[review] 9 Summers, 10 Autumns

Gue ini penonton tipe orientasi hasil: yaitu penonton yang maunya dibikin penasaran ingin tahu gimana ending sebuah, berharap yang terjadi di luar tebakannya. Abis, kayaknya percuma aja ngabisin waktu 1,5 sampe 2 jam duduk di bioskop kalo udah tau ceritanya akan jadi gimana.

Tapi gue juga tau bahwa nggak semua film dirancang untuk ngasih kejutan di bagian akhir.  Ada film yang orientasinya proses: mau ngasih lihat gimana perkembangan alur sebuah cerita, tahap demi tahap, tanpa ada usaha ngasih kejutan di bagian akhir. Film 9 Summers 10 Autumn ini termasuk yang berorientasi proses.

Lah gimana enggak, dari trailernya aja udah ketahuan bahwa ini cerita tentang Iwan Setyawan, orang Indonesia yang sukses kerja di New York, trus milih untuk pulang ke Indonesia walau karirnya di New York masih bagus.

Ya udah gitu doang.

Nggak mungkin ada plot twist di mana tokohnya tiba-tiba terlibat mafia dan berusaha meloloskan diri dari kejaran pembunuh bayaran…

…atau tiba-tiba tokohnya bangun dalam keadaan tangan dirantai trus di TV ada boneka badut serem yang ngomong, “DO YOU WANT TO PLAY A GAME?”

Nggak mungkin, lha wong orangnya udah muncul di Kick Andy dengan sehat wal afiat gitu kok.

Dengan kata lain, untuk menikmati film tipe ini, ya tonton aja proses ceritanya, karena tokohnya udah pasti selamet dan baik-baik aja. Dan kalo menurut bayangan gue sih, justru tipe cerita kayak gini yang sulit banget digarap.

Untung sutradaranya adalah Ifa Isfansyah, sutradara film Sang Penari yang keren banget itu.

Sama seperti di film Sang Penari, gue dibikin terkagum-kagum sama ketelitian personil film ini menghidupkan detil-detil suasana yang udah lewat beberapa puluh tahun lalu. Perhatiin angkot milik bapaknya Iwan, sampe ke masa berlaku plat nomornya pun pas dengan tahunnya. Juga aneka kendaraan yang berseliweran, bisa dicariin yang sesuai dengan eranya. Lembaran-lembaran uang yang dipegang para tokohnya juga selalu pas dengan eranya.

Kostumnya juga keren. Yang paling edan adalah ketelitian si pengatur kostum memilih celana baggy stone washed khas era 90-an waktu tokoh Iwannya masih SMA. Nemu di mana celana kayak gitu ya? Apa dibuat khusus untuk shooting film ini doang?

Alex Komang, alasan utama gue ingin nonton film ini, seperti biasa bermain penuh energi. Pokoknya peran apapun kalo dia yang bawain mah sutradaranya tenang deh. Magabut. Adegan terkeren menurut gue adalah waktu bapaknya Iwan memutuskan untuk jual angkot, alat utama pencari nafkah, demi biayain Iwan kuliah di Bogor.

Dewi Irawan sebagai ibunya Iwan juga bagus, dan di film ini sekeluarga Irawan pada bermunculan. Selain Dewi juga ada Ria dan Ade. Mungkin kalo sepaket sekaligus honornya bisa lebih murah.

Nah sekarang soal tokoh Iwannya sendiri.

Ini masalahnya gue kan nggak baca bukunya ya, jadi waktu nonton nggak punya bayangan gimana penggambaran sosok Iwan itu. Yang jelas, sosok yang muncul di layar sih sama sekali nggak meyakinkan sebagai orang yang berani merantau sendirian ke luar negeri. Cara jalannya yang langkahnya kecil-kecil dengan tumit sedikit diseret, serta poni yang bagi gue cukup ganggu, bikin gue bertanya-tanya apakah penampakannya dibuat cemen gini karena:

  1. untuk menunjukkan bahwa di balik penampilan yang lembe-lembe tolamtoyo gini tersimpan tekad kuat dan nyali besar, atau:
  2. sekedar salah casting.

Sepulang nonton gue sampe bela-belain buka Youtube untuk ngebandingin sosok di film dengan sosok aslinya, tapi sayangnya gue belum berhasil mencapai kesimpulan yang bulat.

Berikutnya, ini agak di luar konteks pengamatan atas sebuah film sih, tapi setelah nonton film bertema biografi seperti 9 Summers 10 Autumns ini atau film Habibie-Ainun, ada satu hal yang cukup membuat gue bertanya-tanya: apa sih yang ada di benak si penulis waktu menuliskan pengalaman yang menunjukkan kehebatan dirinya?

Misalnya, di film 9 Summers 10 Autumns ini digambarkan ada seorang cewek temen sekolahnya yang kayaknya ngefans mampus sama si Iwan. Cewek ini ngemodus minta dibantuin bikin PR, tapi waktu diterangin malah ngelamun ngeliatin Iwan. Abis itu ngajak-ngajak nonton berduaan, dan pulangnya nanya ‘kamu pernah nggak punya hubungan sedeket ini sama orang lain?’

