a nightmare on elm street 2010

Terkadang gue nggak ngerti dengan jalan pikiran para juragan film Holywood saat memutuskan untuk membuat film daur ulang alias remake. Kalo dari nalar awam gue, dan seandainya gue adalah seorang pembuat film Holywood, maka gue akan meremake suatu film kalau:

  1. Gue punya ide cerita yang beda dari yang udah pernah dibuat; atau…
  2. Gue yakin bisa mempresentasikan film lama tsb dengan teknologi special effects yang lebih canggih dan meyakinkan; atau…
  3. Gue merasa penggarapan film yang lama nggak terlalu baik, padahal ide ceritanya udah bagus, dan gue berniat memperbaikinya di versi yang baru

Tapi untuk kasus film “A Nightmare…”* ini, gue nggak melihat salah satu dari 3 kemungkinan tersebut tampil di layar. Dari segi cerita, ya ini si Fredy yang sama dengan yang dulu. Bedanya kali ini diceritakan latar belakang mengapa dia bisa berubah menjadi setan gentayangan, plus kali ini Fredy bisa muncul dalam micro-naps, yaitu periode kehilangan kesadaran selama seper-sekian-detik akibat kekurangan tidur. Mungkin maksudnya biar lebih serem, tapi kalo menurut gue malah mengurangi keunikan Fredy karena kalo dia bisa muncul kapan aja, lantas apa bedanya dengan tokoh horror lainnya?

Satu faktor lain yang menurut gue hilang dari ‘pakem’-nya Fredy adalah kreativitas cara yang dipakainya untuk menghabisi mangsa. Yang paling jelas di ingatan gue adalah Nightmare 3: Dream Warriors di mana para calon korban Fredy berencana untuk melawan Fredy dengan mengubah diri mereka menjadi superhero dalam mimpi. Hasilnya pertarungan antara para korban dan Fredy menjadi cukup imbang dan seru, dengan setting yang berbeda-beda. Sedangkan di serial terbaru ini malah taktik eksekusi Fredy cenderung monoton, didominasi dengan memanfaatkan cakar besinya doang.

Cuma yang menurut gue paling mengganggu adalah penggambaran tokoh Fredy yang nampaknya agak-agak salah konsep. Seharusnya dengan teknologi make-up yang lebih canggih, Fredy bisa dikemas dengan lebih serem. Tapi di sini dia nampak kesulitan ngomong karena keganjel make-up. Mungkin juga Fredy yang dulu lebih sukses karena Robert Englund pemerannya emang bertampang cukup serem sekalipun tanpa make-up… hehehe.

Secara keseluruhan, film ini memang lebih baik dari remake My bloody Valentine yang bikin gue ngomel-ngomel, tapi belum cukup layak untuk menggantikan serial Nightmare yang terdahulu. Film ini sedikit terselamatkan dengan kehadiran Katie Cassidy sebagai Kris yang cukup menyegarkan, tapi sayangnya dia nggak bertahan sampe filmnya selesai… hehehehe…

*tadinya biar ngetiknya nggak pegel judul film ini mau gue singkat dengan mengambil huruf-huruf depannya, tapi kok jadinya malah jorok ya?

14 comments


  1. mbot said: lah, trus gimana ceritanya dia bisa sampe mau ikutan nonton? dijebak ya?

    Cekar: “nonton yukkk…”Ari: “hayukkk, tapi jam habis 18.00 ya gue habis siaran”Cekar: “otreeee…”Ari: “udeh di bioskop neh mau yang jam brapa…”Cekar: “jam brapa aja asal jam 9 udah pulang…”Ari: “cuma nightmare doang yang cocok jamnya…”Cekar: “cincay…”Ari: “cepet ya, gue dah di dalem pilem mau mulai, deretan A4 studio 3 yaaaa…”Cekar: “lagi parkir neh…”tak lama kemudian Cekar duduk pas adegan pembunuhan pertama di cafe itu…Cekar: “pilem apaan ini areeeeee…”Ari: “lah katanya apa aja asal jam 9 udeh pulang…”Cekar: “pokoknya gue gamau bayar tiketnya gamauuuuu…!!!”Ari: “nevermind, gue traktir… wkwkkkkkkkk”


  2. anazkia said: Gak nyangka ketemu Mas Agung di MP. Dulu saya pernah baca reviewan buku, MBOT. Di Malay, ada gak, Mas? *eh, jadi OOT* 😀

    buku mbot di malay? kayaknya nggak ada deh… di sana mungkin judulnya harus diganti jadi “tak senternya orang ibu pejabat” :-p