Pentingnya Keterampilan Ngomong sambil Bermuka Lempeng


Kalau gue boleh mengusulkan sebuah pelatihan wajib untuk seluruh rakyat Indonesia, itu adalah Pelatihan Ngomong Sambil Bermuka Lempeng.

Idih, pelatihan apaan tuh?

Pelatihan Ngomong sambil Bermuka Lempeng (PNSBL) akan mendidik peserta untuk membicarakan masalah yang dirasa mengganggu secara langsung dengan mempertahankan muka lempeng, menjelaskan duduk permasalahan secara jelas dalam intonasi santai, nggak pake nyolot, nggak pake ngegas, nggak pake nyindir, nggak pake drama, dan yang terpenting: nggak pake medsos.

Kenapa ini penting? Berikut beberapa contoh:

(lebih…)

Ingin Hidup Seperti Raja? Ini Triknya.


Andaikan gue dapet 5.000 perak tiap kali denger seorang suami curhat bertemakan salah satu topik berikut, mungkin sekarang gue udah jadi juragan kos-kosan:

  • “Istri gue ampun bawelnya, gue cuma dandanin motor dikit aja udah ribut.”
  • “Sejak kawin, jangan harap deh bisa belanja buat hobi, kalo nggak mau tidur di sofa.”
  • “Kalo ada obyekan, harus pinter-pinter ngumpetin duitnya biar majikan (=istri) nggak ikutan minta jatah.”

Sebelum ngerasain sendiri kehidupan perkawinan, curhat-curhat sejenis bikin gue mikir, “kawin = sengsara”. Tapi setelah ngerasain 14 tahun perkawinan, rasanya gue udah lumayan memenuhi syarat untuk bilang bahwa kesengsaraan para suami dalam sebuah perkawinan biasanya terjadi karena salah konsep.

(lebih…)

menulis review, hak segala bangsa


“Gung, tulisin review film ‘anu’ dong, di blog lu! Menurut gue tuh film keren deh.”
“Lho kenapa nggak lu aja tulis sendiri? Kan lu udah nonton?”
“Nggak bisa ah, nggak ngerti gue nulis-nulis review kaya gitu.”

Udah beberapa kali gue mengalami dialog seperti pembuka blog ini: seorang teman yang terkesan pada sebuah film, ribut mendesak gue untuk menuliskan reviewnya dengan alasan yang kurang lebih bernada ‘dia kurang kompeten untuk mereview film’.

Benarkah menulis sebuah review film itu butuh batas kompetensi minimal?

Dalam pandangan gue, film adalah sebuah produk industri, sama seperti sandal jepit, obat nyamuk atau kompor gas. Kita adalah para konsumennya. Kita bayar sejumlah uang untuk menontonnya, dan kita semua berhak untuk puas atau tidak puas dengan sebuah produk film, sama seperti kita bisa ngomel kalo sandal jepit yang baru dibeli kemarin tiba-tiba udah putus.

Bedanya mungkin adalah karena untuk urusan film, unsur subyektifitasnya lebih besar dalam menentukan “bagus” vs. “jelek”. Ekspektasi orang atas sepasang sandal jepit jauh lebih obyektif, sehingga kalo nggak puas maka konsumen bisa ngomel secara tenteram karena hampir pasti disetujui oleh lawan bicara. Karena hampir semua orang, secara obyektif, akan setuju bahwa sandal jepit yang putus kurang dalam tempo 24 jam adalah sandal jepit yang jelek.

Sedangkan untuk film, walaupun ada faktor-faktor yang bisa dinilai secara obyektif, tapi tetap aja unsur subyektifitasnya lebih dominan. Waktu era kejayaan Laser Disc tahun 90-an dulu, seorang mas-mas penjaga tempat penyewaan LD pernah merekomendasikan sebuah film yang dibintangi oleh aktor laga Billy Blanks dengan pengantar sebagai berikut,

“Ambil film yang ini aja boss… rame… badan gede, berantem terus dari awal sampe akhir.”

