Ini bukannya mau ikut-ikutan judul postingnya Wib di Multiply (nggak gue link, soalnya bentar lagi akan dibubarin), tapi memang beneran gue baru terpikir suatu konsep yang selama ini gue pikir dari arah yang terbalik.
Tadi malem (16 September 2012) gue nonton debat calon gubernur di Metro TV, dipandu Najwa dan Tomi. Giliran Ahok ditanya tentang pelayanan kesehatan untuk orang miskin. Gue lupa kata-kata persisnya gimana, tapi kurang lebih yang gue inget kayak gini nih dialognya:
Najwa: Anda menawarkan fasilitas pengobatan gratis untuk rakyat miskin. Bagaimana cara Anda memastikan bahwa fasilitas itu benar-benar hanya dinikmati oleh rakyat miskin? Apakah ada kriteria tertentu, misalnya fasilitas pengobatan gratis hanya bagi mereka yang tidak punya motor atau televisi, begitu?
Ahok: Tidak bisa begitu, yang punya motor itu bukan karena kaya, tapi karena terpaksa. Nggak ada pilihan lain akibat transportasi Jakarta yang sangat buruk.
Najwa: Jawaban Anda melenceng dari pertanyaan.
Ahok: Sebentar saya jelaskan. Saya tidak akan melakukan survei berapa orang miskin yang perlu pengobatan gratis, itu cuma buang-buang waktu dan biaya. Ambil gampangnya saja, semua warga DKI, dengan membawa kartu sehat, berhak mendapat pengobatan gratis di rumah sakit pemerintah maupun swasta di kelas 3. Asal dia mau dirawat di kelas 3, dia boleh dirawat gratis. Selesai.
Najwa: Lalu bagaimana kalau fasilitas ini lantas dimanfaatkan oleh orang kaya?
Ahok: Ini urusan kesehatan. Saya yakin setiap orang pasti mau pengobatan terbaik untuk dirinya. Kalau dia punya uang, dia pasti akan pilih kelas 1 atau VIP. Mana mau dia ditaro di kelas 3, barengan sama pasien-pasien lainnya. Jangan terbalik. Jangan orang miskin dicurigai sebagai orang kaya, sehingga dia harus bawa surat keterangan dari RT, RW, Lurah untuk membuktikan dia miskin. Prosesnya lama. Kalau sampai ada orang miskin yang kita sangka orang kaya sampai dia meninggal, itu keterlaluan.
Buat gue, pemikiran Ahok ini menarik banget. Memang bener, merancang sebuah fasilitas yang hanya berlaku bagi golongan tertentu, kita suka mikir terlalu ribet dengan memusingkan kriteria-kriteria untuk mendefinisikan orang-orang seperti apa aja yang termasuk dalam golongan tersebut. Padahal bisa aja kriteria pembatasnya udah tersedia dengan sendirinya, seperti fasilitas kesehatan yang dijelaskan Ahok. Kayaknya hanya orang kaya yang sangat pelit lah yang rela mempertaruhkan kenyamanan dan kesehatannya hanya untuk menikmati fasilitas kesehatan gratisan di kelas 3. Mungkin ada aja orang yang kayak gitu, tapi secara umum orang akan membeli fasilitas kesehatan terbaik untuk dirinya. Yang penting, tujuan utamanya tercapai: semua rakyat miskin bisa berobat gratis, tapi kas Pemda juga jangan sampe kebobolan.
Kalo kita terlalu pusing pada peraturan, kriteria, dan batasan, artinya kita berpikir secara terbalik. Kita punya satu tujuan yang ingin dicapai, tapi malah pusing ngurusin rambu-rambu yang nggak penting. Ibarat mau pergi dari Jakarta ke Bogor, tapi kita rapat seminggu untuk nentuin apakah akan naik bis, KRL, atau mobil pribadi, lalu batasan warna kendaraan yang akan kita pake, berapa jumlah rodanya, dan apakah di dalamnya joknya empuk atau enggak. Padahal kita tinggal menetapkan tujuan, sampai di Bogor dengan biaya kurang dari 10 ribu rupiah, misalnya, maka jenis transportasi akan terseleksi dengan sendirinya.
Pola pikir kayak gini sebenernya bisa aja dipake di bidang-bidang lainnya. Bidang pendidikan, misalnya. Rata-rata sekolah menetapkan standar penampilan bagi para siswa laki-laki: dilarang gondrong. Tapi ternyata ada sebuah SMU swasta yang bikin peraturan: murid yang nilai rata-ratanya di atas 8, bebas menggondrongkan rambut! Daripada harus menghabiskan waktu untuk hal yang kurang penting dan relevan dengan pelajaran seperti razia rambut, mereka malah mengubah rambut gondrong jadi insentif menarik untuk bikin para siswa berlomba-lomba meraih nilai setinggi mungkin. Bukankah awalnya timbul larangan rambut gondrong itu untuk meningkatkan disiplin, di mana disiplin dipandang sebagai faktor penting untuk mencapai nilai yang baik? Ya udah, langsung aja peraturannya dikaitkan dengan hasil akhir yang diharapkan, dalam hal ini prestasi akademik!
