Sebagaimana layaknya seorang muslimah yang mau mantu, Ibu gue berencana bikin pengajian. Pesertanya ibu2 di sekitar rumah yang emang punya pengajian rutin setiap hari Rabu. Rabu yang dipilih adalah Rabu 22 Juni kemarin, yang kebetulan bertepatan sama ultah Ida.
Walaupun peserta yang diundang seluruhnya ibu-ibu, tapi ibu gue juga menginformasikannya ke beberapa kerabat yang lain, termasuk salah seorang oom yang temen deket almarhum bapak gue. Si oom menyambut gembira sekali rencanya pengajian ini, bahkan kemudian menambahkan sebuah niat, “…gimana kalo pas acara pengajian nanti, oom ajak juga anak-anak yatim-piatu dari panti asuhan? Oom kenal dengan salah satu pengurus panti asuhan dekat sini.”
Wah, boleh juga, pikir gue. Kok ya nggak kepikiran sebelumnya ya, untuk berbagi kebahagiaan ini dengan mereka?
“Kalau ngundang mereka, bagus sekali,” kata si oom melanjutkan, “mereka bisa kita minta bantu mendoakan, dan nantinya bisa disuruh cerita juga.”
“Cerita? Cerita apaan Oom?”
“Ya… cerita pengalaman mereka waktu bapak-ibunya meninggal, sedih deh, tamu yang lain pasti terharu dengernya…Misalnya, ada salah satu anak yang ibunya meninggal karena jatuh dari boncengan sepeda motor ayahnya… Jadi si anak ini ditinggal pergi sebentar oleh orang tuanya, pulang-pulang ibunya udah meninggal, sediih sekali…”
“Lho…?!” gue bengong dengernya.
Nggak tau ya, mengundang anak2 itu dengan niat agar mereka mendoakan kita aja udah bikin gue kurang sreg. Somehow it doesn’t feel right for me, kayaknya kok seperti penodongan, gitu. Orang mendoakan kita kan karena orang itu mau, bukan karena disuruh mendoakan. Lagian, doa yang dilakukan secara nggak ikhlas, apa iya bisa ‘sampe’?
Gue membayangkan kalo gue ada dalam posisi anak-anak itu, ujug2 diajak-ajak ke rumah orang yang gue nggak kenal, trus disuruh berdoa untuk orang itu. Idih, siapa elu? Mereka memang masih anak2, tapi anak2 kan juga punya pilihan sendiri mau berdoa untuk siapa. Menurut gue, adalah hak asasi orang untuk memilih siapa yang mau mereka doakan, nggak bisa dipaksa-paksa. Hmm.. aneh nggak sih pemikiran gue?
Bagian ‘nodong doa’-nya aja udah bikin gue rada kurang sreg, ditambah lagi kedatangan mereka nanti akan di-“manfaatkan” untuk bikin orang terharu-biru dengan kisah sedih yang mungkin nggak nyaman buat mereka ceritakan lagi. Maksud gue, come on, put yourself in their shoes. Katakanlah lo abis ketiban sial, yang kecil-kecil aja seperti misalnya spion mobil dicongkel orang di traffic light. Trus abis itu lo disuruh cerita berulang kali mengenai pengalaman yang tidak menyenangkan itu. Emang enak? Lagian secara psikologis gue yakin efeknya nggak akan positif bagi mereka. Masa anak-anak adalah masa bermain, masa bersenang-senang. Kalo mereka diajak sedih-sedihan mulu, gimana nanti perkembangan mentalnya 10-20 tahun ke depan?
Spontan gue jawab si Oom, “Hwaaduuh.. jangan gitu deh Oom… saya seneng dengan ide mengundang anak-anak itu, tapi bukan untuk tujuan itu. Mereka nanti akan jadi tamu di sini, dan namanya tamu harus dijamu sebaik-baiknya. Nggak usah pake sedih2an ya Oom, nanti saya bikin acara buat mereka kayak pesta ulang tahun aja…”
“Acara gimana maksud Mas Agung?”
“Ya nanti saya pikirin Oom. Tolong dikonfirmasi aja berapa jumlah anak yang mau dateng.”
Si oom menyebutkan angka 15 anak yang akan dibawa. Maka gue langsung merancang persiapan.
