job value: solusi keadilan untuk tukang kebunnya tukang ikan

Published by

on


“Kantor sialan, gue udah kerja 5 tahun, nggak pernah naik pangkat. Sedangkan si Bedul, baru 2 tahun jadi staff, tau-tau sekarang udah manager aja. Pasti ini ada permainan!”

Pernah denger curhat kaya gitu? Atau elu sendiri yang pernah ngomel begitu? Kalo iya, kemungkinan elu sedang berhadapan dengan hasil utak-atik sistem yang namanya “job value”.



Apa itu job value?

Kalo diterjemahkan secara ‘plek’, job value ya artinya ‘nilai / bobot pekerjaan’. Job value adalah besaran angka yang menggambarkan nilai suatu jabatan / pekerjaan. Makin besar angkanya, maka makin “berat” pekerjaannya – dan biasanya gajinya juga makin gede.

Kenapa perusahaan merasa perlu menghitung job value?

Terus terang gue juga nggak punya data sejak kapan ada perusahaan menerapkan job value dan mengapa, tapi sebagai ilustrasi kasus berikut mungkin bisa menjadi gambaran:

Pak Somad adalah seorang nelayan. Dia bekerja sendirian, menangkap ikan dengan jaring milik sendiri, naik perahunya sendiri. Setiap hari, rata-rata dia bisa menangkap 50 ikan, yang per ekornya laku dijual seharga Rp 1.000.

Karena rajin menabung, Pak Somad akhirnya punya cukup uang untuk beli satu set jaring baru dan sebuah kapal baru. Tapi berhubung dia nggak mungkin melaut sendirian naik 2 kapal, maka dia lantas mengontak si Sanip, pemuda tetangganya yang masih nganggur dan tiap hari cuma nongkrong main gaple di pos ronda.

Pak Somad bilang sama Sanip, “Nip, lu mau nggak jalanin kapal gue, nangkap ikan? Nanti lu gue bayar Rp. 300 per ikan yang lu tangkep. Mau?”
“Boleh dah Bang,” jawab Sanip.

Maka keesokan harinya, Pak Somad dan Sanip sama-sama melaut, dan sesudahnya hitung-hitungan hasil tangkapan. Sanip dapat Rp 300 per ikan. Tapi berhubung sekarang ikannya jadi dua kali lebih banyak, Pak Somad mulai kerepotan untuk mengangkut dan menjualnya di pasar. Maka dia pun mengontak si Jujum, teman main gaplenya si Sanip.

Pak Somad bilang sama Jujum, “Jum, lu mau gak bantuin jual ikan gue di pasar? Nanti dari setiap ikan yang laku terjual, lu gue bayar Rp 200. Mau?”
“Delapan enam, boss,” kata si Jujum.

Demikianlah bisnis Pak Somad terus berkembang. Dia dan Sanip menangkap ikan, ikannya dijual di pasar oleh Jujum. Uangnya semakin banyak, sehingga Pak Somad membeli lagi kapal-kapal baru dan merekrut lebih banyak lagi tenaga ‘sales’ untuk mengangkut dan menjual ikan di pasar.

Karena tergiur melihat kesuksesan Pak Somad, maka tetangganya yang lain ikut-ikutan jadi nelayan dan sialnya buka kios ikan persis di sebelah kios Pak Somad.

Pada suatu sore, sambil menyetorkan beberapa lembar duit lima ribuan lecek, Jujum yang saat itu sudah naik pangkat menjadi ‘Sales Supervisor’ lapor dengan nada lesu pada Pak Somad, “Boss, sori nih boss, hasil penjualan hari ini cuma 20 ribu. Pelanggan pada lari ke kios ikan sebelah, punya Pak Gofur.”
“Apa?! Sialan si Gofur! Kenapa sih kok pelanggan bisa lari ke kios dia?”
“Soalnya dia punya tukang teriak boss. Tiap hari tuh orang nongkrong di depan kios Pak Gofur, terus teriak deh, ‘ikannya ikaaan, masih baru masih seger!’. Ya kontan aja para pembeli pada demen belok ke sono, boss….”
“Ya udah kalo gitu. Gue juga bisa bayar tukang teriak doang,” jawab Pak Somad emosi.