Katakanlah bener, dalam kehidupan Iwan pernah ada seorang cewek yang minta belajar bareng tapi pas diterangin ngelamun. Katakanlah bener, bahwa cewek itu pernah nanya seperti yang dia tanya sepulang nonton tadi itu. Pertanyaan gue, kalo gue jadi Iwan, gimana caranya gue yakin bahwa:

  1. Cewek ini memang dulunya beneran naksir, bukan sekedar Iwannya yang keGRan?

Sebab bayangkan betapa garingnya kalo udah jadi film terus tiba-tiba si cewek itu merasa nggak terima dengan penggambaran dirinya dalam film trus bikin konferensi pers untuk menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah berminat kepada Iwan.

“Saya dengan ini menyatakan bahwa sejak dahulu kala hingga sekarang, –apalagi sekarang, saya tidak pernah merasa tertarik sama sekali sama si Iwan. De-mi Tu-haaaannnn!”
Prok-prok-prok injek lantai 3 kali.

  • Terkait poin 1, gimana caranya Iwan memastikan hal tersebut? Apakah konfirmasi dulu ke si cewek, gitu?“Eh, dulu kan kamu waktu belajar bareng aku suka ngelamun yah. Nah tolong konfirmasi dong, itu ngelamunnya karena: a. naksir sama aku, atau b. kagum lihat tokek lewat?”

Pertanyaan berikutnya, gimana sih cara menuliskan aneka fakta yang menunjukkan kehebatan kita tanpa merasa sungkan sendiri?

Misalnya, adegan Iwan dapet pujian dari dosennya.

Kejadian sebenarnya:

Dosen: “Kamu adalah seorang outlier, dst dst dst.”

Proses penulisan:

Sewaktu lulus ujian, Pak Dosen pun berkata bahwa aku adalah seorang outlier…

Dalam hati: damn, I’m good!

Anyway, ini adalah sebuah film yang dikemas cantik. Sekalipun berorientasi proses tapi gue bisa cukup menikmati tanpa bosen. Gambarnya bagus, adegannya nggak bertele-tele, secara umum dialognya natural (walau ada juga yang gue ragukan, misalnya waktu Iwan ditanya ibunya, ‘kamu nggak takut gelap-gelapan sendirian’?’ dan dijawab oleh Iwan yang masih SD dengan, ‘aku nggak takut gelap, aku takut melarat’ – masa iya anak SD jawabannya sekonseptual itu sik?).

Buat kalian yang anti-mainstream, jangan nonton Iron Man 3. Nontonlah film ini. Atau kalau mau lebih anti-mainstream lagi, nontonlah “Kerasukan”, sebelum ditarik total dari bioskop.

26 comments


  1. Dari dulu saya baca tulisan mas mbot emang suka banget deh… Review-nya kocak, konyol, mantap banget deh. Malah lebih asyik baca review mas mbot ketimbang baca bukunya. Asli. Gak boong. =))


  2. Dialognya iwan kecil sama ibunya bukan iwan gak takut gelap. tapi Iwan gak takut hantu? iwan jawabnya, iwan gak takut hantu buk, iwan takut miskin. Hal seperti ini pernah juga saya jumpai dan dengar dengan telinga sendiri langsung, waktu saya main ke madura dan ikut anak2 kecil masih kelas 4 SD yang sedang nyari kayu di lereng gunung kapur. Waktu mus tanya gak takut sama hewan buas? ia spontan jawab, sengkong tak takok beung, engkok takok tak bise ngakan. artinya “aku ngak takut macan, aku takut gak bisa makan” karena memang gak ada kompor dirumahnya. Keadaanlah yang membuat dialog seperti itu.

    Bukunya Iwan, dan pak Habibie menurut mus, mereka sengaja menuliskan cerita mereka untuk menyemangati penerus bangsa bahwa bangsa ini bisa maju kalau kita mau. Itu pendapat saya.


    1. kalo ‘takut nggak bisa makan’ masih wajar kalo keluar dari mulut anak-anak karena ‘makan’ vs ‘tidak makan’ adalah kondisi riil yang jelas rasanya seperti apa.
      sedangkan ‘melarat’ itu kan konsep abstrak, apalagi kalo dikaitkan dengan belajar. Jadi aneh (walau bukan nggak mungkin) kalo keluar dari mulut seorang anak kecil.

      Tentunya kalo ditanya mereka akan bilang bahwa tujuan menuliskan kisahnya untuk memotivasi para pembaca. Cuma penasaran aja, apa yang sesungguhnya dirasakan saat menuliskannya.


    2. Kalau gitu yuk.. Om Mbot nulis kisah hidupnya.. kayaknya menarik.. Aye pembaca setianya dah.. begimane?


  3. Err… kalo kata mas iwan pas meet and greetnya mah emang ceritanya ga plek banget sama bukunya, yg saya tahu si mida itu ga ada deh di buku. Dan, penulis skenario ( yg saya baca di credit titlenya ) ada 3 orang, fajar nugros, iwan setyawan dan satu lagi lupa ;p


    1. nah kalo nggak ada di buku lebih aneh lagi, kenapa tokoh itu perlu dimasukkan dalam cerita ya?


    1. Laskar Pelangi nggak terlalu suka, ngantuk. Masih mendingan film ini. Kalo Negeri Lima Menara belum nonton.