Kenapa Lu Bakal Kecewa Saat Sedekah Sambil Berharap Balasan Berlipat


“Mau dapet rezeki berlimpah? Sedekah aja! Tuhan akan membalas 700 kali lipat! Mau punya uang 700 juta? Cukup sedekah 1 juta! Mau punya uang 7 miliar? Sedekah aja 10 juta!”

Pernah denger ajakan kayak gitu? Atau elu malah lagi pikir-pikir untuk nyoba? Sebelum nyoba, baca dulu deh tulisan ini.

Bukan, gue bukan mau mempermasalahkan ‘sedekah itu harusnya ikhlas, nggak mengharap imbalan’. Ada pemuka agama yang bilang, justru kita hanya boleh mengharap kepada Tuhan, bukan kepada yang lain. Itu gue setuju 100%. Masalahnya, saat lu menyedekahkan duit dengan berharap dapet imbalan duit berkali-kali lipat, ada dua faktor yang berpotensi bikin lu kecewa.

(lebih…)

?


8

SPOILER ALERTSPOILER ALERT –SPOILER ALERTSPOILER ALERT –SPOILER ALERTSPOILER ALERT –SPOILER ALERTSPOILER ALERT

Awalnya gue rada bingung apakah tulisan ini sebaiknya masuk ke blog atau review, karena gue bukan cuma akan ngomongin filmnya tapi juga reaksi masyarakat atas film ini. Tapi setelah gue pikir-pikir, sulit untuk ngomongin reaksi masyarakat tanpa mereview film itu sendiri, dan bobotnya akan lebih berat ke review, maka masuklah dia ke sini. Cukup dua kali lah gue ngereview film di section blog, yaitu film ini dan film ini.

Terus terang gue nonton film ini dalam kondisi udah setengah ngantuk sehabis kelaparan akibat puasa menjelang medical check-up, jadi harap maklum kalo bagian awalnya gue lewatkan karena ketiduran. Bangun-bangun pas adegan Rika minta cerai dari suaminya.

Intinya, film ini bercerita tentang kehidupan 6 orang tokoh: Menuk (Revalina S Temat), Tan Kat Sun (Henky Solaiman), Soleh (Reza Rahadian), Ping Hen (Rio Dewanto), Surya (Agus Kuncoro), dan Rika (Endhita).

Menuk adalah seorang gadis berjilbab yang bekerja di kedai makanan Cina milik Tan Kat Sun. Digambarkan bahwa Tan Kat Sun yang beragama Katolik sangat menghormati lingkungan sekitarnya yang mayoritas muslim, antara lain menyediakan makanan berbabi dan tidak berbabi yang dimasak dengan alat masak terpisah, menutup jendela dan pintu dengan tirai selama bulan puasa, dan memberikan libur 5 hari kepada para karyawan saat Lebaran. Berbeda dengan Ping Hen alias Koh Hendra, anaknya. Hendra berprinsip bisnis adalah bisnis, kalau mau untung gede jangan kasih libur lama-lama, kalau mau kedai laris jangan tutup dengan tirai. Hendra pernah pacaran dengan Menuk, tapi Menuk akhirnya putus dengan Hendra dan memilih kawin dengan Soleh, seorang pemuda pengangguran yang, yah… soleh. Keputusan Menuk ini sulit diterima oleh Hendra, karena dia tidak habis pikir kenapa Menuk lebih memilih Soleh ‘hanya’ karena Soleh taat beragama, sedangkan Hendra lebih ‘menjanjikan’ secara ekonomi .

Pandangan ini diam-diam dirasakan juga oleh Soleh. Walaupun ia akhirnya dapat kerja sebagai Banser, tapi dia masih merasa rendah diri dibandingkan dengan Hendra, yang anak pengusaha. Beberapa kali Soleh mencetuskan dalam dialognya bahwa ia ingin ‘dianggap laki-laki’ oleh istrinya. Sebaliknya, digambarkan Menuk sebenarnya sudah memperlakukan suaminya sebagaimana mestinya, dan nggak menunjukkan gelagat membandingkan suaminya dengan Hendra. Dengan kata lain, problem Soleh hanya ada dalam pikirannya aja. Sedangkan problem Hendra adalah keberaniannya untuk memilih (jalan hidup) dan konsisten menjalaninya. Dalam sebuah dialog Tan Kat Sun menegur Hendra untuk berani memilih, karena sebelum berani memilih maka ia belum pantas jadi laki-laki dewasa. Saat itu Hendra memang masih terombang-ambing antara keputusan untuk membantu meneruskan bisnis kedai bapaknya, dengan membuka kedai sendiri yang makanannya full berbabi.

