Hari ini, dalam sebuah meeting tentang website intranet, omongan mengarah ke blog.
“Agung memangnya suka ngeblog ya?”
“Oh iya!” jawab gue yakin. “Tapi… udah lama nggak di-update…” sambung gue pelan.
Parah memang, blog ini udah berbulan-bulan nggak di-update. Padahal ngakunya blogger.
Maka dalam rangka Hari Blogger Nasional, gue persembahkan posting baru buat kalian semua, para pembaca blog ini. Kalo masih ada.
Selamat Hari Blogger!
===
Seperti anak-anak pada umumnya, Rafi doyan sekali sama segala sesuatu yang manis-manis seperti coklat, es krim, atau minuman botolan. Sebagai orangtua yang sadar kesehatan,tentunya gue dan Ida berusaha membatasi. Selain berpotensi bikin kegendutan, Rafi kelihatannya alergi sama segala sesuatu yang manis-manis. Seringkali abis makan yang manis-manis, dia batuk berdahak selama beberapa hari.
Kami lantas bikin peraturan, Rafi cuma boleh makan dan minum yang manis-manis 1 kali sebulan, yaitu setiap tanggal 30. Secara umum peraturan ini berjalan, dalam arti setiap tanggal 30 dia menikmati makanan dan minuman manis. Masalahnya, di luar tanggal 30 ‘sekali-sekali’ dia juga makan dan minum yang manis-manis.
Kalo lagi ikut kami makan di restoran, kami pesen ice lemon tea, dia pesen juga. Sekali-sekali, kan nggak setiap hari kami jajan di restoran.
Kalo lagi belanja di minimarket, gue nyomot sebungkus coklat, dia ikutan ngemil sebutir-dua butir. Sekali-sekali, kan nggak tiap hari belanja di minimarket.
Kalo lagi nonton, gue beli pop corn caramel, dia juga ikutan ngemil. Sekali-sekali, kan nonton bioskop nggak setiap hari.
Nah, kumpulan ‘sekali-sekali’ makan minum manis ini kalo dijumlahin kan jadi sering juga. Akibatnya Rafi sering sekali batuk. Dalam sebulan selalu ada beberapa hari yang dilewatinya bersama batuk.
Pada suatu hari, Oriflame bikin program ’90 Days Plan’. Program ini berisi serangkaian kegiatan produktif yang kalo dilakukan tanpa jeda selama 3 bulan berturut-turut akan menetap jadi kebiasaan. Dan kalo seseorang udah berhasil membentuk kebiasaan yang produktif, maka dia akan sukses secara lebih gampang. Nggak usah pake mikir lagi, segala kegiatan yang produktif udah dia jalanin secara otomatis karena udah jadi kebiasaan.
Gue lantas mikir, pola makan juga terbentuk dari kebiasaan. Orang Indonesia merasa ‘belum makan’ kalo belum makan nasi, karena sejak kecil terbiasa makan nasi. Rafi susah lepas dari yang manis-manis karena sejak kecil terbiasa makan yang manis-manis. Maka, kalo gue mau melepaskan ketergantungan Rafi terhadap manis-manisan, dia harus terbiasa putus hubungan dengan yang manis-manis selama 3 bulan atau lebih!
Tapi, gimana caranya? Dijatahin cuma makan minum yang manis setiap tanggal 30 aja bobol melulu.
Gue pun mencoba pendekatan yang berbeda. Segala sesuatu yang ‘terlarang’ biasanya malah jadi lebih menarik. Fokusnya harus diubah. Bukan ‘manis’-nya yang terlarang, tapi harus ada sesuatu yang lebih menarik untuk menggantikan manis.
Maka gue pun mengajukan penawaran, “Rafi, Bapak punya tantangan. Kalo Rafi bisa tahan nggak makan atau minum manis dalam bentuk apapun selama 30 hari, maka Rafi akan dapet uang 50 ribu. Uangnya bisa Rafi pake beli mainan. Sanggup?”
Dia mikir sebentar. “Lima puluh ribu?”
“Lima puluh ribu. Boleh untuk beli apapun.”
“Bisa!” jawabnya penuh percaya diri.
Tadinya gue kira dia lantas akan tetep rewel seperti dulu, tapi ternyata enggak. Dia cukup kuat iman, cuma kadang sesekali mengeluh, “Aku ingin sekali coklat itu!”
“Boleh. Tapi 50 ribunya batal. Mau?”
“Enggak!”
Setiap hari dia hanya minum air putih, termasuk kalo lagi makan di restoran atau lagi nonton. Coklat, cake, aneka kue manis juga nggak disentuhnya sama sekali. Yang mengharukan, di luar pengawasan kami ternyata dia juga cukup kuat iman. Saat Rafi lagi main di rumah temennya, kami dapat laporan, “Ini lho, Rafi disuguhi es sirup nggak mau, katanya lagi nggak minum manis, ya?”
