[outing 2008] bagian 6: basah, geli, licin, bengkok, nyeletuk

Cerita sebelumnya:

Ata adalah salah satu dari sedikit anggota divisi gue yang udah ikutan outing sejak edisi pertamanya, di tahun 2005. Walaupun di setiap outing pembagian kelompok dilakukan secara random, kelompok yang ada Ata-nya selalu berhasil jadi juara. Atau dengan kata lain, Ata selalu beruntung bisa bergabung dengan kelompok yang akhirnya keluar sebagai juara.

Yang bikin kehadiran Ata sangat signifikan untuk memeriahkan setiap ajang outing adalah kemampuan nyeletuknya yang nyaris setara dengan Komeng. Kehadiran orang-orang seperti Ata bisa bikin permainan dalam sebuah outing jadi lebih seru, karena:

  1. Kalo dia lagi menang, ledekan-ledekannya bisa bikin ‘panas’ tim lawan sehingga mereka lebih termotivasi untuk bermain lebih serius
  2. Kalo dia lagi kalah, dia akan mengeluarkan serangkaian ocehan pembelaan diri yang juga menghibur 🙂
  3. Secara umum dia menunjukkan antusiasme dan penghayatan yang sangat tinggi, larut dalam permainan seolah-olah lagi mempertaruhkan hidup dan mati. Padahal hadiah yang diperebutkan maksimal jam tangan berlogo perusahaan seharga 75 ribu

Misalnya di outing tahun kemarin, kelompoknya lagi melaju dalam pengumpulan poin, sementara kelompok lawan ada yang bangkrut habis-habisan karena kalah melulu. Ata mulai kumat. Dengan lagak jumawa dia menghambur-hamburkan poin kelompoknya sambil ngomong, “Mana kelompok yang nggak punya duit? Mana? Sini gue kasih, duit gue banyak banget soalnya, ngasih segini sih nggak kerasa. Gue sih cuma kesian aja ngeliatnya”. Di luar dugaannya, di babak berikut keadaan berbalik dan gantian dia yang ketinggalan poin cukup jauh. Komentarnya, “Nggak papa, gue sih ikut seneng kalo orang yang gue sumbang taraf hidupnya meningkat…”

Tip outing:
kenali karakter para peserta outing, dan maksimalkan karakter tersebut untuk memeriahkan suasana.

Tahun ini, Ata mulai berulah sejak game pertama, lomba yell. Setelah peserta dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing kelompok harus bikin yell yang nantinya dinilai oleh panitia. Hadiahnya berupa ‘kepeng’, duit-duitan yang bisa dijadiin modal awal beli tanah dalam permainan perebutan lahan ini. Kelompok hijau, yang antara lain dimotori Ata, berhasil mengumpulkan poin tertinggi. Maka mulailah dia mengintimidasi kelompok lain. Kelompok pink yang dimotori Trini yang lagi nggak bisa buka mulut itu dikomentari, “Eh kalo bikin yell yang jelas dong ngomongnya, nggak kedengeran nih!”

Tapi sayangnya, nasib baik nggak terlalu lama berpihak pada Ata. Di beberapa game berikutnya, kelompoknya gagal melulu meraih juara, walaupun nggak sampe jadi juru kunci. Komentarnya, “Yang penting lomba yell menang!” Saat game berikutnya dimainkan, lagi-lagi kelompok Ata nggak berhasil jadi juara.

“Yah memang kami kalah untuk perlombaan yang mengandalkan fisik… kalo yang mengandalkan otak kaya lomba yell kan terbukti menang…”

“Maksud lo, kelompok lain nggak punya otak?!”

“Eh, gue nggak ngomong gitu lhooo…”

Puncak euphoria Ata terjadi saat game lomba oper terong.

Buat yang udah baca buku “Ocehan si Mbot…” pasti udah tau kondisi kantor gue yang didominasi pria dan kepekaan mereka atas berbagai hal yang ‘nyerempet-nyerempet’. Karakter peserta yang kayak gini sengaja gue manfaatkan dengan menciptakan lomba oper terong. Peraturannya sederhana aja: anggota kelompok berdiri berjajar dan mengestafetkan sebuah terong. Tentunya terongnya nggak boleh dipegang, melainkan… dijepit di antara paha!

Sesuai perkiraan, game ini langsung menimbulkan inspirasi-inspirasi ‘miring’ di kalangan peserta pria.

“Ya ampun, kesian banget terongnya si anu, kisut…”

“Kayaknya udah mau busuk.”

“Jarang dicuci kali ya.”

“Nggak usah belagu, liat aja tuh terong lo, bengkok”

“Eh biarin, yang bengkok lebih enak tau. Lebih ‘nyangkut‘…”

…dan celetukan-celetukan kurang berpendidikan lainnya. Sebagai catatan, tim Ata juara di permainan ini, walaupun sebelumnya udah menyatakan bahwa kelompoknya hanya berjaya di game-game yang melibatkan otak, bukan fisik.

