Memang kadang Ibu suka mengeluh persendiannya sakit dan kaku, tapi dia punya dokter langganan yang punya suntikan manjur. Tiap kali disuntik sama dokter itu, sakitnya hilang. Tapi hanya tahan sekitar sebulan. Makanya Ibu rutin berobat ke dokter itu sebulan sekali.
Denger kabar Ibu sakit, kakak gue yang tinggal di Jakarta langsung berangkat ke Makassar. Ida juga jadi rewel ngajakin segera pergi ke sana.
“Akunya jadi sedih denger Ibu sakit…” kata Ida sambil bercucuran air mata. “Kamu pasti nggak sedih ya?”
Menurut gue, kalo semua orang panik dan sedih saat ada orang sakit, nanti nggak ada yang bisa mikir dengan kepala dingin – urusan malah akan jadi kacau semua. Daripada sedih nggak ada gunanya, mending gue ekstra lembur ngeberesin semua kerjaan kantor biar bisa minta cuti hari Kamis.
Waktu dapet kabar dari kakak gue, pertanyaan pertama gue adalah, “Kapan kondisi Ibu bisa cukup stabil untuk dibawa ke Jakarta?” Senewen gue mikir Ibu sakit di seberang pulau yang mungkin kualitas dokternya masih kurang jelas. Kakak gue jawab belum tau. Pokoknya sekarang Ibu nggak bisa jalan. Boro-boro jalan, kesenggol bantal aja seluruh sendinya sakit-sakit. Selain itu, Ibu juga demam cukup tinggi, sampe 390 C.
Kamis, 11 Mei 2006
Gue dan Ida berangkat ke Makassar naik penerbangan Batavia Air pertama jam 5 pagi. On time, jam 5 teng take-off dan sampe Makassar jam 8 waktu setempat. Langsung dijemput sama Pak Aswadi, supir kantornya ipar gue, dan dibawa ke RS tempat Ibu dirawat. Namanya RS Stella Maris.
Reaksi pertama gue waktu ngeliat bentuknya RS Stella Maris ini adalah: makin nggak sabar ngebawa Ibu pulang ke Jakarta. Gimana enggak, gedungnya gedung tua peninggalan Belanda. Lift cuma dua, itu juga ditempelin pengumuman “khusus untuk pasien dan petugas”. Pantesan waktu demam tinggi Ibu sempet ngeliat ‘makhluk-makhluk ajaib’ berkeliaran di kamarnya. Mungkin para penunggu lama gedung spooky ini kali, pikir gue.
Tapi ternyata belakangan terbukti gue terlalu underestimate RS tua ini. Pelayanan kesehatan di sana OK banget: dokternya ramah dan komunikatif, perawatnya juga helpful banget. Untuk lengkapnya, bisa dibaca di review.
Hari itu Ibu dironsen seluruh persendiannya. Gue ikutan ke kamar ronsen dengan tujuan bantuin para perawat dan petugasnya nggeser-geser badan Ibu supaya pas dengan posisi mesin ronsennya. Di situlah gue semakin menyadari betapa kayanya budaya Indonesia. Nggak usah jauh-jauh mikirin tarian dan nyanyian daerah, yang gue maksud di sini jauh lebih umum dan ‘sehari-hari’, yaitu intonasi.
Korslet komunikasi pertama terjadi waktu petugas ruang ronsen menyambut kedatangan Ibu dengan kalimat mengejutkan: “Ibu ini habis jatuh!”
“Heh? Kapan?” tanya gue kaget. Setahu gue Ibu nggak pake acara jatuh kok.
“Bukan, Ibu ini habis jatuh! Kenapa lututnya bengkak!!”
Gue mikir sebentar. Kayaknya ada yang salah nih. Setelah mikir dulu, baru gue ngeh, bahwa ternyata si mas-mas petugas ronsen itu NANYA, sementara dari intonasi nadanya gue kirain dia NGASIH TAU. Jadi sebenernya dia mau ngomong, “Apakah Ibu ini habis jatuh? Kok lututnya bengkak?” gitu loooh… Huh, dasar guenya yang telmi.
