Goodybag Gedebug

rafi dasi

Sebenernya udah ingin nulis posting yang ini sejak 4 tahun lalu*, tapi ternyata… prokrastinasi kadang mencapai tingkat yang nggak terduga.

Waktu itu tahun 2011. Rafi masih TK. Seperti biasa, tugas gue setiap hari Sabtu siang adalah naik sepeda menjemput Rafi di sekolah. Nggak terlalu jauh sih, cuma sekitar 800 meter.

Sesampainya di sekolah Rafi…

“Ayo Bapak, kita ke KFC,” kata Rafi.

“Loh, kok ke KFC? Kita pulang, makan di rumah!”

“Temenku ada yang ulang tahun, Bapak. Ini undangannya.”

Sempet terpikir untuk pulang dulu naro sepeda, baru naik bajaj ke KFC. Tapi.. ah, KFC-nya nggak terlalu jauh kok. Cuma sekitar 1,5 KM dari sekolah. Apa sih susahnya genjot boncengin bocah seberat 26 kilo sejauh itu?

[BELAKANGAN GUE SADARI INI ADALAH SEBUAH KESALAHAN FATAL]

Maka pergilah gue mengantar anak kecil keriting dari sekolah menuju KFC. Sampe sana, yah acaranya standar seperti umunya ulang tahunan anak TK, ada MC garing membawakan permainan, anak nangis karena kalah permainan, ibu-ibu sewot karena anaknya nangis, dan tentunya diakhiri dengan foto bersama Badut Chaki. Gue suntuk di pojokan sambil mainan ponsel, sesekali menjawab pertanyaan ibu-ibu, “Mamanya Rafi nggak ikut?”

“Enggak, lagi acara Oriflame.”

“Oh…”

Tentunya nggak setiap kali Ida nggak hadir dia beneran lagi acara Oriflame, tapi itung-itung branding, lah.

Setelah gue nyaris cari warung untuk beli silet karena jenggotan kelamaan nunggu, acara usai. Gue mengajak Rafi pamitan dengan ibu Sang Bocah yang berulang tahun.

“Terima kasih ya, ini goodybag-nya,” kata ibu itu.

Gue syok.

Zaman gue masih TK dan SD, kalo dateng ke ulang tahun temen suka dapet goodybag yang saat itu masih disebut zakjes (mudah-mudahan nulisnya bener), istilah bahasa Belanda yang artinya kantong/pundi. Isinya seputar permen Chuppa-Chups, coklat Smarties, kue segede kancing yang atasnya dihiasi gula warna-warni, wafer Superman yang masih bermerk Superman, belum jadi Superstar akibat menghindari tuntutan hak cipta, susu Ultra atau minuman jus jeruk yang gue udah lupa merknya. Kalo yang ulang tahun anaknya eksis banget, kadang dapet beberapa batang pensil, rautan dan penghapus (yang tentunya saat itu masih disebut setip).

Sedangkan goodybag dari temennya Rafi ini berisi:

  1. Balmut (bantal selimut, yaitu selimut yang bisa digulung menjadi bantal. Sebuah konsep yang aneh sebenernya, karena nggak menyelesaikan masalah bila pemakainya ingin tidur menggunakan bantal DAN selimut sekaligus )
  2. Dingklik kayu

“Wow, keren sekali goodybag-nya,” kata gue yang dalam hati berkata ‘syit gimana cara bawanya dengan naik sepeda’. “Tapi apa sudah kebagian semua? Nggak papa kok kalo mau dikasih ke yang lain dulu, soalnya Rafi kalo tidur juga jarang pake selimut…” kata gue berusaha menghindari tugas menenteng benda-benda itu sambil naik sepeda.

“Oh, udah kebagian semua kok, malah lebih ini,” kata ibunya yang ulang tahun ramah.

Hadeh.

Sekedar informasi, sepeda yang gue pake ngeboncengin Rafi punya sadel tambahan di batang tengahnya. Jadi Rafi duduk di depan gue, supaya lebih aman. Tanpa harus membawa goodybag, kondisi udah cukup penuh sesak karena Rafi juga membawa ransel sekolahnya yang cukup gede. Pertanyaan: goodybag-nya harus ditaro di mana?

sepeda boncengan depan
seperti ini sepedanya

Kalo ditaro di boncengan belakang, gue nggak bawa tali untuk ngiket. Pasti jatuh. Ditenteng? Artinya gue pegang stang cuma dengan satu tangan. Bahaya.

“Rafi, apakah Rafi benar-benar menginginkan benda-benda ini? Barangkali Rafi bisa memilih satu saja, sementara satunya bisa kita hadiahkan kepada anak kecil yang jualan rokok itu, dia pasti senang,” gue mencoba bernegosiasi.

“Nggak mau Bapak, aku mau goodybag,” kata Rafi.

Negosiasi gagal.

Maka ini yang gue lakukan:

  1. Ransel Rafi gue pasang di dadanya.
  2. Rafi gue suruh duduk di tempatnya, di sadel depan.
  3. Balmut gue selipin di antara kedua pahanya.
  4. Plastik berisi dingklik gue cantolin di stang

“Sempit, Bapak,” kata Rafi mulai protes.

“Ya udah, Bapak kasih ke Tukang Bajaj ya, selimutnya?”

“Jangan!”

Maka di tengah panas terik siang hari Jakarta, gue berusaha menjaga keseimbangan sepeda yang sedang membawa beban melebihi kapasitas angkut. Dan saat itu gue baru sadar: dari KFC menuju rumah jalannya nanjak. Dan di setiap kayuhan, dengkul gue harus kepentok dingklik.

Hhh.

“Bapak, cepetan dong genjotnya, aku kepanasan,” kata Rafi otoriter.

“Boleh, tapi Bapak buang nih goodybag-nya.”

“Jangan!”

Sejengkal demi sejengkal kami semakin mendekati rumah, hingga menjelang 500 meter terakhir terdengar suara, “Kreeek…”

Plastik berisi dingklik robek! Hanya tersisa seutas plastik tipis yang mempertahankan benda itu tetap bergantung di stang.

“Rafi, pegangin ini kursinya, dia mau jatuh!” kata gue.

“Berat, Bapak.”

“Bapak buang aja ya?”

“Jangan!”

Semakin lama, plastik semakin mengkhawatirkan. Tersisa 400 meter, 300 meter, 200 meter…

Di 100 meter terakhir, plastik dingklik udah putus sama sekali. Rafi masih berusaha megangin.

“Pegang yang bener ya Rafi, kalo enggak dia akan jatuh,” kata gue.

“Iya, Bapak…” Nadanya terdengar kurang antusias.

Sisa 50 meter… 40 meter… 30 meter… 10 meter… Yak, akhirnya sampe depan rumah!

“Hore, sampe! Ayo Rafi, turun,” kata gue.

“Iya, Bapak,” kata Rafi. Dia beringsut turun, dan… lupa megangin plastik dingklik. Bruuuk! Dingkliknya jatuh. Dan bukan cuma jatuh. Patah juga.

“Yah, Rafi… kursinya patah!” kata gue, khawatir Rafi akan kecewa berat.

“Oh ya udah, kalau begitu kita buang saja, Bapak.”

[[[KALO EMANG PAS PATAH REAKSINYA NYANTAI GINI, KENAPA NGGAK DARI TADI AJA KITA BUANG]]]

Pesan moral: kalo nganter anak ke ulang tahun temennya, jangan pernah naik sepeda.

Sekian.

*Jejak niat gue bisa ditelusuri di review film yang ini

Foto: Rafi, kecapean sepulang sekolah, ketiduran tanpa sempet copot dasi seragam

30 comments


    1. Kan jaraknya lumayan, sekitar 1,5 KM, di siang hari yang panas. Rafi belum kuat jalan sejauh itu di tengah panas. Kalo Rafi disuruh duduk di sepeda dan sepeda dituntun, sama aja, malah tambah berat dan tambah lama sampenya


    2. Sekarang udah kelas 3. Tetep males jalan kaki sih, tapi sekarang kalo dia males, Bapaknya lebih tega ngancem


    3. Kasian Rafiii… hehe
      Ngga dikasih sepedah saja buat ke sekolah..?? Atau jalanannya ngga terlalu aman buat anak kecil pergi pakai sepedah..??


    4. Belum bisa naik sepeda dia, dan belum punya sepeda yang ukurannya sesuai sih. Adanya sepeda waktu dia masih balita, kekecilan. Plus jalannya juga terlalu rame untuk anak2.


    1. Itu bukan ngancem kok, itu sekedar negosiasi transaksional, kalo mau cepet, beban harus dikurangi, gitu…
      *siul-siul


    1. Kalo temen-temennya Rafi emang keren-keren goodybagnya, pernah ada yang ngasih ransel beroda segala.
      Rafi doang yang goodybagnya masih nasi kuning dibentuk angry birds.

Tinggalkan Balasan