Ide pertama gue: mereka harus diajak fun. Terserah mereka biasanya gimana di acara ‘doa-mendoa’ lainnya, tapi di rumah gue nggak boleh ada yang sedih-sedihan. Dan yang terpikir pertama kali oleh gue: harus ada goodie-bag.
Ide ini didasarkan pada pengalaman gue sendiri waktu anak-anak: tiap kali dateng ke pesta ulang tahun, bagian yang paling membahagiakan adalah menerima goodie-bag. Kayaknya seru, gitu; nerima sekantong penuh coklat dan permen. Walaupun harga permennya nggak seberapa, tapi kalo udah dikemas dalam goodie-bag kayaknya derajat kenikmatannya jadi naik berkali-kali lipat. Gue yakin semua orang pasti punya kenangan manis menerima goodie-bag 🙂
Rencana bagi2 goodie-bag gue ceritain ke kakak gue yang paling bawel, mbak Doti, dan dia menyambut gembira. Malah dia punya ide lebih bagus lagi: permennya nggak ditaro dalam plastik, tapi dalam tas sekolah yang sekalian bisa mereka bawa pulang. Mbak Doti mau menyumbang tas sekolahnya, sementara gue cuma beli permennya.
Setelah kepikiran ide soal goodie-bag, gue juga langsung ‘merekrut’ orang-orang yang nantinya akan gue perlukan bantuannya dalam menghandle 15 anak. Pilihan jatuh tak lain tak bukan pada wajah2 yang sudah tidak asing lagi, Sigit dan Nanin. Mereka berdua setuju untuk mengosongkan agenda masing-masing tanggal 22 Juni, membantu bikin ‘pesta’ yang seru buat tamu2 istimewa gue. Rencananya, goodie-bag2 itu nggak akan gue bagiin gitu aja, kurang seru. Gue mau bikin game, tapi belum kepikiran kaya apa game-nya.
Waktu berjalan, dan seperti biasa: berbagai hal suka muncul bersamaan pada saat2 yang kurang tepat. Menjelang hari H kerjaan di kantor numpuknya gila-gilaan karena mau ada workshop tanggal 23-24-nya. Rencana mau beli permen nggak sempet2 karena gue keluar kantor pada saat toko udah tutup mulu, sementara mbak Doti udah menjalankan misi beli 15 tas sekolah yang dia tumpuk di kamar gue. Ternyata dia nggak hanya beli tas, di dalemnya dia taroin juga topi, ballpoint, dan dompet.
Puncaknya tanggal 21, niat beli permen lagi2 batal karena dengan spektakulernya gue baru keluar kantor jam 4 pagi!! Tanggal 22 gue bangun jam 1/2 9 lewat dengan panik karena permen sama sekali belum kebeli. Tanpa repot2 mandi dulu, gue langsung cabut ke Hero terdekat, dan langsung asal comot aja dari rak ke rak. Pokoknya tiap kali ada cemilan bergambar tokoh2 kartun gue comot, cemplungin ke keranjang belanjaan. Beres.
Sampe rumah, Nanin udah stand-by. Permen-permen langsung gue serahterimakan, dan Nanin langsung memasuk-masukkannya ke dalam tas sumbangan dari mbak Doti sambil ditontonin keenam keponakan gue.
Keluar dari kamar mandi, Nanin masih sibuk sementara keponakan-keponakan gue udah kena hardik salah satu kakak gue yang runner-up dalam soal kebawelan, mbak Wati.
“Heh, gimana sih kalian cuma nonton aja, bantuin dong tante Nanin! Make yourselves useful!”
“Make apaan tante Wati?” tanya salah satu keponakan gue yang kurang paham bahasa Inggris karena baru kelas 4 SD.
Jam 11 rombongan ibu-ibu pengajian berdatangan, sementara si oom yang punya prakarsa bilang anak-anaknya baru akan dateng sekitar jam 1 karena hari ini mereka masih pada ulangan. Jadi acara hari ini dibagi dua: jam 11-13 pengajian ibu2, jam 13 sampe selesai acara anak2.
Akhirnya jam 1 teng anak-anak dateng, didahului dengan oom Sigit sekitar 1 jam sebelumnya. Nanin udah senewen nanya-nanya mulu; “Jadi game-nya apaan nih gung?”
“Belum tau gue, ini lagi nyari ide. Apa lomba minum Aqua gelas aja ya? Tuh lagi banyak aqua gelas.”