Di sisi lain, ada Rika, seorang ibu muslim yang tidak berjilbab, beranak satu, tidak terima suaminya kawin lagi lantas minta cerai. Tidak selesai sampai di situ, ia lantas pindah agama menjadi Katolik. Rika berteman dengan seorang pemuda (semi) pengangguran bernama Surya, seorang muslim, yang ngakunya sih berprofesi aktor tapi 10 tahun berkarir cuma kebagian peran figuran dan penjahat. Kebetulan gereja Rika akan mengadakan pementasan drama Paskah dan sedang butuh banyak pemain. Rika menawarkan kesempatan ini kepada Surya. Surya awalnya ragu-ragu, apalagi setelah dicasting ia ditunjuk memerankan Yesus. Tapi terdesak kebutuhan karena sedang bokek parah, Surya akhirnya mau. Sebelumnya ia berkonsultasi dengan seorang ustad, diperankan David Chalik. Ustad cuma berpesan, (kurang lebihnya) “kalaupun kita tinggal di tempat yang penuh dengan orang kafir, selama kita mampu menjaga hati dan aqidah, maka insya Allah kita akan selamat. Maka, tanya hatimu.”

Setelah pindah agama, Rika mendapat tentangan dari anak dan kedua orang tuanya. Anaknya mogok bicara dan nggak mau menerima sarapan dari Rika. Sedangkan penolakan dari orang tuanya digambarkan lewat adegan telepon Rika yang diputus sepihak oleh orang tuanya. Rika yang berprofesi membuka toko buku juga mendapat ‘intimidasi’ dari tetangganya, yang bilang (kurang lebih) “kalau tokonya mau laris, banyak-banyaklah jualan buku-buku Islam!” Setelah mogok bicara beberapa hari, akhirnya anak Rika mau juga berbaikan dengan ibunya, karena diajari oleh pak ustad tidak baik bermusuhan dengan orang lain lebih dari 3 hari. Digambarkan juga saat bulan puasa Rika menemani anaknya sahur dan mengajarkan niat berpuasa. Sedangkan di gereja, saat diminta menuliskan karangan tentang arti Tuhan, Rika malah menuliskan daftar Asmaul Husna beserta artinya – karena memang hanya konsep itu yang dia tahu tentang Tuhan.

Kehidupan tokoh-tokoh ini bersenggolan di gereja, di mana Rika dan Hendra beribadat, Surya main drama sebagai Yesus, Menuk ditugasi Tan Kat Sun menjadi petugas katering yang membagikan kotak makanan, dan Soleh menjadi salah satu anggota Banser yang diperbantukan menjaga gereja menjelang perayaan hari besar Katolik. di malam perayaan Paskah, Soleh sempat adu mulut dan akhirnya berantem saat berpapasan dengan Hendra.

Puncak konflik terjadi saat Lebaran, di mana pesan Tan Kat Sun untuk tutup kedai 5 hari tidak diindahkan oleh Hendra. Akibatnya Soleh yang memang dasarnya cemburuan memboyong rombongan preman pasar yang sambil berteriak-teriak “Allahu Akbar” menghancurkan kedai. Dalam insiden itu Hendra selamat karena ngumpet di dapur, tapi Tan Kat Sun terluka dan akhirnya meninggal. Sebelum meninggal, Tan Kat Sun membisikkan suatu pesan kepada Hendra.

Setelah itu, di malam Natal, Soleh yang lagi-lagi bertugas menjaga gereja mencoba meminta maaf atas kelakuannya yang cemburu tak berdasar kepada istrinya. Menuk yang sedang ribet mengurus kotak makanan meminta Soleh membicarakan soal ini lain waktu saja. Setelah itu Soleh kembali berjaga, menemukan bom, dan mati bersama bom.