Di game uji telur, kelompok Ata harus menerima kenyataan pahit berupa kegagalan total tanpa berhasil merebut poin sama sekali. Dalam game ini, setiap kelompok dapet sebutir telur mentah, beberapa lembar koran, tali rafia, dan gelas plastik. Tantangannya adalah kelompok harus membungkus telurnya dengan alat bantu yang tersedia, sedemikian rupa sehingga kalo telur dilempar ke jarak yang udah ditentukan, telurnya nggak pecah. Tentunya nama game ini juga berhasil memancing ‘kreativitas’ para peserta pria, berupa celetukan-celetukan nggak jelas. Salah satu peserta berkomentar,

“Apa kualitas telur gue masih diragukan sih, kok pake diuji segala… Tuh buktinya ada” (sambil nunjuk anaknya yang ikutan nonton di pinggir arena)

“Panitia, lapor! Telur saya masih dua!”

“Kalo adu mengkilat, jelas telur gue menang. Sering diminyakin, sih.”

“Uf, pantes baunya kaya jelantah.”

“Pernah nyium telur gue ya?”

Tip outing:
kalo pesertanya didominasi para pria, sediakan game yang melibatkan air, telur, sayuran yang bentuknya lonjong seperti terong, oyong, atau jagung, atau game-game yang melibatkan unsur mengeluarkan atau memasukkan sesuatu. Kemungkinan besar akan memancing peserta untuk mengeluarkan celetukan-celetukan mesum yang akan memeriahkan suasana. Coba aja!

Setelah selesai membungkus telur, kelompok hijau mendaulat Ata untuk melemparkan telurnya ke titik sasaran, sekitar 10 meter jauhnya. Ata bersiap di garis start. Menarik nafas. Ancang-ancang. Mundur beberapa langkah, lalu lari maju. Gayanya udah mirip atlet lempar lembing.

HIAAAAAAA…!!” sekuat tenaga Ata melempar, dan -PROK- bungkusan telur jatuh hanya 2 meter di depannya!

Para penonton langsung berebut mengomentari.

“Huuuu…. huuuu…. menang gaya doang, kirain lemparannya jauh… taunya, yah, gitu doang…”

“Kebanyakan gaya sih lu…”

“Wah dari bunyinya kayaknya pecah tuh…”

Sementara Ata menatap tak percaya kepada bungkusan telurnya yang tergeletak nggak jauh dari titik start. “Wah, kayaknya gue didoain jelek nih sama peserta lainnya…” katanya masygul.

“Ya tentu aja lu didoain jelek, what do you expect?”

Rupanya saat melempar Ata terlambat melepas pegangannya pada bungkusan telur, sehingga bukannya melambung mengikuti jalur parabola, malah meluncur lurus ke tanah. Akhirnya, game uji telur dimenangkan oleh tim pink.

Peristiwa ‘dramatis’ terjadi waktu ‘lomba oper belut’. Game yang ide awalnya dicetuskan oleh Fitri ini mengharuskan peserta berbaris memanjang dan mengoperkan belut hidup menggunakan ujung kaos mereka. Belutnya nggak boleh dipegang, hanya boleh ‘ditadahin’ dan dioper ke peserta lainnya pake kaos.

Lombanya belum mulai, baru tahap persiapan doang, udah terjadi kehebohan: Trini ternyata takut sama belut!

Seandainya lagi dalam kondisi normal, mu
ngkin Trini udah jerit-jerit. Tapi apa daya, rahangnya masih terkunci kawat, sehingga suara yang keluar cuma “MMM! MMMMM!!! MMMMM!!!”

Gue langsung memanfaatkan perkembangan yang nggak disangka-sangka ini untuk menambah efek dramatis. “Gimana tim pinky, nggak sanggup ya ikut lomba oper belut? W.O. dong nih…”

“Ayolah Trin, kan nggak papa, belutnya nggak harus dipegang…” beberapa anggota kelompok pink berusaha memotivasi Trini.

“Mmmm!!” kata Trini sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan tampang seperti mau nangis.

“Gimana tim pink? Ikut atau enggak?” Gue semakin memperbesar tekanan psikologis sementara di kejauhan terdengar teriakan-teriakan tim lain yang udah nggak sabar ingin segera mulai ngoper belut.

“Trin, coba dulu ya…”

“MMM!! Hu.. hu… hafut hanget huwe hama helut, hawu ha hiiih…” Trini masih ketakutan.