Kalo saat itu gue ngotot sampe urat leher nongol bahwa “badan gede berantem dari awal sampe akhir” belumlah cukup untuk mengindikasikan sebuah film adalah film yang bagus, maka gue jamin akan terjadi perdebatan kusir tak berujung dengan si mas penjaga. Jelas buat dia film bagus adalah film yang dibintangi pria berbadan gede yang berantem dari awal sampe akhir.

Jaman masih di kampus dulu, senat suka bikin acara ‘bedah film’ Film-film yang diangkat tentunya film yang ‘berkualitas tinggi’ (menurut versi panitia) seperti Dead Poet Society atau The Remains of the Day. Acaranya sederhana aja: bawa TV yang rada gede ke kantin, setelin LD sewaan, terus dilanjutkan dengan diskusi. Ternyata, acara seperti ini sepi peminat. Gue lantas mengusulkan, “Gimana kalo untuk bedah film berikutnya, kita bedah filmnya Billy Blanks, Frank Zagarino atau Cindy Rothrock aja. Pasti rame deh pesertanya.” Sayangnya usul tersebut ditolak mentah-mentah oleh panitia dengan alasan kesulitan menemukan materi diskusinya nanti.

Beberapa waktu kemudian, angkatan gue lagi butuh dana besar untuk bikin acara angkatan, dan sekali lagi usul sejenis gue lontarkan. Berhubung panitia lagi desperado butuh duit, maka usul gue diterima dan diadakanlah acara bedah film dengan mengangkat film Sliver, dibintangi oleh Sharon Stone yang waktu itu lagi booming setelah tampil nekad di Basic Instinct. Film Sliver sendiri digadang-gadang bakal lebih ‘hot’ daripada Basic Instinct. Hasilnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, tiket acara ‘bedah film’ sold-out, penonton sampe rela duduk di lantai karena nggak kebagian kursi.

Dua pengalaman tadi membuktikan, film adalah produk yang sangat subyektif. Dan subyektifitas film ini bisa membuat kegiatan mereview film menjadi sangat sulit, atau justru sangat gampang – tergantung gimana kita menyikapinya.

Kalo kita menulis review film dengan tujuan mengangkat kebagusan atau kejelekan sebuah film secara absolut, dan berharap semua pembaca setuju sama pendapat kita, maka mereview film adalah pekerjaan yang sangat sulit, bahkan mustahil.

Sedangkan yang gue lakukan adalah, sekedar menuliskan apa kesan-kesan gue sebagai seorang konsumen sebuah produk industri yang udah mengeluarkan duit untuk mendapatkannya.Gue menulis review dengan kerangka pikiran bahwa di luar sana, dari sekian orang yang baca blog gue, pasti ada segelintir orang yang kurang lebih selera filmnya mirip dengan gue. Maka saat menulis review, gue membayangkan lagi berada dalam posisi orang yang baru keluar dari gedung bioskop dan kebetulan ditanya seorang temen yang lagi ngantri tiket, “Eh gimana, filmnya bagus nggak?”. Gue sekedar menceritakan kesan-kesan gue, sementara keputusan untuk tetap menonton atau batal gue serahkan kembali ke para penanya. Dan untuk melakukan itu, menurut gue, adalah hak setiap konsumen, dan bisa dilakukan siapa aja.

Beginilah langkah-langkah gue saat mereview sebuah film…

Buat yang suka baca-baca review gue sejak awal terbitnya blog ini mungkin mengamati, bahwa ada perubahan cara gue mereview film.

Dulu, review adalah sarana ‘pelampiasan’ kalo kebetulan apes nemu film yang jelek. Maka review-review gue penuh bertaburkan aneka plesetan, sindiran dan bahkan curhat colongan yang seringkali nggak relevan dengan isi filmnya sendiri. Gue paling foya-foya melakukan ini di reviewnya film Terowongan Casablanca. Terkadang, gue malah sengaja nonton film yang emang kemungkinan besar jelek, hanya untuk gue tulis sebagai bahan bulan-bulanan di review.