Film ditutup dengan Hendra yang membuka kembali kedai yang sempat dihancurkan massa, kali ini sebagai kedai masakan cina yang 100% halal. Hendra juga mendatangi seorang ustad, mengindikasikan ia ingin belajar (dan masuk?) Islam. Nama Soleh diabadikan sebagai nama pasar, Menuk berjanji akan kembali kerja di kedai Hendra, Rika dikunjungi kedua orang tuanya saat sedang merayakan khatam Al Quran anaknya, dan Surya sudah dapat peran yang diingat orang. Para pelanggan review gue mungkin kali ini heran, kenapa tumben-tumbenan gue menuliskan cerita sebuah film sampe lengkap begini. Biasanya kan gue tulis ringkasan awalnya doang supaya nggak merusak kejutan filmnya.

Kali ini gue merasa harus menuliskan lengkap karena gue juga ingin berkomentar tentang reaksi masyarakat atas film ini.

Dari sudut pandang gue, film, pada dasarnya adalah sebuah pesan. Nggak beda dengan surat, buku, email, status FB, twit, lagu, BBM, atau SMS. Bedanya hanya pada media. Film mengandung gambar, gerak, ekspresi, dialog, lagu, dan efek khusus – sehingga buat kebanyakan orang mungkin lebih ‘mencekam’ dan ‘merasuk’ ketimbang sepotong SMS, misalnya. Walaupun nggak selamanya film lebih mencekam dari SMS sih. Gue ngebayangin kalo pada suatu hari, jam 11 siang, tiba-tiba masuk SMS dari Boss yang berbunyi, “GUNG KEMANA AJA LU JAM SEGINI BELUM ADA DI KANTOR, UDAH BOSEN JADI PEGAWAI?!” – gue yakin efeknya akan jauh lebih mencekam dari film horror manapun.

Sebagai penyampai pesan, tentunya film bisa memuat pesan apapun. Bisa berupa ajakan, pertanyaan, sindiran, cita-cita, kegelisahan, atau sekedar memaparkan fakta – dari kacamata si pembuat film, tentunya. Kembali ke analogi film dengan media pesan lainnya, SMS yang berbunyi “Hai, lagi sibuk nggak?” tentunya mengharapkan respon yang berbeda dengan SMS “Jangan lupa maem ya, nanti sakit” #eaaa. Poin gue adalah, TIDAK SEMUA FILM BERAMBISI MENGAJARKAN SESUATU. Dan menurut gue, inilah simpul pertama yang kusut dari reaksi keras masyarakat.

Dari sejumlah tulisan yang bernada menghujat film ini, beberapa menuduh Hanung, sang sutradara, kafir, komunis, anggota Jaringan Islam Liberal, bahkan murtad; karena:

  1. MENGGAMBARKAN umat Islam sebagai umat yang agresif, senang main pukul, tusuk dan bakar – bahkan bom
  2. MENGAJARKAN bahwa semua agama sama baiknya, padahal SEBAGAI SEORANG MUSLIM seharusnya ia berdakwah bahwa Islam adalah agama yang paling benar
  3. MENGANJURKAN kerukunan beragama yang kebablasan hingga seorang muslim bisa memerankan tokoh agama lain dan direstui pula oleh seorang ustad

Padahal, dari mana kita bisa bilang Hanung lagi mengajarkan, menganjurkan, atau berdakwah? Bagaimana kita bisa menghakimi bahwa potret beberapa perilaku negatif orang-orang Islam dalam film itu dimaksudkan Hanung sebagai potret SELURUH umat Islam? Siapa tahu dia sekedar sedang bercerita apa yang dia tahu tentang kehidupan umat-umat beragama di Indonesia. Dan apa iya potret umat Islam yang disajikan Hanung dalam film ini seluruhnya negatif, atau sebaliknya, potret umat Katolik seluruhnya positif? Digambarkan juga kok tokoh ustad yang menjelaskan makna Islam sebagai pembawa rahmat dan kebaikan bagi seluruh umat, dan sosok anggota Banser yang berani berkorban menjinakkan bom. Digambarkan juga kok beberapa orang Katolik ‘keras’ yang menolak seorang muslim memerankan Yesus, dan pengusaha Katolik yang nggak peduli dengan pegawai dan masyarakat sekitar yang muslim

Kalau memang seluruh film sedang ‘mengajarkan’ suatu nilai, lantas nilai apa sih yang dicoba ‘diajarkan’ oleh film seperti “Skandal Cinta Babi Ngepet” atau “Terowongan Casablanca”? Menganggap semua film sedang mengajarkan sesuatu itu sama seperti menganggap semua SMS sebagai ajakan. Lantas gimana kita harus berespon kepada SMS yang berbunyi, “Oktksbai”?

