menulis review, hak segala bangsa

“Gung, tulisin review film ‘anu’ dong, di blog lu! Menurut gue tuh film keren deh.”
“Lho kenapa nggak lu aja tulis sendiri? Kan lu udah nonton?”
“Nggak bisa ah, nggak ngerti gue nulis-nulis review kaya gitu.”

Udah beberapa kali gue mengalami dialog seperti pembuka blog ini: seorang teman yang terkesan pada sebuah film, ribut mendesak gue untuk menuliskan reviewnya dengan alasan yang kurang lebih bernada ‘dia kurang kompeten untuk mereview film’.

Benarkah menulis sebuah review film itu butuh batas kompetensi minimal?

Dalam pandangan gue, film adalah sebuah produk industri, sama seperti sandal jepit, obat nyamuk atau kompor gas. Kita adalah para konsumennya. Kita bayar sejumlah uang untuk menontonnya, dan kita semua berhak untuk puas atau tidak puas dengan sebuah produk film, sama seperti kita bisa ngomel kalo sandal jepit yang baru dibeli kemarin tiba-tiba udah putus.

Bedanya mungkin adalah karena untuk urusan film, unsur subyektifitasnya lebih besar dalam menentukan “bagus” vs. “jelek”. Ekspektasi orang atas sepasang sandal jepit jauh lebih obyektif, sehingga kalo nggak puas maka konsumen bisa ngomel secara tenteram karena hampir pasti disetujui oleh lawan bicara. Karena hampir semua orang, secara obyektif, akan setuju bahwa sandal jepit yang putus kurang dalam tempo 24 jam adalah sandal jepit yang jelek.

Sedangkan untuk film, walaupun ada faktor-faktor yang bisa dinilai secara obyektif, tapi tetap aja unsur subyektifitasnya lebih dominan. Waktu era kejayaan Laser Disc tahun 90-an dulu, seorang mas-mas penjaga tempat penyewaan LD pernah merekomendasikan sebuah film yang dibintangi oleh aktor laga Billy Blanks dengan pengantar sebagai berikut, “Ambil film yang ini aja boss… rame… badan gede, berantem terus dari awal sampe akhir.”

Kalo saat itu gue ngotot sampe urat leher nongol bahwa “badan gede berantem dari awal sampe akhir” belumlah cukup untuk mengindikasikan sebuah film adalah film yang bagus, maka gue jamin akan terjadi perdebatan kusir tak berujung dengan si mas penjaga. Jelas buat dia film bagus adalah film yang dibintangi pria berbadan gede yang berantem dari awal sampe akhir.

Jaman masih di kampus dulu, senat suka bikin acara ‘bedah film’ Film-film yang diangkat tentunya film yang ‘berkualitas tinggi’ (menurut versi panitia) seperti Dead Poet Society atau The Remains of the Day. Acaranya sederhana aja: bawa TV yang rada gede ke kantin, setelin LD sewaan, terus dilanjutkan dengan diskusi. Ternyata, acara seperti ini sepi peminat. Gue lantas mengusulkan, “Gimana kalo untuk bedah film berikutnya, kita bedah filmnya Billy Blanks, Frank Zagarino atau Cindy Rothrock aja. Pasti rame deh pesertanya.” Sayangnya usul tersebut ditolak mentah-mentah oleh panitia dengan alasan kesulitan menemukan materi diskusinya nanti.

Beberapa waktu kemudian, angkatan gue lagi butuh dana besar untuk bikin acara angkatan, dan sekali lagi usul sejenis gue lontarkan. Berhubung panitia lagi desperado butuh duit, maka usul gue diterima dan diadakanlah acara bedah film dengan mengangkat film Sliver, dibintangi oleh Sharon Stone yang waktu itu lagi booming setelah tampil nekad di Basic Instinct. Film Sliver sendiri digadang-gadang bakal lebih ‘hot’ daripada Basic Instinct. Hasilnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, tiket acara ‘bedah film’ sold-out, penonton sampe rela duduk di lantai karena nggak kebagian kursi.

