Reputasi Orangtua di Tangan Anak

“Setiap orang bertanggung jawab atas reputasinya sendiri.”

Dulunya gue sangat percaya akan hal tersebut. Sampai tiba saatnya gue punya anak. Terutama saat si anak mulai masuk sekolah.

Satu hal yang cukup membuat gue dan Ida khawatir saat membiarkan rafi berinteraksi dengan khalayak ramai adalah: nafsu makannya. Untuk urusan makan, anak ini memang tergolong sulit… maksudnya kalau udah mulai makan sulit berhenti. Tanda-tanda ke arah ini udah muncul saat dia baru berusia 7 bulan. Waktu itu situasinya kami lagi ditraktir salah satu orangtua murid waktu Ida masih jadi guru TK, dan kebetulan kami lagi membawa si gembul berambut jarang yang satu ini.

Memang waktu itu jam makannya udah rada kelewat, dan rupanya dia udah lapar berat. Saat nasi hainam pesanannya terhidang, dia mulai nampak beringas mengendus aromanya. Keberingasannya meningkat saat Rafi menilai ibunya terlalu lama saat menghaluskan butir-butir nasi di mangkoknya, dan mulailah dia beraksi dengan berteriak-teriak, “MA-AM! MA-AM! AAAH! MA-AM!” sambil memukul-mukul meja pake sendok.
“Aduh, lucunya si adek, udah lapar banget ya?” kata orangtua murid sambil tersenyum ramah.
“Iya kayaknya nih, maaf ya mommy, dia ini memang kalau sudah lapar jadi (buas) begini,” jawab Ida setengah tengsin.
“Nggak papa ya dek, ya… namanya juga orang lapar…”
“AAAARGHHHH!! MA-AM!”

Alhasil acara makan siang kali itu jadi salah satu acara makan siang yang cukup memalukan, berakhir dengan butir-butir nasi hainam berceceran di seantero muka dan rambut Rafi. Saat semangkok nasi hainam ludes disikat, dia masih menggapai-gapai mangkok es campur yang lagi diminum ibunya dengan tampang penuh minat.

Seiring dengan pertambahan umur Rafi, nafsu makannya makin menggila. Untungnya dia suka bergerak, jadi untuk mengimbanginya kami membiasakan Rafi untuk berolah raga setiap pagi berupa bersepeda naik-turun tanjakan depan rumah sampe keringetan. Cuma menjelang dia masuk sekolah, gue dan Ida semakin kuatir, “gimana kalo anak ini nanti menggeragas di sekolah dan membajak bekal teman-temannya?”

Untuk mengantisipasi insiden memalukan tersebut, sejak jauh-jauh hari kami mengindoktrinasi Rafi soal adab memakan bekal di sekolah.
“Rafi, sebentar lagi Rafi kan mau sekolah, ya kan?”
“Iya! Di TK Aisiyah!”
“Nah, nanti kalau Rafi pergi ke sekolah, bunda akan bawain Rafi bekal makanan untuk dimakan di sekolah ya! Inget lho, di sekolah nanti Rafi makan makanannya sendiri, nggak boleh makan makanan temannya ya!”
“Kenapa?”
“Sebab kasihan kan, temannya nanti nggak punya makanan, kalau dia lapar gimana? Ingat ya, di sekolah, Rafi makan makanan Rafi sendiri. Oke?”
“OK sip!”

Pesan ini kami ulang-ulang dalam setiap kesempatan, misalnya…
“Rafi, nama lengkapnya siapa?”
“Nadiv Rafi Nugroho!”
“Kalau di sekolah makan apa?”
“Makanannya sendiri!”

Diselipkan juga dalam sesi dongeng menjelang tidur…
“Bapak, mau diceritain Barney dong…”
“OK. Pada suatu hari, si Barney pergi sekolah di TK Aisiyah dan di sekolah BARNEY MAKAN MAKANANNYA SENDIRI DAN TIDAK MAKAN MAKANAN TEMANNYA….