Sementara itu Ida mencekoki Rafi dengan berbagai literatur, foto dan video aneka penyakit akibat terlalu banyak mengonsumsi gula.
“Nih, mau kakinya borokan kayak orang ini?”
“Enggak!”
“Lihat, orang ini beratnya 300 kilo karena terlalu banyak makan yang manis-manis. Sekarang dia nggak bisa jalan. Mau?”
“Nggak mau!”
Tanggal 1 Agustus, tepat 30 hari dia nggak makan dan minum yang manis-manis. Gue mencoba mengajukan penawaran berikutnya, “Rafi, kalo hari ini Rafi tetep bertahan nggak makan dan minum manis sampe 30 hari berikutnya, jadi total 60 hari, maka Rafi akan dapet bonus 150 ribu lagi, jadi totalnya 200 ribu. Gimana?”
“Hmmm… nggak papa deh Bapak, aku 50 ribu aja cukup.”
Maka hari itu Rafi puas-puasin makan dan minum yang manis-manis. Tapi efek 30 hari nggak ngerasain manis sama sekali rupanya mulai terjadi.
“Bapak, kue ini rasanya aneh. Aku jadi mual,” katanya.
“Itu bagus, artinya badan Rafi udah nggak terbiasa makan manis. Gimana, sanggup 30 hari bertahan gak makan dan minum yang manis?”
“Sanggup!”
Maka dia bertahan 30 hari lagi. Libur sehari untuk menikmati yang manis-manis, lalu puasa manis lagi. Sejak bulan Juli sampe sekarang, udah hampir 3 bulan Rafi ‘puasa’ manis. Selama 3 bulan itu, dia sama sekali nggak pernah batuk lagi. Sistem reward-nya gue ubah sedikit, bukan lagi 50 ribu tapi gue naikin jadi 100 ribu dengan catatan semua makanan dan minuman manis yang dia beli selama hari ‘bebas manis’-nya dipotong dari uang yang 100 ribu itu.
“Bapak, aku mau beli es krim.”
“Es krimmnya mahal lho, harganya 20 ribu. Uangnya nanti tinggal 80 ribu. Nggak sayang? Mendingan buat beli mainan.”
Karena uangnya didapat dengan susah payah, Rafi belajar untuk berpikir ulang saat mau membelanjakannya. Mau beli mainan? Boleh, asal yakin mainan itu beneran sepadan dengan jerih payah mendapatkan uangnya. Dulu, Rafi sering minta dibeliin mainan telur-teluran di Yoshinoya yang isinya action figure mini kurang penting. Sekarang, sejak harus pake uang hasil ‘puasa manis’-nya, dia nggak tertarik lagi pada mainan itu.
Yang lebih penting, dia belajar bahwa segala pilihannya punya konsekuensi. Kalo dia mau menikmati konsekuensi yang nyaman, ya tinggal bikin pilihan yang tepat. Sesederhana itu.
“Bapak, gimana kalo aku mulai besok mau makan dan minum manis setiap hari, seperti dulu?”
“Jangankan besok. Sekarang pun boleh. Tapi, bapak nggak akan ngasih uang untuk beli manis-manisan. Rafi harus pake uang tabungan Rafi sendiri, yang udah Rafi kumpulin dengan susah payah selama ini. Yang kedua, Rafi jadi kehilangan kesempatan dapat 100 ribu di bulan depan. Yang ketiga, Rafi bisa batuk lagi, bahkan kena penyakit seperti yang ada di video yang dikasih lihat oleh Bunda. Gimana?”
“Nggak jadi deh. Tapi… kenapa cuma aku yang harus puasa manis-manisan? Kenapa Bapak enggak? Memangnya Bapak nggak takut kena penyakit seperti di video?”
Nah. Loh.
Foto: Rafi yang mual setelah minum milkshake pertamanya dalam 30 hari.
Nah bapak curang nih
Rafi disuruh diet sementara bapak lanjut makan manisnga
bapak nggak visible, nih 😀 mestinya, kalo ngajakin rafi buat puasa manis-manis, bapaknya juga mencontohkan. ini mah ibarat bapak melarang rafi merokok sambil merokok 😛
Jadi… bapak invisible?
begitulah 😀
Keren, bisa gak ya tantangan d ganti dengan gadget
Maksudnya tantangan untuk nggak terlalu banyak main gadget? Coba aja.
Ho oh, pasti lebih berat
Jadi bapaknya jawab apa?
Akan diceritakan di posting berikutnya. (ceritanya cliffhanger)
Baiklah ditunggu segera ya
Yeay cerita ttg Rafi lagi 🙂 sampe sekarang aku masih suka baca cerita Rafi ditantang jualan donat lo mas Agung. Sering-sering update blognya ya, demi penggemar 😀
Amiin, semoga diteguhkan niat ngeblognya ya. Makin lama memang makin terasa susah mengumpulkan niat untuk ngeblog, hehehe