Dua pengalaman tadi membuktikan, film adalah produk yang sangat subyektif. Dan subyektifitas film ini bisa membuat kegiatan mereview film menjadi sangat sulit, atau justru sangat gampang – tergantung gimana kita menyikapinya.

Kalo kita menulis review film dengan tujuan mengangkat kebagusan atau kejelekan sebuah film secara absolut, dan berharap semua pembaca setuju sama pendapat kita, maka mereview film adalah pekerjaan yang sangat sulit, bahkan mustahil.

Sedangkan yang gue lakukan adalah, sekedar menuliskan apa kesan-kesan gue sebagai seorang konsumen sebuah produk industri yang udah mengeluarkan duit untuk mendapatkannya.Gue menulis review dengan kerangka pikiran bahwa di luar sana, dari sekian orang yang baca blog gue, pasti ada segelintir orang yang kurang lebih selera filmnya mirip dengan gue. Maka saat menulis review, gue membayangkan lagi berada dalam posisi orang yang baru keluar dari gedung bioskop dan kebetulan ditanya seorang temen yang lagi ngantri tiket, “Eh gimana, filmnya bagus nggak?”. Gue sekedar menceritakan kesan-kesan gue, sementara keputusan untuk tetap menonton atau batal gue serahkan kembali ke para penanya. Dan untuk melakukan itu, menurut gue, adalah hak setiap konsumen, dan bisa dilakukan siapa aja.

Beginilah langkah-langkah gue saat mereview sebuah film…

Buat yang suka baca-baca review gue sejak awal terbitnya blog ini mungkin mengamati, bahwa ada perubahan cara gue mereview film.

Dulu, review adalah sarana ‘pelampiasan’ kalo kebetulan apes nemu film yang jelek. Maka review-review gue penuh bertaburkan aneka plesetan, sindiran dan bahkan curhat colongan yang seringkali nggak relevan dengan isi filmnya sendiri. Gue paling foya-foya melakukan ini di reviewnya film Terowongan Casablanca. Terkadang, gue malah sengaja nonton film yang emang kemungkinan besar jelek, hanya untuk gue tulis sebagai bahan bulan-bulanan di review.

Tapi kemudian gue merubah gaya itu akibat 2 hal:

  1. Film Ratatouille. Di film ini ada sebuah kutipan yang bikin gue tertohok banget, yang kurang lebih intinya berpesan, “sejelek-jeleknya hasil karya seseorang, masih lebih baik (dan lebih sulit) daripada kerjanya kritikus yang bisanya cuma komentar doang”.
  2. Komentar beberapa pembaca review gue yang bilang “Oh, jadi menurut lo filmnya jelek ya? Oke deh, gue nggak akan nonton.” Waduh, ternyata tulisan asal cuap gue beneran digubris oleh para pembaca. Artinya, gue harus lebih hati-hati menulis review, karena sedikit banyak bisa mempengaruhi ‘rejeki’ para pembuat film tersebut!

Dalam rangka membuat review film yang lebih ‘bisa dipertanggungjawabkan’, maka gue membiasakan diri untuk melakukan langkah-langkah berikut saat menulis review:

  1. Menyebutkan ekspektasi gue atas film tersebut.
    Landasan utama untuk menentukan sebuah film ‘bagus’ atau ‘jelek’ adalah seberapa tinggi ekspektasi gue sebelum nonton. Contohnya: andaikan ada film yang disutradarai Steven Spielberg, bintangnya Tom Hanks dan Robert De Niro, penata musiknya Hans Zimmer, tapi ternyata jadinya ‘cuma’ sekualitas film ‘Pretty Woman’, maka film itu mungkin akan gue kasih bintang 1 atau 2. Tapi sebaliknya, film garapan Koya Pagayo, bintangnya Dewi Perssik dan judulnya ‘Hantu Pocong Kamar Mayat Mati Kemarin Saat Lagi Datang Bulan’ tapi ternyata kualitasnya setara film Shutter atau The Eye, maka bisa-bisa film itu langsung gue nobatkan sebagai film bintang 5. Maka gue merasa para pembaca perlu untuk tau seberapa tinggi ekspektasi gue, sehingga bisa memahami mengapa akhirnya film itu gue nilai bagus atau jelek.
  2. Menyebutkan alasan di balik setiap penilaian
    Antara lain yang gue lakukan waktu mereview “My Name is Khan”, gue bilang salah satu kelemahannya adalah ‘penggunaan lensa wide angle-nya berlebihan’. Maksudnya, gue menyerahkan ke penilaian pembaca apakah kira-kira mereka akan terganggu dengan penggunaan lensa wide angle. Untuk orang-orang yang memang suka dengan efek lensa wide angle bisa berpikir, “wah kalo gitu film ini pasti akan nampak sangat keren sekali, dasar si mbot aja yang seleranya aneh”.
  3. Meminimalkan sindiran, plesetan dan curhat colongan
    Karena kalo faktor-faktor itu kebanyakan, akibatnya: (1) reviewnya jadi kepanjangan sehingga bikin orang males baca; dan (2) akan bias antara lagi ‘ngereview’ dengan ‘menghasut’. Walaupun untuk beberapa film tertentu gue masih sulit menahan diri untuk nggak main plesetan saking sebelnya, contohnya film Quickie Express.
  4. Menginformasikan kalau kemungkinan penilaian gue bias akibat terlalu ngefans sama salah satu aspek dari film tersebut.
    Misalnya waktu ngereview Superman Returns atau serial Star Wars. Untuk serial yang gue suka banget, maka standar gue biasanya akan menurun karena apa yang gue liat di layar akan terasa bagus-bagus aja.
  5. Menghindari spoiler
    Karena gue sendiri benci banget kalo ada orang sok lucu dengan menceritakan akhir sebuah film. Biasanya gue memilih untuk menceritakan ringkasan cerita film sampe ke pemaparan konflik dasarnya aja.

Tentunya bukan berarti 5 langkah tadi adalah cara yang ‘baik dan benar’ untuk mereview film, tapi cuma sebatas yang gue tau dan gue bisa. Untuk orang-orang yang beneran ‘makan sekolahan’ bidang perfilman pastinya punya segudang referensi teknis tentang syarat review yang baik dan benar, dan mungkin 5 langkah tadi cuma mencakup sebagian kecil di antaranya.

Yang gue lakukan hanya sekedar ocehan seorang penonton awam, ditujukan buat penonton awam lainnya. Dan gue yakin setiap orang berhak, dan bisa melakukannya. Jadi, yuk, ngereview film!

gambar gue pinjem dari sini

37 comments


  1. mbot said: *nyiapin tempat, kayaknya kalo jempolnya dah nggak cantengan replynya bakal panjang nih