Tapi kemudian gue mengubah gaya itu akibat 2 hal:

  1. Film Ratatouille. Di film ini ada sebuah kutipan yang bikin gue tertohok banget, yang kurang lebih intinya berpesan, “sejelek-jeleknya hasil karya seseorang, masih lebih baik (dan lebih sulit) daripada kerjanya kritikus yang bisanya cuma komentar doang”.
  2. Komentar beberapa pembaca review gue yang bilang “Oh, jadi menurut lo filmnya jelek ya? Oke deh, gue nggak akan nonton.” Waduh, ternyata tulisan asal cuap gue beneran digubris oleh para pembaca. Artinya, gue harus lebih hati-hati menulis review, karena sedikit banyak bisa mempengaruhi ‘rejeki’ para pembuat film tersebut!

Dalam rangka membuat review film yang lebih ‘bisa dipertanggungjawabkan’, maka gue membiasakan diri untuk melakukan langkah-langkah berikut saat menulis review:

  1. Menyebutkan ekspektasi gue atas film tersebut.
    Landasan utama untuk menentukan sebuah film ‘bagus’ atau ‘jelek’ adalah seberapa tinggi ekspektasi gue sebelum nonton. Contohnya: andaikan ada film yang disutradarai Steven Spielberg, bintangnya Tom Hanks dan Robert De Niro, penata musiknya Hans Zimmer, tapi ternyata jadinya ‘cuma’ sekualitas film ‘Pretty Woman’, maka film itu mungkin akan gue kasih bintang 1 atau 2. Tapi sebaliknya, film garapan Koya Pagayo, bintangnya Dewi Perssik dan judulnya ‘Hantu Pocong Kamar Mayat Mati Kemarin Saat Lagi Datang Bulan’ tapi ternyata kualitasnya setara film Shutter atau The Eye, maka bisa-bisa film itu langsung gue nobatkan sebagai film bintang 5. Maka gue merasa para pembaca perlu untuk tau seberapa tinggi ekspektasi gue, sehingga bisa memahami mengapa akhirnya film itu gue nilai bagus atau jelek.
  2. Menyebutkan alasan di balik setiap penilaian
    Antara lain yang gue lakukan waktu mereview “My Name is Khan”, gue bilang salah satu kelemahannya adalah ‘penggunaan lensa wide angle-nya berlebihan’. Maksudnya, gue menyerahkan ke penilaian pembaca apakah kira-kira mereka akan terganggu dengan penggunaan lensa wide angle. Untuk orang-orang yang memang suka dengan efek lensa wide angle bisa berpikir, “wah kalo gitu film ini pasti akan nampak sangat keren sekali, dasar si mbot aja yang seleranya aneh”.
  3. Meminimalkan sindiran, plesetan dan curhat colongan
    Karena kalo faktor-faktor itu kebanyakan, akibatnya: (1) reviewnya jadi kepanjangan sehingga bikin orang males baca; dan (2) akan bias antara lagi ‘ngereview’ dengan ‘menghasut’. Walaupun untuk beberapa film tertentu gue masih sulit menahan diri untuk nggak main plesetan saking sebelnya, contohnya film Quickie Express.
  4. Menginformasikan kalau kemungkinan penilaian gue bias akibat terlalu ngefans sama salah satu aspek dari film tersebut.
    Misalnya waktu ngereview Superman Returns atau serial Star Wars. Untuk serial yang gue suka banget, maka standar gue biasanya akan menurun karena apa yang gue liat di layar akan terasa bagus-bagus aja.
  5. Menghindari spoiler
    Karena gue sendiri benci banget kalo ada orang sok lucu dengan menceritakan akhir sebuah film. Biasanya gue memilih untuk menceritakan ringkasan cerita film sampe ke pemaparan konflik dasarnya aja.

Tentunya bukan berarti 5 langkah tadi adalah cara yang ‘baik dan benar’ untuk mereview film, tapi cuma sebatas yang gue tau dan gue bisa. Untuk orang-orang yang beneran ‘makan sekolahan’ bidang perfilman pastinya punya segudang referensi teknis tentang syarat review yang baik dan benar, dan mungkin 5 langkah tadi cuma mencakup sebagian kecil di antaranya.