Di sela ketegangan yang makin memuncak, Ata datang mengajukan pertanyaan kurang penting, “Panitia, boleh nggak belutnya dimasukin ke celana aja? Tapi resikonya, belut masuk 5, bisa-bisa keluarnya 6…”

“…”

Gue berunding sama Fitri dan Danang.

“Gimana nih?”

“Ya udah kasih dispensasi aja mas buat kelompok pink…”

“Nggak bisa, ntar jadi preseden di game-game selanjutnya… kalo ada apa-apa tim lain pada ikutan minta dispensasi…”

“Tapi dia takut betulan tuh…”

“Hmm… gini aja deh, kita naikin aja hadiahnya!”

Tip outing:
improvisasi bukan cuma perlu untuk mengatasi ketidakberesan, tapi juga bisa digunakan untuk mendorong situasi ke arah yang lebih kompetitif. Pastikan bahwa setiap improvisasi yang dilakukan nggak terkesan berat sebelah kepada salah satu peserta.

Maka gue langsung mengumumkan, “OK, untuk game belut, kami naikkan hadiah utamanya dari 400 kepeng menjadi 600 kepeng! Hadiah terkecilnya 300 kepeng! Lumayan banget nih buat tambahan modal. Gimana tim pinky, jadi W.O.? Takut, heh?”

“Tuh Trin, hadiahnya gede Trin, berani ya? Ya?” kelompok pink masih berusaha memotivasi Trini sampe akhirnya dia mengangguk lemah.

“OK kami ikut! Tim pink ikut!”

Aba-aba diberikan, pertandingan dimulai. Trini diposisikan sebagai orang terakhir. Tugasnya menerima operan belut dari Opie, dan memasukkannya ke ember. Tapi bahkan saat belutnya belum nyampe, Trini udah nyicil jerit-jerit bungkam, “MMM!! MMM!! MMMMM!!!!”

Tim pink bergerak cepat. Seekor demi seekor belut berpindah tangan – atau tepatnya – berpindah kaos, hingga tau-tau Opie telah mengumpulkan 3 ekor belut di kaosnya. Hantaran belut terhenti di Opie karena Trini masih sibuk jerit-jeris histeris sambil muter-muter, mirip tarian minta hujan suku Indian.

“MMMMMMMMMMMMMMMM!!!!!”

“Trini, ayo trin, tinggal terima trus masukin ke ember, ayo trin… pasti bisa!”

“Awas ya tim pink, Opie nggak boleh masukin sendiri ke ember, harus lewat Trini. Dan kalo ada belut yang jatuh, nggak boleh dipungut, harus ulang dari awal!” Gue kembali memanaskan situasi.

“Trini, ayo, bisa kok, bisa, ayo trin…”

“MMMM!!”

“Ayo Trini…”

Akhirnya tekanan situasi berhasil mengalahkan ketakutan Trini. Walaupun sambil tutup mata dan memalingkan muka, dia mau juga menyambut operan belut dari Opie dan… berhasil memasukkan semuanya ke ember. Bukan cuma sekali, tapi juga operan 2 ekor belut berikutnya sehingga total tim pink berhasil mengoper 5 ekor belut dan keluar sebagai juara game!

Game belut menutup rangkaian game siang yang didominasi dengan game-game fisik. Tim hijau, timnya Ata, memimpin perolehan lahan tanah dengan nilai tertinggi. Tapi masih ada rangkaian game malam, di mana mulai terjadi pertempuran sengit antar kelompok…

…dan sebuah kehilangan yang cukup fatal.

Tip outing:
letakkan game-game yang banyak menguras tenaga di bagian awal, sesuai dengan kondisi fisik peserta yang semakin lama akan semakin menurun.

[bersambung – ke bagian terakhir]

Foto: Ata lagi iseng memasang kain penutup mata untuk game ‘blind bakiak race’ di mulut. Game bakiak dengan mata ditutup pernah gue mainkan di kantor yang lama, lengkapnya bisa dibaca di buku “Ocehan si Mbot…” 🙂

37 comments


  1. ailtje said: Guwe gak suka game belutnya, kejam tahu, kan kasian belutnya!

    belutnya baik2 aja kok, karena di titik start dan finish mereka aman dalam ember berair… tapi memang ada satu sih yang mati, digetok peserta.


  2. putrihakim said: MBAK TRINI HEBATTT.. akhirnya bisa mengalahkan rasa takut demi pengen menang dan tentunya solidaritas ke temen satu team.. 🙂

    nah ini dia satu lagi anggota supporter team trini… yippiiiee… 🙂


  3. myshant said: bapak-bapak siy, dikasih permainan apa aja, nyeletuknya tetep aja nyerempet2 kesono Gung ..wakakakakakakapalagi dikasih terong, belut sama aer :))

    hehehe… iya memang. segi bagusnya, mereka saling menghibur diri sendiri dengan celetukan2 nggak pentingnya itu 🙂