Contoh lainnya soal jam kedatangan di kantor. Umumnya, kantor menetapkan jam keerja yang ketat, misalnya jam 8.00 sampai jam 17.00. Tujuannya apa? Ya supaya para pegawainya jangan telat datang ke kantor atau pulang terlalu cepat. Biar apa? Biar produktivitasnya terjaga. Kalo orang sering telat atau sering pulang lebih cepet dari waktu, dihukum dengan potong gaji atau dikurangi penilaian kinerjanya. Padahal, belum tentu orang yang datang dan pulang tepat waktu itu produktif! Ada yang sampe kantor, ngisi absen, terus keluar lagi nyari sarapan dan baru mulai kerja jam 10.00
Daripada repot ngejagain absen, kenapa nggak langsung aja menghubungkan produktivitas dengan penilaian kinerja? Jadi, setiap pegawai terserah mau dateng jam berapa aja, mau pulang jam berapa aja, selama hasil kerjanya beres, maka dia berhak dapet penilaian baik. Tapi, penilaian beres – enggaknya kinerja seseorang juga harus memasukkan penilaian dari orang-orang yang bagiannya terkait.
Misalnya, Budi adalah pegawai bagian Finance yang kerjanya memproses formulir uang saku perjalanan dinas milik pegawai-pegawai di bagian lain. Kerjanya beres, tapi dia sering datang kesiangan, setiap hari baru nongol jam 10. Padahal, antara jam 8.00 sampai jam 10.00 itu ada banyak orang yang memerlukan kehadirannya untuk mengurus uang saku. Mereka yang datang ke meja Budi dan kecele berhak menambahkan catatan (misalnya diinput ke dalam sebuah sistem komputer) atas ketidakhadiran Budi, yang akan mempengaruhi penilaian kinerja Budi di akhir tahun. Kalau sistem ini diberlakukan, nggak usah repot-repot mematok jam masuk dan jam pulang, Budi dengan sendirinya akan berusaha hadir tepat waktu, dan produktif!
Seperti kata Gus Dur, “Gitu aja kok repot,” kita sering merepotkan hal yang sebenernya sederhana banget. Kuncinya sebenernya hanya 2 hal:
- Fokus pada hasil akhir yang ingin dicapai lewat sebuah peraturan
- Pastikan setiap orang berhadapan dengan konsekuensi atas perbuatannya
Dengan demikian keteraturan nggak lagi datang dari pengawasan eksternal, tapi berkat pendewasaan setiap individu yang terlibat di dalamnya.
Gampang, kan?
Kalu mikir kebalik gw malah pusing Gung….mak nyeng nyeng..hehehehe
*mabur*
ini diajak berpikir terbalik Cak, bukan berpikir njempalik…haha
Hahahahahaa…..
Dengan demikian keteraturan nggak lagi datang dari pengawasan eksternal, tapi berkat pendewasaan setiap individu yang terlibat di dalamnya. —>
Ini Pak, yang masih belum dimiliki orang2. Dan itu lah letak masalahnya.
Mudah2an kl dibiasakan lama2 terbentuk
sbg PNS, sistem pemerintahan sbnrnya dah baik. cm kita2 aja yg rese bs ngakalinnya hehe….
Ya selama masih banyak yg ngakalin artinya masih belum baik, kali…
Lekom-nya mana?
Lekom apaan ya?
You are ebseluteli rait!
*tukul arwana mode on*
Kembali ke lap… Top!
Soal jam kantor, kalau yang kerja di bagian IT developer tentu produktifitas tidak dilihat dari jam berapa datang dan pulangnya, tapi dari output pekerjaannya. Tetapi tidak di bagian pelayanan umum, tentu ketepatan jam kerja menjadi yang utama.
Betul. Tapi cuma fokus pada jam kerja aja juga sesat, krn orang yg disiplin jam kerjanya belum tentu produktif.
Kutipan:
Kuncinya sebenernya hanya 2 hal:
1. Fokus pada hasil akhir yang ingin dicapai lewat sebuah peraturan
2. Pastikan setiap orang berhadapan dengan konsekuensi atas perbuatannya
Komen: kayanya Steven Covey banget ya mas 😀
tapi emang bener sih, budaya kaya gini yang belum masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia
pemikirannya memang bisa diaplikasikan ke banyak bidang 🙂
humans react to incentive
they do
Jawaban Ahok cerdas sekali, gak kepikiran kalau solusinya ternyata simpel saja. Sayang deh, saya gak bisa ikutan pilgub.