Simpul ke dua yang juga kusut menurut gue adalah penonton sulit memisahkan antara pesan yang ditonton dengan orang yang membuatnya. Contohnya: lu lagi nunggu bis di halte, trus orang di sebelah lu, yang lu nggak kenal ngajak ngobrol. Ngobrol punya ngobrol, setelah bahan mulai abis, akhirnya dia bilang, “belakangan ini cuaca sering berubah ya, bikin orang jadi gampang sakit.” Gimana lu akan menyikapi pernyataan itu? Sekedar iya-iya aja, barangkali.

Bandingkan kalo sikonnya lu sebagai seorang boss di kantor, punya anak buah bernama Dudung yang berdasarkan catatan HRD sering banget bolos dengan aneka alasan nggak jelas. Suatu hari Dudung lagi ngobrol santai sama elu, dan tiba-tiba nyeletuk, “Boss, cuaca belakangan lagi kurang baik ya… bikin orang gampang sakit.” Maka kemungkinan besar elu akan berespon, entah dalam hati atau diceplosin, dengan, “KENAPA? LU BERNIAT MAU BOLOS LAGI, YA?!”

Hanung punya sejarah bikin film yang bertema agama, dan baik di film “Perempuan Berkalung Sorban” maupun “Sang Pencerah” ia mengangkat tema kekerasan antar umat sebagai akibat perbedaan penghayatan agama. Mungkin itu sebabnya penonton datang ke bioskop dengan benak terbebani pemikiran, “Kali ini, bikin ulah apa lagi si Hanung?” Mungkin kalo sutradara lain yang bikin film ini, penonton nggak akan segitu sewotnya. Atau malah nggak ada yang nonton, kalo sutradaranya gue.

“Tapi menurut gue film ini memang membawa pesan ngawur, lantas gimana dong?” Ya sud, jangan nonton. Atau anjurkan orang-orang yang menurut lu mudah goyah imannya, atau mereka yang tiap kali abis nonton bawaannya niru adegan film; abis nonton Rambo ingin nembakin orang, abis nonton Transporter ingin ngelamar jadi kurir, untuk tidak nonton film ini. Kalo ada modal lebih, ya bikin aja film tandingan, misalnya berjudul “?!” yang isinya dibuat 100% selaras dengan ajaran agama. Nggak perlu lah main geruduk bawa massa, main ancam, main larang, apalagi main tuduh orang murtad. Informasi yang kita punya rasanya belum, dan nggak akan pernah, cukup untuk menghakimi apakah dalam hati seseorang dia murtad atau enggak.

Sedangkan buat kita sendiri, yang perlu menurut gue adalah menyikapi film sebagaimana mestinya, yaitu sebagai suatu pesan yang bisa kita turuti, panuti, pertanyakan, pertimbangkan, sangkal, atau jawab. Menurut gue film ini bagus, tapi bukan berati gue pasti mau kalo ada tawaran main film sebagai Yesus (terlepas dari apakah tampang gue ‘masuk’ dengan peran tersebut), atau mau kerja jadi pelayan restoran yang menyajikan masakan berbabi.

Sebagai film, “?” menarik untuk ditonton, pemilihan para pemerannya pas, dan gue pernah ngomong hal ini serta akan ngomong sekali lagi sekarang, bahwa Revalina S Temat sungguh nampak pantes dan cantik berjilbab. Semoga dalam kehidupan nyatanya terpanggil untuk betulan berjilbab. Kelemahannya antara lain: beberapa dialog yang ceritanya sih menggambarkan dialek Semarangan yang ngomong ‘isa’ dan bukan ‘iso’ seperti dialek Yogya atau Solo terkesan bikin gatel kuping karena terasa maksa. Selain itu ending Soleh nomplok bom itu juga terasa maksa. Kalo gue jadi Soleh, buat apa sih tu bom gue tidurin? Lempar aja jauh2 ke kebon, biar meledak di tempat yang nggak akan ngenain orang. Ngapain harus ditomplok?

Tokoh Surya yang diperankan Agus Kuncoro adalah penyegar film ini. Aktingnya natural, dan dia kebagian peran-peran yang bikin penonton tersentuh. Misalnya waktu sok gengsi saat ditawari makan soto oleh Rika dengan bilang masih kenyang, tapi minta nasinya ditambah saat abang penjual sotonya sedang meracik. Adegannya yang juga menarik adalah ketika dia diminta berperan sebagai Santa Claus untuk seorang bocah yang lagi sakit, dan ternyata keinginan si bocah adalah agar cepat dipanggil Tuhan agar tidak merepotkan orang tuanya. Sayangnya, adegan bagus itu lantas disambung dengan adegan yang kurang perlu yaitu Surya menangis terharu di pinggir jalan sambil tetap berkostum Santa Claus.