Nanin langsung menunjukkan ekspresi =idih-garing-amat-sih-gamenya=
“Ya udah, punya ide lain?”
“Ini juga garing sih, tapi kayaknya mendingan daripada lomba minum Aqua. Gimana kalo game masukin paku ke dalam botol, seperti tujubelasan? Tuh, banyak botol kosong.”
Wah boleh juga. Cuma biar nggak kelamaan, gamenya gue modifikasi sedikit sehingga masukin pakunya secara berpasangan. Dua anak diiket pinggangnya pake tali kasur, baru kemudian di tengah-tengah tali itu diiketin paku. Jadi kan ada unsur teamworknya. Selain itu, cukup dengan menyediakan 4 botol kosong, 8 anak sekaligus bisa ikutan main.
Sedangkan ide game untuk 7 anak yang tersisa dateng dari salah satu game experiential training milik temen gue, namanya Helium Stick. Ini game rada susah untuk dideskripsikan. Intinya, melibatkan sebatang tongkat yang harus diletakkan sejumlah orang ke lantai, yang pada prakteknya si tongkat bukannya bergerak turun; tapi malah akan naik melulu – makanya game ini dinamain Helium Stick. Biasanya dipake di soft-skills training seperti leadership atau team-building training, salah satu kerjaan gue di masa lalu. Untuk tongkatnya gue pake gagang pel.
Acara dimulai, pak uztadz pemimpin rombongan langsung memimpin doa yang panjaaaang… Sambil berdoa gue perhatiin tampang-tampangnya anak2 itu. Rata-rata keliatan capek dan bosen banget. Ya iyalah, orang abis ulangan, otak lagi capek, belum sempet makan, eh disuruh berdoa panjang lebar untuk seorang oom gendut entah siapa yang katanya mau kawin ini.
Makanya begitu doa selesai, gue langsung menginstruksikan mereka untuk makan dulu, yang disambut dengan lega oleh mereka. Gue impressed banget, ternyata mereka sangat tertib. Makannya pada rapi nggak belepetan, dan selesai makan pada ngantri bawa piringnya sendiri-sendiri ke dapur. Bungkus-bungkus kue juga mereka kumpulin di plastik sampah, biar nggak berceceran. Padahal gue akan sangat maklum kalo ada sedikit makanan tumpah-tumpah dan piring berantakan seperti umunya anak2 kalo makan. Kayaknya keadaan telah menempa mereka untuk lebih berdisiplin ketimbang anak2 lainnya.
Selesai acara makan, gue muncul dengan bawa 1 kereta dorong berisi setumpuk tas hadiah, dan game dimulai. Nanin dan Sigit yang rata2 juga punya pengalaman ngebawain softskill training langsung beraksi, dan kedua game berjalan lancar. Saking lancarnya, kakak2 gue pada takjub ngeliat efek Helium Stick dan pada ikutan nyoba juga .
Pembagian hadiahnya basa-basi banget: berhubung hadiahnya sama semua, nggak ada juara 1, 2, atau 3. Pokoknya menang – kalah dapat hadiah! Dan merupakan suatu pengalaman yang mengesankan banget buat gue, mendengar seruan2 surprised mereka waktu buka tas hadiah masing2 dan nemuin berbagai benda di dalamnya…
Acara selesai sekitar jam 1/2 4-an dengan selamat, sukses tanpa sedikitpun acara sedih2an. They are my special guests, and deserved to be treated in a special way too.
Mission: Accomplished.
Epilog:
Unan, yang biasa bertugas ngepel rumah dateng sore-sore dan nampak bingung mondar-mandir sambil komat-kamit. Setelah diselidiki, ternyata dia kebingungan nyari gagang pel yang tadi siang sempet naik pangkat jadi Helium Stick… hehehe, gue lupa ngembaliin tu gagang ke tempat biasanya.
