Pembaca lama blog ini mungkin udah mulai apal (baca: bosen) baca upaya-upaya gue melangsingkan badan. Berawal di tahun 2007, waktu lagi rajin-rajinnya ngegym, lalu tahun 2011 waktu jualan suplemen kesehatan, dan terakhir tahun 2015, waktu gue coba-coba nggak minum gula.
Kalo udah sekian lama dan sekian banyak cara gue coba, kenapa gue nggak langsing-langsing juga? Jawabannya adalah karena cara-cara yang gue coba sebelumnya, walaupun efektif dalam waktu pendek, tapi nggak berkesinambungan (sustainable), karena nggak bisa masuk jadi bagian dari kegiatan sehari–hari gue.
Lewat serial posting ini gue mau meninjau ulang kegagalan cara-cara melangsing yang pernah gue coba, sambil melaporkan cara terbaru yang sekarang lagi gue coba, yang sejauh ini udah berhasil bikin bobot gue turun 10 kilo, dan mudah-mudahan akan jadi cara melangsing gue yang terakhir.
Mari kita mulai.
Di tahun 2007, gue nge-gym 5 kali seminggu, masing-masing menghabiskan waktu sekitar 2 jam termasuk proses mandi dan beres-beres di sebelum dan sesudahnya. Waktu itu rumah gue cuma berjarak 1 KM dari gym, jadi gampang. Tapi saat gue udah pindah rumah, atau di kantor lagi banyak lemburan, porsi nge-gym sebanyak itu jadi susah direalisasikan.
Di tahun 2011, gue berhasil melangsing karena pake 1 paket suplemen kesehatan. Memang turunnya cepet dan gue berhasil mencapai rekor bobot terlangsing gue yaitu 82 kiloan. Karena merasa udah lumayan aman, beberapa produk dari paket suplemen itu gue hentikan, dan alhasil… bobot gue langsung naik lagi.
Di tahun 2015 bobot gue turun lumayan banyak saat gue berhenti mengonsumsi gula. Tapi lagi-lagi ini berakhir menyedihkan karena menghilangkan 1 jenis bahan makanan dari menu itu ternyata susah. Masalahnya gue nggak selamanya punya kontrol penuh atas pilihan makanan dan minuman yang bisa gue konsumsi. Lagi tugas kantor, misalnya, pas jam makan disuguhinnya semua jenis makanan dan minuman manis, kan jadi terpaksa melanggar aturan diet. Atau lagi berkunjung ke tempat baru yang makanan khasnya manis, masa iya gue nggak nyobain. Kan sayang.
Akhirnya sejak tahun 2015 gue lebih banyak mengandalkan olah raga untuk menjaga bobot. Walau belum bisa mencapai bobot idaman di kisaran 70an, minimal jaga biar nggak melar-melar amat. Rutinitas olah raga gue adalah:
- latihan beban di gym 3x seminggu
- jalan kaki pulang dari kantor 5x seminggu @ 5KM
- 7 minute workout + skipping yang totalnya sekitar 20 menitan.

Bobot stabil di kisaran 90 kilo, sampai di pertengahan 2016 ada masalah dengan kaki kanan gue.
Ceritanya kepanjangan kalo gue bahas di sini, nanti gue tuliskan di posting terpisah karena gue yakin ada banyak orang di luar sana yang mungkin mengalami masalah sama; yang jelas sejak pertengahan 2016 itu gue nggak bisa olah raga yang mengharuskan kaki memijak tanah. Akhirnya olah raga gue hanya berenang, tapi berhubung kolam renangnya lumayan jauh dari rumah dan kantor, gue cuma bisa berenang sekali seminggu.
Karena porsi olah raga berkurang drastis sementara porsi makan tetep kalap, nggak heran kalo bobot gue membal lagi. Yang ngeselin dari kenaikan bobot adalah: dia nggak pernah terjadi 2 atau 3 kilo sekaligus. Naiknya sedikit-sedikit, jadi kan nggak kerasa.
Hari ini nimbang, masih 90 kilo. Minggu depan nimbang, 90,3 kilo. “Ah cuma naik 3 ons, nggak papa”.
Minggu depannya jadi 90,5 kilo… “Cuma naik 2 ons masa ribut”.
Minggu depannya lagi jadi 91 kilo. “Duh naik setengah kilo nih, tapi nanti kalo dibawa lari sebentar juga turun lagi kok”.
Hingga akhirnya di Januari 2018 kemarin gue mencapai rekor bobot terberat gue yaitu 105 kilo!

Padahal dokter gue bilang, melangsing itu sederhana banget kok. Kalo dalam sehari gue ngurangin 150 kalori (kurang lebih setara dengan 100 gram atau 2 centong nasi), maka dalam sebulan akan terjadi defisit 4.500 kalori yang cukup untuk mencairkan 6 ons lemak. Kalo ini dilakukan konsisten, maka dalam setahun akan turun 7 kilo lebih, tanpa harus kelaparan berlebihan. Pengurangan 2 centong nasi ini juga nggak harus dilakukan sekaligus. Kalo biasanya makan pagi dan makan siang masing-masing 2 centong, maka dikurangi jadi masing-masing 1 centong aja.
Penjelasan dan hitungan dokter sangat masuk akal dan sebenernya ringan, tapi lagi-lagi kendala gue adalah: gue nggak selamanya bisa mengontrol porsi makanan. Kalo di jam makan siang gue makan pecel ayam, nasi yang disendokkan Ibu Pecel Ayam ke piring gue kan nggak standar. Sekalipun gue minta nasinya dikurangin, tapi nalurinya untuk menyenangkan pelanggan membuat dia cenderung menambahkan porsi nasinya. Dan saat nasi udah bertumpuk dengan pecel ayam di piring, gue jadi kehilangan akurasi mental untuk menilai, apakah kira-kira bobot nasi ini udah berkurang 50 gram atau belum.
Itu baru kalo berurusan dengan nasi. Lebih rumit lagi urusannya kalo gue makan siang pake mi baso. Gue harus mengurangi berapa helai mi agar bisa tercapai defisit 50 gram, itu pertanyaan pelik yang susah gue jawab. Lalu gimana kalo hari berikutnya gue makan kwetiau? Burger? Ayam goreng dan french fries? Gado-gado lontong? Gimana ngitungnya?
Kesimpulannya, permasalahan yang merundung gue di tahun 2018 ini adalah:
- Gue harus turun bobot, sebelum penyakit datang
- Gue nggak bisa olah raga sekeras dulu
- Konsep “makan 3x dengan porsi dikurangi” terlalu rumit buat gue
Setelah mikir-mikir beberapa lama, gue teringat lagi pada pola makan intermittent fasting, yang di Indonesia lebih dikenal dengan OCD gara-gara di-branding seorang tukang sulap. Padahal intermittent fasting sendiri adalah sebuah praktik yang udah lama ada.
Intermittent fasting alias pola makan berjangka sangat sederhana: setiap hari terbagi menjadi waktu makan dan waktu puasa. Misalnya kita ambil pola 14-8, maka kita puasa selama 14 jam dan boleh makan apa pun selama 8 jam. Nggak perlu pusing ngitung kalori dan porsi makanan, pokoknya selama jamnya boleh makan ya makan, dan di jam puasa ya nggak makan apa pun, kecuali segala sesuatu yang tidak berkalori (air putih, kopi atau teh tawar).
Dokter sebenernya nggak terlalu setuju gue menjalankan intermittent fasting, karena kata dia, kalo kita melaparkan diri, maka akan pusing karena kekurangan kalori. Tapi berhubung gue juga pusing kalo disuruh ngitung porsi makanan, ya mending gue coba intermittent fasting aja deh.
Gue mulai dengan pola 18-6, 18 jam puasa, 6 jam boleh makan. Gue mulai makan di jam 9 pagi, dan stop makan di jam 3 sore. Hasilnya:
- Bobot berhasil turun beberapa kilo hanya dalam 1 bulan pertama
- Nggak ada rasa pusing seperti yang dikuatirkan dokter, selama asupan air putih cukup banyak
Gue mulai rutin menjalankan intermittent fasting ini sejak bulan September di bobot 101 kilo. Sebulan kemudian, bobot gue 99 kilo. Lumayaaan… 2 kilo dalam sebulan!
Tapi gue merasakan ada yang sedikit ‘salah’ dengan pola makan intermittent fasting ini. Gue akan ceritain lebih lanjut di posting berikutnya, ya!
asli mas pengalaman diet gue juga gini apalagi part ngitung2 kalori itu aduh asli kadang pusing juga, rada sama dengan gue ga bisa selalu ngontrol makanan yg gue konsumsi
Hahaha tosss. Dah gitu ukuran juga suka nipu, kayaknya kecil taunya kalorinya banyak
Ditunggu ya mas lanjutannya
Siap
Kenapa ga puasa Daud aja sekalian Pak Agung? hehehe…Ibadah Insya Allah dapat, sehat bonusssss bangettt…..
Karena niatnya memang buat nurunin bobot, bukan ibadah. Rasanya curang aja kalo sebenernya dalam hati mau nurunin bobot tapi di bibir niatnya ibadah.