    Point ketiga itu sebenernya cuma soal esensi, esensi, esensi.Seperti pernah ditulis dalam jurnal Kesadaran Jari Tengah persoalan penting buat kita sebagai mahluk primata yang paling seksi adalah sering terlalu genit dengan kesadaran kita. Tapi baiklah..Karena sudah dituduh, mari kita penuhi saja harapannya.Supaya tambah panjang kita urai dari soal spoiler.Sebetulnya gak ada masalah dengan orang yang memilih menghindari spoiler. Sama tidak bermasalahnya dengan orang yang senang mengumbar spoiler. Yang jadi masalah cuma alasan kenapa mereka memilih melakukan atau tidak melakukannya. Yang lebih jadi masalah, adalah kalau pilihannya didasarkan pada alasan yang belum tentu kebenarannya, atau kalau dikaji-kaji alasan itu malah bertentangan dengan nilai-nilai esensi yang seharusnya ada dalam kesadarannya.Seperti sudah ditulis sebelumnya, spoiler itu sebetulnya istilah rekaan, rekayasa, dibikin-bikin, dihembus-hembus dan diisukan kanan ke kiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan karena satu alasan : komersialisasi.”Lu tulis spoiler, orang jadi males nonton. –dilanjutkan dengan bisik-bisik : film jadi nggak laku–“Kurang lebih begitu pakemnya. Mau ending bagus-ending jelek, adegan keren-adegan koplok, kalau diumbar habis-habisan, orang “diyakini” jadi merasa gak perlu nonton.Ini alasan industri. Alasan komersialisasi.Dan karena basis alasan itu dihidupkanlah pomeo kalau menulis spoiler itu sesuatu hal yang buruk. Penulis review film bukan cuma dihimbau, dibiasakan, tapi juga diyakinkan, kalau spoiler itu hukumnya haram.Dan kalau kita memilih mengikuti pakem itu, maka konsekuensinya kita kudu mendasarkan alasan gak mau nulis spoiler karena satu alasan yang tepat : mendukung industri perfilman. Kalau kita tulis review dengan mengumbar spoiler, orang nanti jadi banyak gak nonton, kasian yang bikin film.Itu hal yang dihembuskan sebagai pandangan objektif. Sebagai sebuah objektivitas.Dan seperti disebut dalam tanggapan singkat sebelumnya, nggak ada itu objektivitas.Objektivitas adalah istilah rekaan, rekayasa, dibikin-bikin, dihembus-hembus dan diisukan kanan ke kiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan karena satu alasan : pembenaran.Supaya dianggap benar, maka diisukan ada sebuah mahluk bernama objektivitas. Atau paling tidak, tidak ada objektivitas dalam pengertian yang umum dikenal orang : pandangan yang berdasarkan objeknya, yang seakan-akan bertentangan dengan pandangan subjektivitas.Kalau ditilik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, objektivitas diartikan sebagai “sikap jujur dalam mengambil tindakan atau keputusan”. Pengertian ini lebih bisa diterima ketimbang pengertian “pandangan berdasarkan objek”.Masalahnya, pandangan / sikap jujur itu justru mengacu pada subjek. Ya. Yang memandang selalu subjek. Pandangan jujur setiap orang tidak harus sama. Karena dalam pandangan yang bicara bukan cuma kejujuran, tapi banyak faktor yang mempengaruhi si pemandang/pengamat. Warna merah, bagi orang buta warna yang paling jujur sekalipun tidak akan disebut merah. Begitu pula dalam hal sandal jepit yang gampang putus dalam dua puluh empat jam, ataupun dalam mengapresiasi film, pandangan jujur setiap orang akan dipengaruhi banyak faktor internal dalam dirinya.Perbedaan pandangan antara satu orang dengan orang lain, tidak menyebabkan pandangan mereka menjadi “subjektif” dalam pengertian “tidak objektif”. Pandangan mereka memang subjektif, dan selam jujur, maka seharusnya tetap objektif. Bahkan dalam dunia eksak pun tidak ada mahluk bernama objektifitas. “Objectivity does not exist in science due to the fact that all scientific methods and measurements are based on human tools and ideas”Jadi jelas, hembusan ide adanya mahluk bernama objektifitas ini tidak lain hanyalah sebuah konsep yang dihidupkan karena satu alasan : pembenaran. Supaya pendapatnya diakui benar oleh orang lain, didalilkan sebagai pandangan objektif. Dirumuskan secara ngarang