Yang gue lakukan hanya sekedar ocehan seorang penonton awam, ditujukan buat penonton awam lainnya. Dan gue yakin setiap orang berhak, dan bisa melakukannya. Jadi, yuk, ngereview film!

nulis sambil ngantor? bisa!


Hari ini pertanyaan berikut masuk di shoutbox gue:

“numpang ngomong ya mbot, cr ngebagi waktu loh antara kerja dan ngeblog gimana si..”

Berhubung jawabannya panjang, gue tulis di posting aja deh. Kali-kali bermanfaat buat lainnya.

Kalo boleh milih, tentunya gue lebih seneng nulis sambil santai, make celana pendek dan kaos robek, sambil denger musik, ngemil kacang dan minum es teh, sesekali ngecek FB dan main game, diseling nonton tv bentar, ngerokok sebatang dua batang, ngetik lagi, dst dst. Tapi makin lama kesempatan seperti itu makin jadi barang mewah, jadi ya… guenya yang harus mengerahkan upaya ekstra untuk tetep bisa nulis, baik untuk blog maupun buku ke dua.

Prinsip 1: tulisan nggak akan mungkin sempurna sebelum ADA

Dulu waktu gue masih punya banyak waktu, untuk bikin sebuah posting gue membutuhkan waktu bisa sampe berhari-hari. Buat yang udah baca buku “Ocehan si Mbot”, tulisan gue tentang Tujubelasan (hal 55 -85) itu gue tulis selama 3 hari non-stop. Diketik dulu di MS Word, pindahin ke Frontpage, dikasih warna-warna background, rapihin dulu kode-kode HTML-nya… wah, pokoknya ribet. Rentang waktu kejadian yang diceritain juga panjang dan detil banget. Tujuannya untuk bikin tulisan yang menurut gue ‘sempurna’.

Kalo sekarang gue melakukan hal yang sama, bisa-bisa blog ini baru gue update 3 bulan sekali. Sekarang, gue memilih tema-tema tulisan yang bisa ditulis segera. Toh kalo ada kesalahan atau ketidaksempurnaan, bisa dipoles belakangan. Tema-tema yang kira-kira akan butuh penulisan yang ribet, gue simpen dulu sebagai draft untuk ditulis kapan-kapan kalo ada waktu luang.

Prinsip 2: keyboard sebagai proses akhir

Artinya, proses penulisan gue lakukan secara abstrak di dalam kepala sebelum gue berkesempatan ketemu keyboard untuk nulis. Kalo prosesor komputer yang buatan manusia aja bisa melakukan multi-tasking alias mengerjakan beberapa kegiatan pada saat yang bersamaan, gue yakin otak buatan Tuhan mampu melakukannya dengan lebih baik lagi. Saat dapet ide, gue biarkan ide itu berkembang di dalam otak seperti adonan roti. Sesiangan proses itu berjalan, sementara gue ngerjain tugas-tugas kantor. Apalagi dalam sehari pasti ada aja saat di mana gue cuma bisa bengong tanpa ngerjain apapun, seperti misalnya ngantri pesen makan siang atau duduk di boncengan ojek. Saat-saat seperti itu gue manfaatkan untuk mengembangkan ide di kepala. Malam harinya, biasanya ide itu udah jadi, tinggal disalin dari dalam kepala ke keyboard.

Prinsip 3: umum ke khusus

Kalo dulu gue menulis sesuatu secara lengkap dari awal sampe akhir, dengan dukungan referensi-referensi hasil browsing di google, sekarang gue memilih untuk memecah ide dalam bentuk yang lebih spesifik. Dengan demikian tulisannya bisa lebih pendek dan lebih gampang ditulis (dan lebih gampang dibaca juga, tentunya).