Secara keseluruhan, film ini pantas direkomendasikan untuk ditonton. Apalagi dengan semakin maraknya demo anti film ini, buruan nonton sebelum ditarik dari peredaran.

===

Untuk baca posting terbaru gue yang terkait film, silakan mampir ke Nonton Deh ya!

My Name is Khan


My Name is Khan Movie PosterSinopsis

Rizwan Khan (Shahrukh Khan) adalah seorang penderita sindroma Asperger. Setelah menghabiskan masa kecil dan remaja di kampungnya di India, dia disponsori oleh adiknya, Zakir (Jimmy Shergill) untuk tinggal bersamanya di Amerika. Di sana Rizwan ditugasi adiknya untuk bekerja sebagai salesman produk kecantikan. Ketika sedang bekerja menawarkan barang, Rizwan berkenalan dengan seorang pegawai salon bernama Mandira (Kajol – kesian amat ya, cantik-cantik namanya gini). Mudah ditebak, Rizwan akhirnya jatuh cinta kepada Mandira yang kebetulan adalah seorang janda beranak satu.

Akibat adanya serentetan tragedi yang menimpa Rizwan dan Mandira, akhirnya Rizwan menempuh perjalanan panjang untuk menemui presiden Amerika, Barack Obama.

Komentar gue:

Film ini sebenernya sangat – sangat – sangat berpotensi menjadi film yang buagus (bagus dengan imbuhan u = ekstra bagus). Dia berani mengangkat tema yang selama ini hanya jadi bisik-bisik orang, yaitu tentang diskriminasi SARA di Amerika terhadap kaum muslim, pasca tragedi WTC 9/11. Sampai kurang lebih 3/4 durasinya, film ini bener-bener OK. Sudut pandangnya berani dan nggak pasaran, penyampaian pesannya pun manis tanpa bertele-tele atau menggurui. Ambil contoh adegan saat Rizwan kecil mempertanyakan pemikiran-pemikiran bermuatan kebencian yang didengarnya dari para tetangga, ibunya mempu memberikan penjelasan yang sederhana tapi kena banget. Beberapa informasi tentang siapa sebenarnya Rizwan dan keunikan apa yang ada pada dirinya juga sukses dihantarkan kepada penonton tanpa penjelasan yang bertele-tele. Di 3/4 awal film ini, kalaupun ada yang mengganggu hanyalah penggunaan lensa wide angle yang menurut gue rada berlebihan. Gue menduga tujuannya adalah untuk menambah efek dramatis pada adegan, tapi karena kebanyakan rasanya jadi bikin capek juga.

Nah, menjelang bagian akhir, gue merasa film ini seperti masakan yang kokinya lagi merasa sok jago banget dan mulai membubuhkan bumbu secara gila-gilaan. Akibatnya film ini terasa sangat berlebihan, sedemikian rupa sehingga andaikan durasinya ditambah 20 menit lagi maka tokoh Rizwan akan bisa terbang, kebal peluru dan pergi bertempur melawan Godzilla. Pesan anti prasangka antar umat beragama yang disuguhkan secara manis dan natural di awal film, bergeser menjadi semacam ‘propaganda’ tentang betapa ‘superior’-nya Islam. Bukan berarti gue anti dengan film yang bercerita secara positif tentang Islam, tapi gue yakin film ini akan lebih mudah diterima semua kalangan kalau mengambil sudut pandang yang lebih netral. Selain itu, di bagian akhir film kayaknya sang sutradara rada sulit menahan diri untuk tidak memasukkan elemen-elemen tragedi secara berlebihan khas film India, plus beberapa adegan super dramatis yang kurang penting (misalnya adegan Shah Rukh Khan mengibaskan rambut di tengah derai hujan).

Akhir kata, terlepas dari sejumlah kekurangannya, gue salut sama film ini karena selain sukses menyuguhkan cerita yang nggak biasa, juga sukses secara finansial – termasuk di negara-negara yang mayoritas penontonnya non muslim.

Poster film gue pinjem dari wikipedia