bagaimana objektif adalah pandangan yang berlaku umum. Dan lucunya, dalam konsep seperti itu justru logika malah dijungkirbalikkan. Karena kita tahu, dalam setiap fenomena yang berlaku umum, maka pada saat yang sama selalu ada hal yang berlaku khusus. Dan mana yang benar? Keduanya selalu benar. Fenomana yang berlaku umum, dan berlaku khusus pasti benar karena keduanya memang terjadi secara faktual. Atau keduanya pasti salah, jika faktual itu merupakan konsep bikin-bikinan yang lain.Dalam soal seperti sandal jepit atau spoiler, maka konsep objektivitas yang mendalilkan “sandal jepit putus dalam dua puluh empat jam = buruk” atau “mengumbar spoiler = buruk” kemudian sering diuji dengan satu pertanyaan iseng : Sudah dibuktikan melalui survei? Sudah pernah dilakukan survei bahwa dalil itu memang dianggap benar oleh kebanyakan orang?Survei, Statistik adalah salah satu metode yang digunakan untuk mendukung dalil “objektifitas”.Atau kalau dalam perkara sandal jepit, argumentasinya mengatakan : ga usah disurveilah, pakai logika aja. Objektif itu tidak akan mengkhianati logika, katanya. Artinya, kalau disurvei dianggap pasti hasilnya dalil itu akan benar dianggap “benar” oleh kebanyakan orang. Dengan kata lain, survei tidak akan mengkhianati logika.Sekali lagi, konsep itu justru menjungkirbalikkan logika.Bagaimana mungkin kita mendalilkan sebuah pandangan sebagais kebenaran yang tidak mengkhianati logika, jika metode yang digunakan justru mengkhianati logika?Survei statistik itu adalah tools yang digunakan dalam pengkhianatan logika. Rumusan ribet dalam metodenya selalu bisa diuraikan dengan satu kata : ngegampangin.Gimana mungkin menjadikan sebuah kebenaran ketika preferensi 6-7 milyar manusia terhadap sebuah sandal jepit, diukur dengan survei yang dilakukan terhadap seratus orang yang dijadikan sampel? Pemilihan sampel dengan metode yang paling random dan paling canggih sekalipun, jelas sebetulnya cuma main judi belaka. Nasib keputusan sekian milyar dipertaruhkan dengan sampel seratus orang. Secara logika ini sudah ndak bisa dinalar sebagai sebuah konsep yang sehat.Tapi ilmu pengetahuan, dan kita manusia yang menghamba padanya, menganggap itu sebagai sebuah konsep yang paling mendekati kebenaran dalam keterbatasan kita. Maka, jadilah hasilnya sebagai sebuah pandangan objektif.Padahal bila kita mikir njlimet seperti uraian di atas ini, jelas bagi kita : ndak ada itu objektivitas. Metode survei itu bob kibul, dan sebagai manusia yang paling seksi di kalangan mahluk primat sungguh tidak pantas kita pertaruhkan nyawa kita pada dalil-dalil peang semacam objektivitas dan metode survei.Oke, sampe di mana kita Dora?Spoiler sudah, Objektivitas sudah.Sekarang tinggal merangkum keduanya dalam persoalan esensi-esensi-esensi.Dalam konteks mengapresiasi sebuah karya manusia, menulis review film itu tidak ada yang haram di dalamnya meski mengumbar setiap detil adegan seperti orang menganalisa video Ariel-Luna Maya yang dibahas perdetik.Apresiasi adalah penilaian kita dalam kerangka menghargai (apreciate). Meskipun total berisi hujatan, sebuah kritik yang ditulis dengan serius, meneliti adegan per adegan, detil per detil, dan mengumbar spoiler, adalah sebuah bentuk apresiasi.Itu satu konsep yang juga mesti dimengerti para penulis review.Akibatnya, alasan komersialisasi, selalu bisa dikalahkan dengan alasan yang sama kuat, ketika kita memilih mengumbar spoiler dalam review yang kita tulis.Kemudian, menulis adalah sebuah bentuk sharing. Berbagi apa yang ada dalam benak kita, apa yang kita pikir kepada orang lain yang membaca. Jadi sebuah unsur yang ajaib, kalau “berbagi” kemudian diiringi dengan “menutup-nutupi”. Terbuka tapi berahasia. Itu bukan cuma ajaib, tapi juga tukulistis. Katrok, dan komersiil.Dalam konsep berbagi pula, maka kesadaran yang dimiliki adalah : pembaca itu punya otak yang cukup cerdas untuk membaca, bukan mahluk primat