Prinsip 4: lebih baik sedikit daripada enggak sama sekali

Karena nyari waktu yang khusus untuk duduk diem dan nulis sambil merenung-renung makin sedikit, ya gue manfaatin aja waktu yang ada – sesedikit apapun. Misalnya waktu makan siang. Sebagaimana orang kantoran lainnya, gue punya waktu makan siang 1 jam, dari jam 12.00 – 13.00. Lima belas menit pertama gue pake untuk makan siang, 10 menit untuk salat Zuhur, masih ada 35 menit untuk nulis. Dalam waktu 35 menit mungkin nggak banyak yang bisa ditulis, tapi kan lebih baik daripada enggak sama sekali.

Prinsip 5: ide sebagai ‘password’

Kalo lagi kerja tiba-tiba dapet ide, gue tuliskan ide itu dalam satu – dua kalimat dan gue kirimkan via email ke alamat email pribadi gue. Suatu hari nanti kalo gue lagi butuh tambahan ide, gue tinggal buka email – email pendek itu. Seperti password, ide-ide pendek itu biasanya bisa membuka ‘keran’ ide dalam bentuk yang lebih kompleks.

Begitulah kurang lebih strategi yang gue jalankan untuk menyiasati waktu yang makin terbatas buat nulis. Buat himura323, semoga menjawab ya!

Ada yang punya strategi lainnya? Silakan dibagi di sini.

Behind the scene: Game di Halal Bihalal MP


Whuaaah… capek banget hari ini, tapi seru bangeeet..!

Mungkin nggak banyak yang bisa gue ceritain di sini, mengingat gue nggak sampe 12 jam ikutan dalam acara yang diskedul untuk 2 hari ini, tapi mayan lah ya, itung2 preview buat yang nggak sempet hadir. Gue yakin paling lambat Senin foto2 udah mulai bermunculan di MP. Dan yakinlah, jumlahnya akan buanyaaaakkkk banget!!

Cerita gue dimulai hari Kamis 10 November kemarin. Rapat pleno panitia. Gue dan Ida ngumpul di PlaNgi bareng Iwan, Nozqa, Wiku, Bayu, Ade, Ciput dan tentunya ibu bupati, disusul Wib dan Soraya yang muncul belakangan dan Sigit yang muncul belakangan banget. Ada Nanin juga, nggak sengaja ikutan rapat krn dia baru pulang fitness dan langsung mendaftarkan diri ikut Halal Bihalal. Secara gue kebagian megang game untuk hari Sabtu pagi, semua pada nanya-nanya kayak apa gamenya – dan gue cuma bisa ngasih gambaran selintas aja karena konsep gamenya emang belum gue susun! Hehehe… Toh, besokannya (Jum’at) masih ada hari, pikir gue.

Jum’at 11 November 2005. Pagi-pagi gue udah niat mau cari tukang reparasi tivi, mengingat minggu depan udah mulai ngantor lagi. Eh tau2 ibu gue nitip beliin obat di pasar baru. Abis beli obat pulang ke rumah, sholat Jum’at, pergi lagi untuk urusan “bisnis”, mampir kantor Shanti ngambil pepaya untuk dibawa besok, jemput Ida yang lagi training di Caringin – deketnya Hero Terogong, pulangnya mampir makan bakmi bloon di Theresia, trus sampe rumah pergi lagi ke rumah kakak gue di Sunter untuk minjem mobil. Abis ngambil mobil, gue pesen pastel untuk jatah potluck di Holland Bakery Cikini, belanja-belanja dikit di Hero, baru nyampe rumah. Liat jam, udah jam 9 lewat… trus pikir-pikir: nah lo, gue belum nyiapin apa2 untuk game besok!! Matiiii….!!

Maka malem itu gue ngebut nyiapin game sebisa-bisanya. Yang pertama game Potongan Lagu. Masing-masing peserta dapet 1 kertas kecil bertuliskan satu kata dari sebuah lagu. Waktu nerima kertas itu, mereka nggak tau bahwa itu adalah bagian dari sebuah lagu. Tantangannya adalah gimana cara mereka menemukan kelompoknya (yaitu peserta-peserta yang megang teks dari lagu yang sama) tanpa berunding – hanya dengan membacakan kata yang mereka pegang itu aja.

