muncul” hahahha nga rela banget kayaknya keluarin duit buat ntn film indonesia :p tapi habibie ainun ntn di bioskop loohh *walau aneh gitu ada chocolatos di jaman Pak Habibie*


    1. Yah lumayan, ada juga film Indonesia yang ditonton di bioskop. Semoga akan ada lagi ya!


  7. lemak menggandul itu maksudnya kemana ya, mas? hahaha

    entah kenapa, kadang orang berkomentar, ‘gak usah nonton film Indonesia di Bioskop, paling bentar lagi udah ada di teve.’ atau kayaknya dengan uang yang dikeluarkan akan sepadan dengan film Hollywood, meskipun film itu berakhir rata-rata atau jelek.


    1. Perlu juga Des, tapi secara umum kehidupan seniman musik Indonesia masih lebih makmur daripada aktor… jadi gak terlalu urgent untuk dibantuin 🙂


    1. Hahaha, mungkin emang dipersiapkan untuk diputar di tv, karena masa tayang di bioskop singkat


    1. Belum nonton film itu. Di film “alangkah lucunya negeri ini” masa ada adegan nganter sepaket sosis!


    2. hiks… nah itu yang begitu itu… hiks kesian…

      banci tampil banget sponsor indonesia, tapi tampilnya gak bikin WAH malah CIH… hiks


  8. 1. ga pernah nonton film indonesia yang tanpa teks.. baru beberapa yang udah ada subtitle.. maklum ga bisa nonton tanpa teks kalu punya telinga soak..
    2. grundig << lama ga denger merek ini, masih eksis?
    3. postingan keren.. semoga makin banyak yang suka nonton film indonesia ya..


    1. Sekarang rata2 ada teks Inggrisnya, karena sekalian untuk diekspor. Grundig kayaknya udah bubar sih, kemahalan soalnya 🙂


    2. iya tapi nontonnya bukan di bioskop kan, ini ada beberapa dvd film indonesia.. tapi jarang banget yang pake subtitle english deh..


  9. saya sih sebenarnya tertarik sama film-film indonesia yang rilis belakangan ini. masalahnya tiket nonton di sini mahal pisan (60ribu buat weekend, 40 ribu hari kerja). makanya akhirnya pilih-pilih klo mau nonton film.


    1. Memang harus pilih2kok kalo mau nonton film Indonesia, biar nggak kejebak nonton film asal2an 🙂


    2. Oooh… ya kalo gitu cobain deh nonton. Satuuu aja. Biasanya tiket film Indonesia lebih murah kok.

Tinggalkan Balasan