Waktu mau bayar obat di apotek, kakak gue juga mengalami korslet yang sama. Berhubung kakak gue nggak bawa duit tunai di dompetnya, dia nanya apakah di sini bisa pake debit card. Kata petugas apoteknya, “Di sini tidak bisa debit!”
“Kalo credit card bisa nggak?”
“Credit card bisa! Tapi Ibu KELUAR SAJA DULU SANA!”
“Hah, kenapa saya diusir?”
“Sebab kalau pake credit card nanti Ibu ada kena charge 3%, lebih baik Ibu pergi cari ATM saja dulu di luar sana!”
Ternyata maksudnya, “Di sini sih kalo mau pake credit card bisa-bisa aja, tapi kena charge 3%. Kan sayang. Mendingan Ibu ambil cash aja dulu di ATM, ntar balik lagi ke sini.”
Logat dan intonasi ala Makassar ini juga jadi bahan obrolan favorit gue dan kakak-kakak gue dengan para suster.
“Suster, suster, ajarin dong kapan harus pake ‘MI‘, kapan harus pake ‘JI‘,” kata kakak gue. FYI, orang Makassar tuh punya sejumlah kata-kata pelengkap yang sulit dicari terjemahannya, tapi perlu untuk melengkapi kalimat biar ‘afdol’. Jadi fungsinya mirip dengan ‘dong’, ‘deh’, ‘sih’ -nya logat Jakarta. Kalo nggak salah inilah yang namanya ‘partikel’, ya? Contoh penggunaannya antara lah, “Sudah MI!” atau “Sudah JI!”. Tadinya gue kira penggunaan MI dan JI ini dibedakan tergantung jenis kelamin lawan bicara, tapi ternyata enggak juga.
Kalo udah ditanyain gini, paling para suster itu cuma ketawa-ketawa kegelian, mungkin sambil mikir ‘nih tamu-tamu dari Jawa norak bener sih, liat orang Makassar ngomong aja heran’.
“Itu susah ditentukan, Ibu. Ibu harus ada sering-sering bicara dengan orang Makassar, baru nanti lama-lama Ibu bisa sendiri TOH?” ‘Toh’ ini juga salah satu celetukan favorit mereka, dan dengan kampungnya kakak-kakak gue pada kesenengan membeo-beo, “Iya TOH suster?”
Kadang kami coba-coba niru gaya bicara mereka, seperti “Suster, apa ini sudah ada waktunya untuk suster ambil Ibu saya punya tensi, TOH?”
Yang dijawab “Sudahlah Ibu, saya jadi pusing…”
Malam itu gue cuma ngendon di kamar RS. Selain karena tujuan utama dateng ke sini untuk ngejagain Ibu, juga karena hilang selera jalan-jalan ngeliat matahari terik banget.
Bersambung ke bagian kedua
thefool
/ 10 Mei 2009Bagian-bagian akhir itu harus masuk di buku.
SukaSuka
dpkd
/ 22 Agustus 2007Wakakaka… bingung yah dengan logat Makassar, kalo kata2 ini kayaknya mewakili Makassar deh.. MAKASSAR BISA TONJI
SukaSuka
myhaura
/ 10 Agustus 2006ohhh…kirain…=))
SukaSuka
mbot
/ 10 Agustus 2006nggak ada. kami pergi ke makassar krn ibu sakit waktu lagi nginep di rumah kakak yang memang ditugasin kantornya tinggal di sana.
SukaSuka
myhaura
/ 10 Agustus 2006mas Agung..yang asalnya dari Mks sapa, mas Agung apa mbak Ida?btw, suamiku org mks tulen lohhhh putra bone ji!! Hihihii
SukaSuka
mbot
/ 18 Juni 2006salam kenal juga!
SukaSuka
mbot
/ 18 Juni 2006hwaduuuh contohnya malah bikin tambah pusiiing… hehehe…
SukaSuka