    yang kurang seksi karena berbuntut dan mulutnya agak monyong plus berbulu lebat.Berbagilah seluas-luasnya, biarkan pembaca menentukan sikapnya sendiri.Artinya dalam menulis apresiasi terhadap sebuah film, thesis “spoiler itu bikin orang males nonton” pun seharusnya diletakkan dalam kerangka “pembodohan”.Orang diajak bodo, dengan dibiasakan untuk mempunyai sikap “males nonton karena sudah tahu ceritanya”Padahal nonton itu seharusnya adalah pengalaman spiritual. Sama kayak naik gunung, shalat di Mahameru, atau jalan di atas air. Orang bisa membaca detil bagaimana pengalaman naik gunung, mengetahui setiap kelokan yang ada di gungung itu, keindahan pemandangan apa saja yang terbantang di sana, sampe berapa lintah yang bisa anda bawa pulang sebagai oleh-oleh cindera mata. Tapi pengalaman spiritualnya tetap hanya bisa dirasakan kalau orang yang membaca kemudian memutuskan mengikuti jejak si penulis dengan menaiki puncak gunungnya.Begitulah pula dalam persoalan seni seperti film.Orang bisa membaca cerita dari a sampai z tentang sebuah film, mengetahui detil adegan, kejutan, adegan keren di mana, adegan busuknya di mana, tetapi seyogyanya ia harus disadarkan bahwa menonton film adalah pengalaman spiritual. Tonton sendiri dan rasakan. Pikir, dan kaji apakah yang ditulis pereview detil itu benar, atau si penulis itu cuma orang belagu yang sok tahu. Orang diajak cerdas untuk menghargai, untuk mengapresiasi. Menulis detil itu bukan untuk menggurui, tetapi untuk berbagi : Begini yang gue lihat dari adegan itu. Adegan itu membawa gue pada pikiran anu.. anu dan anu… Kalau elu gimana? Nonton aja sendiri.Kalaupun si pembaca memang tidak memiliki latar belakang pengalaman/pengetahuan seperti si penulis sehingga pandangan objektif (jujur) – nya berbeda, maka review dengan full detil dan spoiler bisa memperkaya si pembaca, baik yang belum nonton ataupun yang sudah.Ada yang membaca uraian ini mempermasalahkan beda review, resensi dan kritik?Bahwa yang saya maksudnkan itu bukan review tetapi kritik film? Jangan kuatir terhadap perbedaan-perbedaan itu. Saya bilang, beda-beda itu lagi-lagi cuma persoalan komersial belaka.Kalaupun kita mau mengacu pada persoalan beda review, resensi dan kritik, penulis amatiran seperti penulis blog, pada hakekatnya bermain dalam pola prodeo, gratisan, amatiran, dan bukan berbasis komersial. Artinya, pada hakekatnya apresiasi film pada media gratisan semacam blog ini tidak haram kalau bermain dalam pola kritik yang mengumbar spoiler, dan malah jadi agak timpang kalau bermain dalam pola komersial yang berpakem “anti spoiler”Ini mengerucut ke persoalan esensi paling puncak dalam tangapan ini.Blogging itu adalah konsep media yang membuat semua orang bisa menulis. Rakyat jelata juga bisa bersuara.Justru dalam media semacam blog, esensi “suara rakyat” itu seharusnya tetap dipeliharaKetika rakyat bersuara, maka lucu kalau fenomena “seleb” dihidup-hidupkan dalam wacana para blogger.Seleb itu konotasinya : bukan orang biasa. Jelas mengkhianati konsep blogging yang bernuansa “suara orang biasa”.Akibatnya dalam beraktifitas ngeblog, fenomena seleb sindrom juga sepatutnya dijauh-jauhkan dari benak para blogger.Once blogger berpikir ala seleb, maka dia sudah tidak lagi jadi orang biasa. Dan artinya saat itu konsep “suara orang biasa” justru jadi binasa. Bersuara saja seperti layaknya orang biasa, jangan merasa jadi suara seleb yang “pasti” diperhatikan orang banyak, jadi “publik figur” yang suaranya diturut orang lain secara buta.Jadi orang biasa. Anggap diri orang biasa. Dan tuntut orang lain membaca tulisan kita untuk bersikap kritis, untuk menilai sendiri, bukan cuma nunut ga tau junturungan. Itu dimulai dengan satu pola sikap : jauhkan seleb sindrom saat ngeblog. Gak ada itu “customer”, melayani pembaca, dan lain sejenisnya. Pelihara esensi egeliter dan demokratis yang terkandung dalam media super canggih bernama blog ini. Dan akhirnya tulisan panjang ini bisa dirangkum dalam tiga kata :Esensi-esensi-esensi.Sentaby,DBaonk