berarti gue bersyukur banget ya, udah diingatkan sama si oom…
hehehehe… jadi gak enak, sering banget minta doain ke orang-orang. terutama minta doain ke mama, papa, or abang-abang kalo lagi butuh banyak support…:)eniwei, tentang anak yatim itu… sebenernya Rasul pernah bilang, kalo makanan yang dilaknat adalah makanan di pesta-pesta pernikahan yang didalamnya hanya menyenangkan orang-orang berpunya saja. Sedangkan orang-orang yang terbiasa makan seadanya, fakit miskin, ataupun anak-anak yatim dilupakan. Padahal bisa jadi, orang-orang berpunya sudah terbiasa makan enak. Sedangkan kalo buat orang miskin dan anak yatim, makanan itu menjadi sangat istimewa. Jadi, kalo kata ustadz, kalo gak pengen makanan di acara pesta kita menjadi makanan yang terlaknat… harus mengikutsertakan orang-orang gak punya juga… gitu seh…
waaa… fotonya nggak ada. tukang fotonya rupanya ikutan terkesima melihat permainan itu. gini deh, gue coba jelasin lebih detil, mudah2an kebayang kaya apa. sebenernya ini game lebih seru kalo dimainkan oleh 2 kelompok, jadi perlu 2 tongkat. jumlah anggota per kelompok bebas, tergantung panjang tongkatnya. makin banyak makin seru. caranya: anggota kelompok berdiri berjajar, masing2 mengacungkan telunjuk secara mendatar, kurang lebih setinggi dada. punggung telunjuk (bagian yang ada kukunya) menghadap ke atas. setelah siap, tongkat diletakkan di atas jejeran telunjuk2 itu. sebelum mulai, pastikan seluruh telunjuk menempel pada tongkat. instruksinya: 1. letakkan tongkat di atas lantai, bagian tangan yang boleh menyentuh tongkat hanya punggung telunjuk (jd tongkat nggak boleh dipegang). 2. sampai posisi tongkat menyentuh lantai, seluruh telunjuk harus tetap menempel pada tongkat, nggak boleh ada yang lepas. 3. kalo dalam proses menurunkan tongkat ada telunjuk yang lepas, proses harus diulang dari awal lagi.poin 2 dari instruksi di atas lah yang menyebabkan tongkat jadi kayak bebas gravitasi. karena setiap anggota kelompok jadi takut jarinya lepas dari tongkat, maka secara nggak sadar dia justru akan menggerakkan jarinya ke atas (naik) bukannya turun! dan kalo ada satu aja anggota kelompok yang menggerakkan tongkat sedikit naik, maka secara refleks anggota kelompok yang lain akan berusaha’mengejar’ naik yang akibatnya tongkat malah akan mumbul makin tinggi lagi. lucu ngeliat ekspresi para peserta yang keheranan kenapa tuh tongkat bukannya turun malah naik2 mulu.
Setuju bgt soal ” ga usah nodong doa”itu…perkara doa sih ga usah disuruh / ditodong,tergantung kesadaran dan kemauan mereka aja.Dengan membuka ‘Chapter sedih mereka’ ga menjamin mereka mau berdoa dgn tulus hehhehe..
Fotonya permainan ini dong Gung. Gw soalnya Jendral Maen di keluarga gw. Ponakan2 gw selalu nodong gw untuk bikin permaenan klo pas mereka nginep di rumah gw.
uhuuuuu….terharoooooo akooooo….
amin..amin ya allah..:-))))
spt biasa ….epilognya bikin gue senyum-senyum stlh terharu baca yg atas-atas …membahagiakan anak yatim itu, gede banget pahalanya.tanpa dimintapun, insya Allah mereka akan mendoakan agar tgl 3 Juli nanti, lancar dan berkah.
Bagi gw, apa yang udah mas Agung buat adalah suatu perbuatan yang mulia. Karena menurut ajaran keimanan gw, kalo kita memberkati orang, kita juga akan diberkati dengan berlipat sama Tuhan.Salut buat mas Agung dan mbak Doti.ES
Mas..di-doakan oleh anak yatim lebih mutajab doanya mas, katanya.Mengenai cerita, kadang perlu juga kita mendengar yang minus2. Daripada mendengar yang plus2. Tetapi memang kalau di exploitir jadi enggak bagus. Tetapi karena pernah berkecimpung di suatu yayasan (sebentar aja), jadi tahu kadang kita perlu bercerita/menceritakan apa yang terjadi pada mereka kepada khalayak umum agar kita bisa mendapatkan donor untuk mereka2 itu setelah mereka membaca/mendengar cerita2 mereka. Mohon maaf kalau tidak berkenan dengan kata2 saya.wass. wr. wb.
Gak aneh sama sekali kok ^__^Nabi mulia bahkan meminta setiap keluarga Muslim menggembirakan mereka dengan menjadi ayah dan ibu dari (minimal) 1 anak yatim.