Film, seperti halnya karya-karya seni lainnya, pada dasarnya adalah media penyampaian pesan dari sutradara kepada penonton. Yang kemudian membedakan satu sutradara dengan sutradara lainnya adalah cara yang mereka pilih untuk menyampaikan pesan tersebut.
Misalnya, pesan yang mau disampaikan adalah “Si Kancil Anak Nakal, Suka Mencuri Ketimun”.
Sutradara A mungkin memilih pendekatan:
Pemandangan kebun ketimun. Ada papan bertuliskan “DILARANG MENCURI KETIMUN SAYA. TTD, PAK TANI.” Kancil memanjat pagar, lantas menghilang. Sesaat kemudian muncul lagi sambil memanggul sekarung ketimun. Di kejauhan terdengar suara Pak Tani, “Dasar Si Kancil sialaaan…!”
Sedangkan Sutradara B menggambarkan pesan yang sama dengan cara:
Kamar berantakan. Si Kancil baru bangun, lalu buru-buru keluar. Terdengar suara ibu-ibu, “Kanciiill… hayo kamarnya diberesin dulu!”. Si Kancil nggak merespon. Adegan berikutnya, Si Kancil lagi jalan melenggang sambil ngunyah ketimun. Temennya negur, “Hei, dapet ketimun dari mana lu?” Si Kancil menjawab, “Biasa, nyolong.”
atau, seorang Sutradara Sinetron mungkin akan membuat adegan seperti ini:
Si Kancil mengendap-endap di kebun ketimun. Dia berhenti, lalu muncul voice over suaranya sendiri, “Hari ini aku akan kembali mencuri ketimun Pak Tani, sebagaimana yang selalu aku lakukan setiap hari. Semoga aku tidak ketahuan.” Setelah itu Si Kancil memasukkan ketimun ke dalam karung, lalu kabur. Tidak lama kemudian muncul Pak Tani. Ia kaget melihat ketimunnya sudah ludes. Kamera zoom in – zoom out ke mukanya, sekitar 6 kali. Setelah itu Pak Tani berteriak, “Dasar Kancil sialaaan!” – suaranya pake efek gema.
Poin gue adalah: untuk menyampaikan sebuah pesan yang sama, sutradara bisa menggunakan cara yang berbeda-beda. Sebuah film mungkin punya pesan yang sederhana, tapi dengan cara penyampaian yang berbeda maka dia akan menjadi sesuatu yang sama sekali baru.
Kalau dilihat tema dasarnya, film ini sangat biasa: percintaan remaja. Itu tema biasa yang mungkin udah empuk saking seringnya digodok berbagai sutradara selama ini. Tapi di tangan sutradara Mouly Surya, tema ini menjadi luar biasa karena 2 hal:
- Tokoh-tokohnya, yaitu siswa-siswa sekolah menengah penyandang cacat tuna netra, penglihatan terbatas, dan tuna rungu
- Proses penceritaan yang nggak terlalu verbal dan mencoba mengambil sudut pandang tokoh-tokohnya
Maksud gue gini:
Bayangin adegan sinetron, yang tokohnya lagi memendam dendam sendirian kepada tokoh lain. Maka tokoh itu akan berdiri menghadap kamera, mukanya disorot close-up full, dahi berkerut, ekspresi garang, terus terdengar voice over, “Awas, akan kubalas dia!”
Dengan cara itu sutradara seolah mau menjejali penonton dengan informasi bahwa “Hei, tokoh ini lagi marah besar lhooo…!”
Film ini justru sangat nggak begitu.
Adegan-adegan bermunculan, dialog-dialognya biasa, tapi sebenernya mengajak penonton untuk ikut merasa apa yang dirasakan para tokoh. Dengan tokoh-tokoh yang tuna netra dan berpenglihatan terbatas, maka ekspresi yang mereka tampilkan juga sangat minim. Tapi hebatnya, tetap terasa apa yang mereka rasa.
Contohnya waktu tokoh Diana (diperankan Karina Salim – yang di film ini nampak sangat segar menggemaskan seperti lalapan sawi hijau) diam-diam naksir temen sekelasnya. Maka seperti layaknya gadis-gadis ABG, dia mulai berusaha menarik perhatian si cowok, dan mulai bertindak irasional: menyisir rambutnya lebih serius dari biasanya, padahal cowok taksirannya tuna netra!
Atau coba deh serap dan simak gimana cara film ini menggambarkan Edo (Nicholas Saputra) yang diem-diem naksir sama Fitri (Ayusitha Nugraha) dan cemburu ngelihat Fitri pacaran. Nggak ada kata-kata romantis (karena Edo tuna rungu dan tuna wicara) juga nggak ada tatap-tatapan mesra ala film Twilight (karena Fitri tuna netra total).
Di twitter ada yang nanya sama gue, apakah film ini absurd? Maka gue bisa bilang, enggak. Cuma cara penceritaannya berbeda. Kalo selama ini kita terbiasa dengan gaya penceritaan film yang naratif, yang segala-galanya dijabarkan gamblang di depan layar, maka film ini mengajak kita mengasah kepekaan menangkap apa yang sedang disampaikan tokoh-toko di layar – suatu hal yang sangat tergantung pada kemampuan para aktor membawakan perannya. Untungnya, mereka semua berhasil. Sedikit pesan untuk yang nonton film ini dengan niat mau lihat kegantengan Nicholas Saputra, siap-siap aja ya, di sini dia jadi anak punk dengan dandanan aneh banget. Ayusitha Nugraha yang terakhir gue tau main film lucu-lucuan Me Vs. High Heels di sini tampil meyakinkan dan cukup ‘berani’ khususnya di adegan kolam renang

Akhirnya, apa sih yang nggak diomongin orang waktu mereka ngomongin tentang cinta? Bisa jadi, kata ‘cinta’ itu sendiri. Karena film ini membuktikan bahwa cinta tetap akan terasa walau nggak terucap.
…saelah.
Buat yang mau nonton, buruan, film ini tinggal tayang di beberapa layar doang lho!
Behind the scene “What They don’t Talk about When They Talk about Love”
Kemarin cek tinggal di blok m Square. Dimana pula ituuuuu
itu mantan lokasinya aldiron plaza, di tengah-tengahnya blok m, nggak jauh dari terminal kok
aku suka pelem iniiiiiiiiii…
Sip!
eh ada subtitlenya pun.. tfs mbot..
Sama2
itu kayaknya pertanyaan saya ya? absurd.
mungkin masalah selera teman yang menonton sih ya. pengin nonton tapi kayaknya di bioskop sini gak ada.
Kayaknya Ayushita setelah Me Vs High Heels itu ikut filmnya BBB yang gak jelas itu, Mas..
Oh berarti udah 3 film yang dia bintangi ya. Aktingnya meyakinkan di film ini, nggak kalah sama yang jam terbangnya udah banyak
dan kenapa film-film yang punya pesan tersirat harus cepat turun dibandingkan dengan film yang gitu dehhh..huhuhuhuhu
Rilisnya pun kurang menguntungkan: film Indonesia Kamis, film barat Jumat. Orang lebih banyak nonton hari Jumat kan.