  2. fickleboon said: masih berusaha menjadi pereview yang baik… ihihi… kadang suka kelepasan kalo emang suka banget atau sebel banget sama satu film :dmakasih masukannya

    sama-sama 🙂


  3. dbaonkagain said: pertama, spoiler itu pakem yang dihidupkan karena basis alasan komersil.kedua, ngga ada itu objektifitas. semua juga subjektif.ketiga, ntar deh. pake hape males ngetiknya. jempol cantengan.

    *nyiapin tempat, kayaknya kalo jempolnya dah nggak cantengan replynya bakal panjang nih


  4. ameeel said: aku juga paling males kalo disuruh nulis review film (meski nonton premierenya doyan, hehehe), jadinya yang terbit di majalah cenderung resensi doang deh.. sekalian cari aman ^_^

    heheh… jadi kesannya nggak memihak ya?


  5. mbot said: nggak bisa quote reply karena dari mobile site

    boleh bagi PIN-nya?sekalian ama nomer credit card.pasword email, MP, FB … apa aja, deh.yang lengkap.*girang bisa chatting ama m’Agung! haha.ini juga disambi baca-baca postinganmu yang lain, mas.ternyata ketinggalan banyaaaak …


  6. mbot said: Kalo bisa mouse blue tooth aja bu dokter, ulekan di rumah udah banyak. Makasih sebelumnya lho.

    baiklah …alamat pak Masduki dimana, ya?bisa tolong diupdate?supaya kiriman ulekannya enggak nyasar.*review-nya victoria park mana, mas?


  7. evanda2 said: review itu ya bener2 isi otaknya penonton, jd apapun yang di simpulkan ya dari apa yang di tontonnya. Mo reviewnya bagus or jelek ya itu puree hasil nya dia. Jarang review sih aku, krn dah jarang nonton … ^_*

    Iya, unsur subyektifitasnya sangat tinggi. Makanya gue memilih untuk minimal ngasih penjelasan di balik penilaian subyektif tsb agar pembaca bisa memilih apakah mereka punya kerangka berpikir yang sama atau enggak.


  8. arddhe said: kalau saya, ga pernah punya pola tersendiri sih kalau nulis review…saya ga pernah membatasi sejauh mana saya mencaci-maki atau memuji-muji…saya juga ga begitu perduli kalau ada yang bilang review saya brainwash, yg mgkn berakibat mengurangi pendapatan sang filmmaker…iya benar bikin film itu susah, tapi saya sebagai konsumen merasa berhak untuk mengungkapkan betapa saya kesal atau betapa saya suka akan sebuah film…itu hak pribadi.hehe

    oh ya boleh-boleh aja. itu sih pilihan masing2 pereview kok.


  9. savikovic said: mood juga pengaruh kali ye 😀

    iya. Tapi kalo rajin latihan konon bisa nggak terlalu ngaruh lagi. Belum tau sih, belum nyampe ke taraf itu, soalnya 🙂


  10. review itu ya bener2 isi otaknya penonton, jd apapun yang di simpulkan ya dari apa yang di tontonnya. Mo reviewnya bagus or jelek ya itu puree hasil nya dia. Jarang review sih aku, krn dah jarang nonton … ^_*


  11. kalau saya, ga pernah punya pola tersendiri sih kalau nulis review…saya ga pernah membatasi sejauh mana saya mencaci-maki atau memuji-muji…saya juga ga begitu perduli kalau ada yang bilang review saya brainwash, yg mgkn berakibat mengurangi pendapatan sang filmmaker…iya benar bikin film itu susah, tapi saya sebagai konsumen merasa berhak untuk mengungkapkan betapa saya kesal atau betapa saya suka akan sebuah film…itu hak pribadi.hehe


  12. mbot said: kualitas hasil tulisan juga subyektif kok, jadi ya curahkan aja, sebagai ekspresi hak seorang konsumen atas produk film 🙂

    hihihihihihi…jadi kebayang klo aq yg nulis review film dgn gaya manja aq.. *gubraaks*