Dia lantas menghubungi Suep, bintang rock langganan panggung tujubelasan, untuk bertugas sebagai ‘Marketing and Promotion Executive’ alias tukang teriak nawarin ikan. Suep bersedia dengan bayaran Rp. 4.000 per hari.

Belajar dari pengalaman, Pak Somad nggak mau lagi kalah set lagi dari kompetitor. Dia mengambil langkah lebih maju dengan meng-hire Ceu Neneng sebagai ‘Guest Relationship Officer’ yang tugasnya menyambut tamu dan membantu memilihkan ikan. Gajinya Rp. 2.500 per hari. Selain itu Pak Somad juga memenuhi usulan Sanip, yang sekarang sudah menjabat sebagai ‘Production Supervisor’ untuk meng-hire Jambrong sebagai ‘Safety and Equipment Officer’. Tugasnya menjahit jaring robek dan menambal kapal bocor, dengan bayaran Rp. 3.500 per hari.

Usaha Pak Somad terus maju, hingga pada akhirnya dia bersedia menyisihkan sebagian dana untuk mengadakan acara ‘Employee Gathering and Outbond’ di Ciater. Sesudah acara bersenang-senang seharian, para pegawai duduk-duduk sambil makan jagung bakar di sekeliling api unggun dan ngobrol ngalor ngidul.

Awalnya cuma pada ngobrol santai, sampai akhirnya Suep nyeletuk kepada Ceu Neneng, “Ceu, elu enak bener jadi orang ye. Kerjanya Cuma cengar-cengir doang sama tamu, dapet bayaran.”
Denger komentar seperti itu, Ceu Neneng panas. “Eh, jangan sembarangan lu ngomong ye. Lu kira kerjaan gue gampang? Gue kerja pake otak, tau, biar bisa ngebujukin pelanggan beli ikan. Lah timbang elu, cuma modal teriak doang dapet duit. Duitnya lebih gede, lagi! Padahal kan orang mau beli ikan gara-gara bujukan gue, bukan karena dengerin teriakan lo yang sember banget itu!”
“Pada berisik lu semua,” Jambrong menimpali. “Kalo bukan karena gue, tuh kapal kagak ada yang turun ke laut. Kapal nggak ke laut, kagak ada ikan yang dijual, pada pengangguran lu semuanya! Harusnya gue tuh yang bayarannya paling gede!”
“Ngomong lu sama ember!”
“Lah sama aja kan. Muke lu dah mirip ember. Amis, lagi… bekas naro ikan!”
“Ngaca lo, muka lo ruwet kaya jaring!”

Acara gathering berantakan, dan Pak Somad pusing. Masalahnya, tidak semua pekerjaan bisa dihitung-hitung nilainya secara mudah. Kalo tugasnya nangkap ikan seperti Sanip, maka hitungannya gampang: Rp. 300 per ikan, kalau nangkap 10 ya dapatnya Rp. 3.000, kalau nangkapnya 100 ya gajinya Rp. 30.000 dan seterusnya. Jelas.

Tapi untuk menentukan mengapa tukang teriak dibayar Rp. 4.000 dan tukang sambut tamu Rp. 2.500 sedangkan tukang reparasi kapal Rp. 3.500, perlu perhitungan yang sedikit lebih ruwet. Di sinilah diperlukan perhitungan job value, yang menjadi nilai standar untuk membandingkan bobot pekerjaan dari bidang yang berbeda-beda.

Bagaimana menghitung job value?