Berhubung gue nggak tau pasti akan ada berapa jumlah orang yang hadir besok pagi (karena pesertanya kan ada yang dateng sore, ada yang minggu pagi, etc), terpaksa deh gue siapin 5 lagu untuk dipotong-potong: “Aku Seorang Kapiten”, “Naik Kereta Api”, “Topi Saya Bundar”, “Bintang Kecil”, sama “Burung Kakak Tua”.

Dah, beres satu game. Selingan: muncul Bayu dan Ade, Ade-nya mau nginep karena mau berangkat bareng besok. Kembali pada game. Kembali mengalami proses alam di mana kalo udah memasuki tahap desperate dikejar deadline, suka muncul ide-ide yang bermanfaat. Gue tau2 keinget sama game “Win Lose or Draw”: 2 kelompok peserta bersaing adu cepet menebak petunjuk yang digambar di atas flipchart. Tapi berhubung besok belum tentu ada tempat untuk naro flipchart, maka gue modifikasi sedikit jadi game bernama “Body Language”. Cara mainnya: 4 orang maju mewakili kelompok. Kepada wakil kelompok yang 4 orang ini ditunjukkan kartu yang memuat sebuah kata terdiri atas 4 huruf. Tugas wakil kelompok memposisikan tubuhnya sedemikian rupa membentuk huruf sehingga kelompoknya bisa menebak kata apa yang dimaksud.

Sebenernya rada was-was juga untuk make game ini, karena belum pernah diujicoba sebelumnya. Yang namanya game tuh selalu nggak terduga; kadang yang di atas kertas bakal seru ternyata garing, atau sebaliknya – game yang kayaknya udah basi ternyata malah disambut meriah. Tapi, kalo nggak pernah diujicoba kita nggak akan pernah tau ini game akan seru atau garing!

Setelah nemu game ke dua dan nyiapin kartu2 petunjuknya, sebenernya gue masih punya 1 ide game lagi. Konsepnya mirip sama segmen “Tebak Wajah” di kuis Berpacu Dalam Melodi: kepada peserta ditunjukkan 4 potongan gambar wajah secara berurutan di layar, makin lama makin jelas wajahnya tapi makin kecil hadiahnya. Yang terpikir sama gue, karena besok nggak mungkin menampilkan potongan wajah, maka soalnya diganti dengan cuplikan informasi. Makin ke belakang makin jelas siapa yang dimaksud, tapi nilainya makin kecil. Cuma akhirnya ide ini gue drop karena udah kemaleman dan gue juga udah nggak mood nulis2 kartu petunjuk banyak2. Mungkin bisa dipake kapan2.

Selain itu gue juga melengkapi diri dengan sedotan, aqua botol, kertas dan spidol. Alat2 ini fleksibel untuk dipake main game dalam ruangan, bisa jadi banyak kemungkinan. Ditambah dengan game Mystery Guest yang udah beberapa kali gue mainin di kantor2 sebelumnya. Kalo game yang ini andalan deh, pasti bisa bikin suasana jadi seru. Cara mainnya mirip sama kuis Siapa Dia di TVRI dulu. Bedanya, ada 4 orang yang disembunyin di balik layar, tapi hanya 1 yang jadi mystery guest. Sisanya sekedar jadi pengecoh aja. Tugas peserta adalah nebak siapakah yang jadi mystery guest itu, dengan cara mengajukan pertanyaan tertutup (yes / no question). Nanti mystery guestnya ngejawab dengan isyarat yang udah ditentuin, misalnya mengetuk satu kali untuk “Ya” dan dua kali untuk “Tidak”. Tadinya juga sempet kepikiran mau bawain Helium Stick seperti yang gue mainin di acara ini, tapi males bawa2 tongkat pelnya

Seluruh persiapan baru beres jam 1/2 2 saja, dan gue langsung bablass… tidur sampe pagi.

Hari ini, tanggal 12 November; bangun rada kesiangan jam 6, sarapan bubur Tanjung yang nomor 3 terenak di Indonesia, Nanin dateng ontime jam 7 sementara gue belum mandi, dan baru nggelinding jam 8. Sampe lokasi jam 1/2 11 lewat, sementara di jadwal harusnya ice breaker game mulai jam 10. Pritha menyambut Ida dengan pertanyaan,

“Es-nya manaaaaa….?”