Iya, nggak pernah kepikir sampe ke sana. Selama ini terjebak dengan pola pikir nyari pembatasan yang sedetil mungkin.
Like this bangeeeeet om mboooot. Sumpaaaaaah!!! apalagi soal pemikiran ttg kinerja pegawe. Stujuh,,,setujuu,,setujuuu.. tidak selamanya org yg datang jam 8 pulang jam 5, kerjaannya d kantor rebeeees!! Malah ada yang ngantor jam segitu tp kerjaannya ngegosaaaaaap muluuuu.. nanti pas deadline baru dah terbirit2 ngerjaiinnya..
Ray Izin share yaaaa…
Silakan, tks ya!
baca gini suka dengan cara dikau berfikir deh mbot..
dikantorku juga pake sistem produktif.. yang penting outputnya jelas dan ada, mo jam berapapun masuk.. juga bertanggungjawab..
Terima kasih 🙂
HRD banget pembahasannya…Jaid inget jamannya jadi HRD …
Yah maklum HRD udah mengalir dalam darah
tapi yang kayak begitu gak bisa diterapkan pada pabrik yang production line …
untuk urusan absen mungkin nggak bisa, tapi pasti bisa untuk aspek lainnya. Fasilitas kesehatan, misalnya. contohnya dulu di kantor yang lama, demi menghemat budget, penggantian rawat jalan hanya 80% dari bon. Akhirnya para pegawai malah kompakan sama dokternya minta bon yang 150% lebih besar. Bukannya hemat malah tambah boros.
kebanyakan aturan juga kadang bikin ilfil duluan, malah bikin orang gak produktif 🙂
Stuju. Dan lbh ribet ngawasinnya.
Eh, gw baru baca sampai akhir 🙂 Ternyata pandangan loe lebih menarik lagi, Gung… HAHAHA…. Gw sempat kerja (sebentar) di kantor yang sangat birokratis sebentar. Yang lebih mementingkan datang jam berapa pulang jam berapa daripada beres gak kerjanya. Mungkin ada baiknya gw share ini ke mereka, siapa tahu bisa membuka cakrawala… HAHAHAHA..
Haha, coba aja. Mudah2an berhasil
Cocok! Ini salah satu jawaban Ahok yg bikin gw terpukau 🙂
Gw share ya, Gung 🙂
Tks ya!
setujuuhh.. selama pelaksananya konsekuen & bertanggung jawab
Iya, dan yg lbh penting, tanggung jawab utama pada yg diatur, bukan yg mengatur
Menarik sekali cara pandang mas Agung seperti ini. Semuanya dikaitkan dg performance, bukan sekedar pemenuhan seremonial / peraturan kaku.
Abis ini mau nulis ttg fokus pada proses vs fokus pd hasil, krn sering jd perdebatan 🙂
Ini pasti seru bahasannya. Sementara menurutku tergantung kepentingannya sih ya, untuk orientasi apa fokus tersebut.
” Padahal, belum tentu orang yang datang dan pulang tepat waktu itu produktif! ”
setuju banget.. apalagi bidang gw gini, programmer en kreatif.. paling ga bisa terikat waktu. kadang ide itu datangnya tiba2, malahan stress kalau pake waktu.. Arghhhhhh
*balik baca2 blog .. eh?*
“Soalnya produktivitas saya baru naik stlh blogwalking” – alasan
Pertama tentang Judul… itu hanya kebetulan aja gung :)))
Ditempat sekarang ini gwe dibebasin jam kantornya, mau masuk abis magrib juga silakan asal kerjaan lu beres dan ga ganggu kerjaan yang bhubungan dengan lu.
tapi memang untuk beberapa bagian kayak finance/admin/telesales/telesurvey kudu ngikutin jam kantor, karena mengikuti pola umum yang ada diluaran. ya kagak mungkin kan telesales nelpon prospek abis isya :))
Ya kalo telesales spa plus2 mungkin aja sik
setuju. keribetan birokrasi dan peraturan mungkin penyebab munculnya mental “aturan ada untuk dilanggar” dan ini udah saatnya diubah.
Iya. Kalo peraturannya melibatkan pertimbangan tanggung jawab pribadi, orang akan pikir2 lagi utk melanggar. Dan peraturan bs sekaligus berfungsi utk menyeleksi mana orang yg betulan bertanggung jawab, mana yg sekedar nurut krn disuruh.
Gampang sbnrnya. Tinggal orangny yg mau melakukan itu bnyk ga?
mudah2an semakin banyak