Ada macem-macem metode untuk menghitung job value, tapi biasanya dihitung berdasarkan:

1. tingkat kesulitan
diukur dengan: seberapa tinggi pendidikan yang harus ditempuh seseorang untuk melakukan pekerjaan itu, apakah memerlukan training / sertifikasi khusus, atau berapa lama pengalaman kerja yang harus dilalui

2. pengaruh finansial
diukur dengan: seberapa besar peran pekerjaan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan, atau sebaliknya, untuk menekan pengeluaran perusahaan dan membuat proses kerja menjadi lebih efisien

3. ketersediaan di pasaran
diukur dengan: seberapa banyak tenaga dengan kualifikasi yang cocok tersedia di pasar tenaga kerja, dan seberapa banyak permintaan terhadap kualifikasi sejenis dari kompetitor.

Ketiga faktor tersebut, plus faktor-faktor lain yang dianggap relevan, kemudian dibobotkan menjadi angka, lantas diutak-atik dalam sebuah perhitungan tertentu dan keluarannya adalah sebuah nilai job value. Jadi sebuah perusahaan yang sudah menghitung job value untuk setiap jabatannya bisa bilang: Finance Manager = 50, HR Manager = 43, Sales Manager = 60, dst.

Dengan angka-an
gka baku tersebut maka perusahaan dengan mudah menentukan bahwa gajinya Sales Manager yang job valuenya 60 tadi otomatis lebih besar dari gajinya Finance Manager yang job valuenya 50. Lebih jauh lagi, job value juga membantu perusahaan menentukan susunan jenjang karir dalam perusahaan, dan menghitung biaya tenaga kerja secara lebih akurat.

Kembali ke celetukan orang yang mengawali artikel ini, kemungkinan orang yang nyeletuk itu belum menyadari perbedaan job value dirinya dengan si Bedul. Dalam sebuah perusahaan yang udah menerapkan job value, maka pendapatan seorang pegawai ditentukan oleh seberapa besar job value yang bisa diembannya. Kalau si Bedul menunjukkan bahwa dirinya mampu menangani tugas yang job valuenya lebih besar, maka dalam waktu singkat dia akan dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi dan mendapat gaji lebih besar. Sebaliknya, bila seorang pegawai dari hari ke hari cuma mengerjakan hal yang sama terus, nggak punya inisiatif untuk menambah kualitas hasil kerja atau mengajukan diri menerima tantangan tugas yang lebih berat, ya bertahun-tahun dia nggak akan merasakan naik pangkat.

Kalau semua orang di perusahaan menyadari job valuenya masing-masing, maka nggak perlu terjadi saling iri dan dengki seperti di perusahaan Pak Somad. Yang ada malah semangat persaingan yang sehat untuk meningkatkan job value masing-masing, sekalipun jabatan yang diembannya ‘cuma’ tukang kebunnya tukang ikan.

gambar: gettyimages.com

62 tanggapan untuk “job value: solusi keadilan untuk tukang kebunnya tukang ikan”

  1. mbot Avatar

    srisariningdiyah said: ehm…ini maksudnya ari siapa nih mbak melly…apa perlu aku samperin yang namanya “ari” itu mbak melly?soalnya kan dari dulu aku yang ada hubungannya sama eriq…*jeles berat mode on*

    jangan2 yang dimaksud si ari yang ini*mumpung orangnya lagi di papua, nggak bisa protes

    Suka

  2. srisariningdiyah Avatar

    moniquemeylie said: kalo mas erik sama mba ari itu pacaran apa malah udah suami istri ? atau ga ada hubungan apa-apa ?

    ehm…ini maksudnya ari siapa nih mbak melly…apa perlu aku samperin yang namanya “ari” itu mbak melly?soalnya kan dari dulu aku yang ada hubungannya sama eriq…*jeles berat mode on*

    Suka

  3. sithaetfred Avatar

    Job analysis, job value, job grading, yg dr dulu suka bikin gw pusing *mending di-outsourced aje pake konsultan*Btw, bener lho, coba jd dosen deh Gung. Penjelasan Elo lbh mudah ditangkep.

