Setelah sekian lama nonton berbagai jenis film, akhirnya gue sampe pada satu kesimpulan: setiap film memerlukan cara menikmati yang berbeda-beda. Nonton film Sang Penari, misalnya. Kalo lu berusaha menikmatinya dengan mencari adegan romantis dan dialog puitis, jelas lu akan kecewa berat. Tapi kalo lu nonton film itu dengan kesiapan mental untuk digugat, diajak peduli, dan dibikin bertanya-tanya, maka film itu akan sangat menarik. Sebaliknya, kalo lu nonton The Expendables dengan cita-cita dapet pesan berbobot, jelas lu akan keluar dari bioskop sambil ngomel-ngomel. Walaupun memang ada juga film yang sampe sekarang belum jelas gimana cara menikmatinya sih, misalnya Terowongan Casablanca.
Film Rayya ini termasuk film yang perlu ditonton dengan kesiapan mental yang tepat.
Bukan berarti film ini jelek, atau ajaib seperti film Koper, atau ngebosenin seperti film Angels and Demons, tapi lu harus siap ditantang mempertanyakan hal-hal yang selama ini lu terima begitu aja. Buat penggemar tulisan Emha Ainun Najib, pasti akan langsung mengenali pola pikirnya anti-mainstreamnya lewat skenario yang ditulisnya untuk film ini bareng Viva Westi sang sutradara.
Alkisah, Rayya (Titi Sjuman) adalah seorang artis papan atas yang super-duper ngetop. Saking ngetopnya dia bahkan berani mengklaim ada ratusan lelaki yang rela mencium kakinya (terlepas dari pertanyaan apakah para lelaki yang rela mencium kaki Rayya sadar bahwa mereka meleset beberapa puluh centimeter dari sasaran yang seharusnya, ya).
Nah, saking ngetopnya si Rayya, terbentuklah sebuah tim gabungan yang akan mempersiapkan sebuah buku biografi super eksklusif. Tim penyusun buku ini beranggotakan fotografer, perancang busana, penulis, editor, dan beberapa orang lainnya yang gue kurang ngeh tugasnya ngapain.
Nggak disangka-sangka, ketika tim gabungan sibuk meeting mempersiapkan buku, Rayaa ribut besar dengan Bram, pacarnya. Rayya yang lagi berduka lara lantas bikin ulah aneh-aneh, mengajukan syarat yang enggak-enggak, hingga akhirnya memecat fotografer anggota tim gabungan gara-gara sebuah peristiwa kecil: Rayya merasa dibohongi. Biasalah, cewek kalo abis dibohongin cowok kan suka jadi uring-uringan random gitu.
Karena proses pembuatan buku harus jalan terus, akhirnya ditariklah Arya (Tio Pakusadewo) ke dalam tim sebagai fotografer pengganti. Tokoh Arya ini digambarkan sebagai fotografer anti kemapanan: di era digital ini masih doyan pake kamera analog karena lebih menantang. Sesuai dengan syarat yang diajukan Rayya bahwa proses pemotretan hanya boleh dilakukan fotografer sendiri tanpa dibantu asisten, berkelanalah mereka berdua keliling Indonesia untuk melakukan pemotretan.
Sepanjang perjalanan Rayya dan Arya, mereka berdialog dan saling mengenal. Mulai terkuak latar belakang Arya: dia ditinggal istrinya, Dea (Lila Azizah) yang minggat karena kepincut brondong. Lewat perjalanan itu, Rayya dan Arya belajar menyembuhkan luka batin mereka masing-masing, dan belajar lagi tentang makna kehidupan.
Jadi, film 2 jam ini cuma untuk nonton 2 orang ngobrolin masalahnya masing-masing? Nanti dulu. Justru itu kerennya film ini. Dialog-dialognya tajam mempertanyakan bagaimana reaksi orang menghadapi peristiwa menyakitkan, dan apa pilihan-pilihan yang ada untuk mengatasinya. Apakah kita harus dendam kepada orang yang menyakiti kita? Bila ya, mengapa? Apakah balas dendam bisa menghapus dendam?
Entah kenapa, film ini semakin lama ditonton semakin mudah dicerna. Di bagian awal, kuping gue rada gatel denger dialog-dialog puitis yang diucapkan Titi Sjuman. Apalagi kontras dengan orang-orang di sekitarnya yang ngomong dengan bahasa sehari-hari. Tapi makin ke belakang, makin terasa wajar. Padahal puitisnya tetep. Tapi juga jangan ngebayangin film ini akan berat dengan dialog-dialog roaming yang hanya dimengerti pengamat film, ya. Banyak selipan komedinya juga, yang muncul di saat-saat yang nggak terduga. Kehadiran Arie Dagienkz sebagai penganten yang ditemukan Rayya di jalan, juga Christine Hakim sebagai budenya Arya memberikan momen-momen yang menyegarkan.
Ngomong-ngomong soal segar, tampilan Titi Sjuman sebagai seorang seleb di film ini, dengan gaun yang modis-modis, jauh lebih menyegarkan mata ketimbang waktu dia jadi TKI di film Minggu Pagi di Victoria Park (…ya menurut ngana?)
Tapi peran yang bener-bener ‘hidup’ dalam arti seperti ngelihat sosok nyata dan bukan tokoh film adalah Dea yang dibawakan oleh Lila Azizah.
Kayaknya tongkrongannya pas banget sebagai istri-istri kurang dapat dipercaya yang mudah terpikat brondong, bikin gue ikut gemes ngelihatnya. Mudah-mudahan benerannya nggak kaya peran di film ya, amiiin.
Kesimpulannya: ini film yang menarik ditonton buat penggemar dialog-dialog cerdas yang bikin penonton mempertanyakan ulang konsep yang mereka yakini. Film ini mulai tayang di bioskop tanggal 20 September 2012, dan berikut ini trailernya:
Kayaknya tongkrongannya pas banget sebagai istri-istri kurang dapat dipercaya yang mudah terpikat brondong, bikin gue ikut gemes ngelihatnya. Mudah-mudahan benerannya nggak kaya peran di film ya, amiiin
———————————————————————————————————
katanya aktris yg sukses tuh yg bikin gemes penonton bukan ?
tapi …emang napa kalau kenyataannya kaya’ di pilem ?
rejeki si brondong-lah …hahahahahaha
beberapa aktor / aktris yang suka bawain peran antagonis kan sering ngalamin dibully fans di jalanan tuh
Uhmm… nanya satu aja, Gung: tokoh Bram (pacarnya Rayya) itu nyiumnya kaki juga, atau tepat pada sasaran tembak :-)?
Ah, sayangnya nggak dikasih lihat di filmnya. Tp kayaknya sih meleset. Buktinya Rayya uring2an.
poster filmnya cakep ya.. *salah fokus*
Orangnya juga sik (bukan Tio yg dimaksud ya)
jadi kalau disuruh kasih bintang, dari lima bintang dikasih berapa?
Empat bintang deh.
karena bintang lima hanya milik mac arthur dan soeharto
Nasution juga kan?