“Es apaan??”

“Es breakeeeeerrr….”

Huhuhuhu, nyindir keterlambatan kami rupanya….. maap deh maaaap…!

Game akhirnya baru mulai jam 11 lewat, dibuka dengan game Potongan Lagu. Berhubung jumlah pesertanya 20-sekian, maka gue pake lagu “Topi Saya Bundar” dan “Aku Seorang Kapiten” yang total jumlah potongan katanya 26. Hasilnya sedikit mengejutkan karena yang seharusnya cuma terbentuk 2 barisan ini malah jadi tiga; orang-orang yang kebagian teks ‘Kapiten’ eyel-eyelan nggak mau ngegabung karena masing-masing ngerasa udah melen
gkapi lagunya. Untung akhirnya mereka insyaf dan mau bergabung. Kelompok dengan lagu Topi dinyatakan sebagai pemenang.

Sejak game pertama ini maka peserta terbagi jadi 2 kelompok, kelompok Topi dan kelompok Kapiten. Game ke dua, mendadak gue kepikiran bikin game tambahan. Gamenya ece-ece banget: masing2 kelompok harus mengirim wakil maju. Wakil yang dikirim maju harus memenuhi 5 syarat: (1.) Gabung di MP sebelum 2005 (2.) jumlah contact 100-250 orang (3.) Id-nya mengandung angka (4.) tampilan MP-nya berwarna (nggak putih polos). dan (5.) Pernah jualan sesuatu di Market-nya MP. Wakil yang dikirim ke depan maksimal 5, tapi makin banyak wakil yang dikirim, nilainya makin kecil. Jadi nilai maksimal 50 diberikan untuk kelompok yang bisa memilih 1 wakil yang memenuhi 5 kriteria tsb. Kalo yang dikirim maju 2 orang, maka nilainya 40, dst.

Ini game ece-ece dalam arti kurang seru karena kurang terasa kompetisinya, tapi bagus untuk pengenalan antar anggota kelompok. Untuk bisa ngirim wakil ke depan, mereka harus saling kenalan dulu di kelompok masing-masing kan? Game ini dimenangkan oleh kelompok Kapiten yang ngirim 2 wakil, sementara kelompok Topi kirim 3.

Game berikutnya: Mystery Guest. Kedua kelompok sukses menebak identitas Widji melalui serangkaian pertanyaan yang makin lama makin nggak jelas seperti “Apakah Anda punya pacar di Rawamangun?” “Apakah Anda yang waktu itu ikut Ari jalan-jalan ke rumah Latief?” dan “Apakah Anda mirip Tora?”==> pertanyaan yang ini dianulir karena menyangkut fisik.

Game ke-empat, “Body Language“. Komentar-komentar peserta di awal permainan sempet bikin gue pesimis karena pada bilang ‘huruf apa tuh, nggak jelas!” sementara keempat peraga di depan udah jungkir balik. Shanti malah sampe rebah di lantai demi dedikasinya memperagakan huruf J. Untungnya, setelah lewat beberapa soal peserta mulai bisa menangkap bentuk-bentuk huruf yang diperagakan dan akhirnya seru sendiri. Pheeeewww….. lega. Game ini akhirnya dimenangkan kelompok Kapiten sekaligus mengukuhkan kelompok ini sebagai juara umum.

Jam 12 makan siang, dilanjutkan dengan acara diskusi Forum Multiply For Humanity bersama Ciput. Ini molor 2 jam dari jadwal, seharusnya jam 1 jadi jam 3 aja gitu. Sekitar jam 6 gue Ida dan Nanin beranjak pulang. Ade nggak ikutan pulang, sehingga tempatnya di mobil digantikan oleh Uthe.

Buat panitia, thanks banget buat segala upayanya bikin acara ini terlaksana. Kalian semua emang TOP ABIS !! Ditunggu liputan dan foto-fotonya.