    Suka

  4. mbot Avatar

    dbaonkagain said: eh, sory yang di atas itu kepotong.error ni hape. jadi males ngetik ulang.padaha ada terusannya. gw wanti2 juga di pm itu kalo yang ini ga maksa minta direview. jangan terlalu serius.jangan kayak kevinbacon itu. pan jadi ga enak kita. kesannya kayak ngerjain banget gitu. padahal kan memang.

    oh tenang aja. kalopun gue review pasti dengan judul ‘REVIEW PAKSA’

    Suka

  5. dbaonkagain Avatar

    menhariq? itu aslinya mbak erika kalo ga salah.kalo salah ya biarin.

    Suka

  6. dbaonkagain Avatar

    eh, sory yang di atas itu kepotong.error ni hape. jadi males ngetik ulang.padaha ada terusannya. gw wanti2 juga di pm itu kalo yang ini ga maksa minta direview. jangan terlalu serius.jangan kayak kevinbacon itu. pan jadi ga enak kita. kesannya kayak ngerjain banget gitu. padahal kan memang.

    Suka

  7. mbot Avatar

    kesabaran said: sayangnya yg beginian kagak diberlakukan di PNS .. hiks…

    katanya sedang ada rencana untuk memberlakukannya kok. denger2 lho 😛

    Suka

  8. mbot Avatar

    dbaonkagain said: beneran tau.dari contohnya ada 2 sistem penggajian. basis komisi yang besarnya tergantung pendapatan, dan basis fix rate salary.itu dalam itungan job valuenya gue ngerti gimana kalo harus jadi pak somad nentuin besaran nilai gaji yang pas sesudah job value pegawenya ketahuan.belum lagi ngebayangin gimana dalam praktek nyusun metode analisis dengan 3 variabel itu yang kalo dijabarin bisa jadi puluhan komponen yang saling terkait mempengaruhi satu sama lain.baru mau mikir aja udah mumet gua.

    ya ya. gue kelewat belum menjelaskan perbedaan itu, tapi sekarang dah gue tambahin di artikelnya. job value memang lebih terasa pentingnya untuk melakukan komparasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang keluarannya nggak ‘kasat mata’. contoh pekerjaan yang berbasis komisi seperti si sanip tukang nangkep ikan dan si jujum tukang jual ikan adalah contoh pekerjaan yang ‘kasat mata’ – jelas hasilnya berapa dan gajinya ya tinggal hasil kali-kalian antara hasil kerjanya dengan nilai unitnya. tapi di luar itu ada banyak pekerjaan yang outputnya nggak mudah diukur, contohnya ya seperti marketing, gro, atau hrd dan bagian keuangan. untuk standarisasi imbalan, maka dihitunglah job value yang mampu menjembatani perbedaan antara pekerjaan tersebut. kalo pertanyaan selanjutnya adalah ‘gimana ngitungnya’, gue sendiri juga belum pernah secara langsung menghitung job value dari awal sampe akhir, tapi kurang lebih prosesnya sbg berikut: faktor tingkat kesulitanpemegang jabatannya minimal berpendidikan…SMA = 5 poinD1=15 poinD3=20 poinS1=35 poinS2=50 poinpengalaman kerjanya minimal…baru lulus=5 poin1-3 tahun=10 poin3-5 tahun=15 poin5-10 tahun=25 poindan seterusnya. Jadi kalau ada sebuah jabatan yang mensyaratkan pemegangnya berpendidikan S1 dan punya 4 tahun pengalaman kerja, maka job valuenya berdasarkan faktor pendidikan dan pengalaman kerja doang = 35 + 15 = 50 poin. Kalau mau memasukkan faktor-faktor lainnya ya tinggal ditambahkan aja dalam perhitungan (walaupun rumusnya ya nggak selamanya menggunakan tambah-tambahan, tergantung pendekatan yang digunakan) Itu contoh sederhananya aja lho. Kalo mau diulik sampai ke dasarnya lagi, ada lagi hitungan untuk menentukan mengapa pendidikan SMA nilainya 5 poin dan D1 = 15 poin.