Sampai akhirnya tiba saatnya Rafi bersekolah untuk pertama kali. Dengan harap-harap cemas kami melepas dia berinteraksi dengan teman-temannya, dan hal pertama yang ditanyakan Ida kepada ibu gurunya adalah, “Apakah Rafi merampok makanan temannya?”
Huff… syukurlah, di minggu pertama dan ke dua, doktrin-doktrin kami nampaknya berhasil mengerem nafsu nggeragas Rafi walaupun kalau diamati dia nampak sangat berminat pada bekal yang dibawa teman-temannya. Biasalah, bekal tetangga selalu nampak lebih menggiurkan, bukan?

Sampai akhirnya terjadilah saat yang dikuatirkan itu…. di minggu ke tiga, Ida disambut oleh ibu guru Rafi di akhir jam sekolah dengan laporan, “Ibu, ini lho, tadi Rafi BERBAGI MAKANAN dengan temannya…” Tentu saja istilah ‘berbagi makanan’ sekedar penghalusan dari peristiwa sebenarnya, yaitu ngerampok. Nggak lama kemudian muncullah Rafi dari dalam kelas, jalan berlenggang kangkung dengan tangan kanan dan kiri menggenggam kentang goreng… padahal jelas-jelas Ida nggak membawakan bekal kentang goreng hari itu.
“Rafi! Heh, Rafi kok ambil makanan temannya? Inget nggak, bunda bilang apa, Rafi makan makanannya sendiri!”
Dibilangin gitu Rafi cuma senyam-senyum tanpa rasa bersalah. Faktanya memang bener sih, dia makan makanannya sendiri sampe habis, tapi sesudahnya dia merasa nggak ada salahnya mencicipi makanan orang lain juga.

Karena merasa kebiasaan ini bisa jadi kebiasaan yang buruk yang memalukan kalau dibiarkan, Ida mencoba berdialog dengan Rafi, “Rafi, denger ya. Bunda kan udah bilang, Rafi makan makanannya sendiri, tidak ambil makanan teman. Sekarang, kentang goreng ini Rafi ambil dari siapa?”
“Temen.”
“Siapa namanya?”
“Nggak punya nama.”
“Yang mana temennya?”
“Itu.” kata Rafi sambil menunjuk salah satu temannya yang lewat.
“Ya udah, sekarang Rafi bilang terima kasih sama dia, dan besok-besok tidak ambil makanannya lagi, ya!”
“Terima kasih, teman!” kata Rafi.

Tapi satu hari yang paling memalukan dalam konteks Rafi dan bekal makanan adalah, ketika hari itu pesanan kue Ida lagi numpuk dan Ida lagi nggak sempet siapin bekal untuk Rafi. Maka hari itu Ida membawakan tempat makanan kosong buat Rafi, sambil berpesan, “Rafi, ini tempat makannya masih kosong, Rafi bawa dulu ya. Nanti sesudah bunda anter Rafi ke sekolah, bunda pergi dulu sebentar beli makanan buat Rafi, ya?”
“Iya, bunda…” jawab Rafi manis.

Setelah mengantar Rafi ke sekolah, Ida bergegas ke toko kue terdekat untuk beli cemilan ala kadarnya buat Rafi. Abis itu dia buru-buru balik ke sekolah, dan… lho, kok tempat makan Rafi udah tercecer di luar tasnya?

Dengan ngeri Ida membayangkan yang terburuk dan firasatnya benar…. salah satu orangtua murid yang menunggui di depan kelas melaporkan sambil cekikikan geli, “Bunda, itu lho si Rafi tadi lari-lari di depan kelas sambil bawa-bawa tempat makannya dan teriak-teriak, ‘INI LHOOOO TEMPAT MAKANKU KOSONG! TEMPAT MAKANKU KOSONG! AKU NGGAK PUNYA MAKANAN! TEMPAT MAKANKU KOSOOOOOONGGGGG!!!’

Pelajaran yang gue petik sejak menjadi orangtua adalah, “Setiap orangtua, suka nggak suka, akan turut menanggung reputasi yang diciptakan oleh anaknya…”

54 comments


  1. hahahahahahahaaha…..suka ngiri deh sama anak yg selera makannya bagus kek Rafi gituoya, masukan aja mungkin ntar sebaiknya pas SD Rafi dicariin SD yg SPP-nya sudah termasuk makan siangaku tuh justru ngerasa rugi deh bayar SPP Iyog yg udah termasuk makan siang dan snack karena dia seringkali gak mau makan jatah makan siang dan snacknya ..ckckckck


  2. hihihhihi, gak salah emang kalo anak tukang kue…..mungkin di banyakin aja prosi bekelnya dan pastikan kotaknya jangan sampai kosong ? hehehehesementara saya lagi mengajari anak-anak untuk tidak tampak “mupeng” kalo kasih makanan di rumah orang… pusing….


  3. Bwahahaha.. Rafiii.. nggemesin ni anak.. gimana kalo jatah bekalnya ditambahin Gung? ato dihiasin yg lucu2.. Ida bisa browse “bento box”nya temen2 MP lho… Kalo Dante kecil dulu, charming, jadi temen2 cewek selalu ngasih bagiannya.. hihihi.. kali Rafi juga gitu Gung.. ga usah khawatirlah… enjoy it!


  4. kucingkumeong said: Dibilangin aja kalo makanan temannya gak enak. Yang enak makanannya sendiri. Tapi apa rafi ngerti mana yg enak ato gak enak yah. . . . .jangan2 baginya semua makanan enak. . .hehehe jadi semuanya masuk ke perut. . . .piss ah

    halah, kalo didoktrin begini bisa timbul masalah baru, yaitu ntar tau2 dia bilang ke temennya (atau gawatnya, ke ibunya temennya),”eh kasihan ya, makanan kamu pasti nggak enak, nggak kayak makananku, enak…”bisa memicu perang dingin antar orangtua murid :-p


  5. mbot said: mungkin dua-duanya Ima. Tapi yang mengkhawatirkan kami adalah, kalo menilik perilakunya jangan-jangan dia dikira kurang dikasih makan di rumah… trus nanti diomongin orang, ‘kasihan ya, orangtuanya pembuat kue, anaknya kayaknya jarang makan enak…’

    tar orang2 jadi berpikir 1000 kali untuk membeli kue dari mbak Ida? 🙂


  6. mbot said: agak ketinggian sih sebenernya… hehehe… anak ini nggak kenal takut, sekalipun lagi berhadapan sama orang yang belum dikenal

    “mendidik” anak pintar juga sulit :)tapi kalau lihat Rafi (dari cerita cerita eu tulisanmu), kayaknya dia ok ok saja.


  7. agneswollny said: masih kecil, pelan2 diberitahu, pasti Rafi nurut kog.*lucu banget anakmu … dan “p.d” ya … ada baiknya juga lho punya anak yg percaya dirinya “tinggi” (atau besar ya ?)

    agak ketinggian sih sebenernya… hehehe… anak ini nggak kenal takut, sekalipun lagi berhadapan sama orang yang belum dikenal


  8. mbot said: yang mengkhawatirkan kami adalah, kalo menilik perilakunya jangan-jangan dia dikira kurang dikasih makan di rumah… trus nanti diomongin orang, ‘kasihan ya, orangtuanya pembuat kue, anaknya kayaknya jarang makan enak…’

    Ah, gak bakalan lah Mas, kan Rafi gemuk sehat gitu 🙂 Aku kalo gak kenal keluarga Mas, gak bakalan berpikiran yg spt itu kok :-DHehehe, paling jangan sampe Ida / Mba asisten lupa lagi, biar gak terulang :-DLagian, Rafi masih kecil Mas, nanti juga dia ngerti kok 🙂


  9. imazahra said: Hihihihihi, ya Allah Mas 🙂 Lucu-lucu gimana gitu baca jurnal ini :-pTapi, Rafi kuat makannya krn sedang dalam masa pertumbuhan bukan? Atau krn setiap hari liat ibunya bikin kue2 enak terus dan selalu ada makanan tersedia?

    mungkin dua-duanya Ima. Tapi yang mengkhawatirkan kami adalah, kalo menilik perilakunya jangan-jangan dia dikira kurang dikasih makan di rumah… trus nanti diomongin orang, ‘kasihan ya, orangtuanya pembuat kue, anaknya kayaknya jarang makan enak…’


  10. Hihihihihi, ya Allah Mas 🙂 Lucu-lucu gimana gitu baca jurnal ini :-pTapi, Rafi kuat makannya krn sedang dalam masa pertumbuhan bukan? Atau krn setiap hari liat ibunya bikin kue2 enak terus dan selalu ada makanan tersedia?