    Suka

  9. dbaonkagain Avatar

    eh, liat pm ya.yang tanya alamat itu.disitu gw ngabarinkalo engga kemis, jumat ada kiriman buku.itu proyek sosial. ada di jurnal gue.sekalian di pm itu gue juga menyelipkan harapan. sapa tau direview.kan pak agung banyak fans

    Suka

  10. kesabaran Avatar

    sayangnya yg beginian kagak diberlakukan di PNS .. hiks…

    Suka

  11. dbaonkagain Avatar

    beneran tau.dari contohnya ada 2 sistem penggajian. basis komisi yang besarnya tergantung pendapatan, dan basis fix rate salary.itu dalam itungan job valuenya gue ngerti gimana kalo harus jadi pak somad nentuin besaran nilai gaji yang pas sesudah job value pegawenya ketahuan.belum lagi ngebayangin gimana dalam praktek nyusun metode analisis dengan 3 variabel itu yang kalo dijabarin bisa jadi puluhan komponen yang saling terkait mempengaruhi satu sama lain.baru mau mikir aja udah mumet gua.

    Suka

  12. mbot Avatar

    hayawi said: gak mau coba jadi dosen pak?

    terus terang tertarik banget… cuma kayaknya belum ada universitas yang tertarik punya dosen model gini :-p

    Suka

  13. hayawi Avatar

    laik dis!!!saya dari dulu gak pernah ngeklik sama mata kuliah PIO, tapi klo dosennya nerangin kayak gini boleh juga, saya akan rela skip waktu tidur saya pada kuliah PIO, hehehehe..gak mau coba jadi dosen pak?

    Suka

  14. mbot Avatar

    moniquemeylie said: Mas agung, mas agung..agak nyimpang nih nanyanya…dari dulu sering mampir kesini, penasaran aja gitu…kalo mas erik sama mba ari itu pacaran apa malah udah suami istri ? atau ga ada hubungan apa-apa ?

    wuahahahaha…. nanyanya di reply journal gini…. hihihihi…. jawabannya biar oleh yang bersangkutan aja dah, takut salah jawab 🙂

    Suka

  15. moniquemeylie Avatar

    Mas agung, mas agung..agak nyimpang nih nanyanya…dari dulu sering mampir kesini, penasaran aja gitu…kalo mas erik sama mba ari itu pacaran apa malah udah suami istri ? atau ga ada hubungan apa-apa ?

    Suka

  16. moniquemeylie Avatar

    mbot said: daftar lengkapnya bisa dilihat di sini

    Walah, lengkap !

    Suka

  17. mbot Avatar

    moniquemeylie said: Ini apaan sih maksudnya mas Agung ?

    hehe. itu istilah yang bisa dipake di dunia kepolisian, kalo lagi saling berkomunikasi lewat HT – artinya ‘OK’ atau ‘dimengerti’. daftar lengkapnya bisa dilihat di sini

    Suka

  18. mbot Avatar

    dbaonkagain said: gue terharu ngeliat elu udah berusaha keras menggampangkan kerumitannya dengan contoh kasus pak somad dan kawan kawannya.lebih terharu lagi gua tetep ga ngarti.jangan suka bikin orang sedih napa pak.bunuh diri tanggung dosa lu.

    gue juga terharu ngeliat orang kaya elu yang segitu merendahnya sampe ngaku2 nggak ngerti sama soal ginian doang.

    Suka

  19. moniquemeylie Avatar

    mbot said: “Delapan enam, boss,” kata si Jujum.

    Ini apaan sih maksudnya mas Agung ?

    Suka

  20. dbaonkagain Avatar

    gue terharu ngeliat elu udah berusaha keras menggampangkan kerumitannya dengan contoh kasus pak somad dan kawan kawannya.lebih terharu lagi gua tetep ga ngarti.jangan suka bikin orang sedih napa pak.bunuh diri tanggung dosa lu.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke mahrizalpemalang Batalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari (new) Mbot's HQ

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca