“Hai, malam minggu besok ada acara nggak?”
“Enggak. Kenapa emang?”
“Mampir dong ke rumah gue…”
“Tumben amat, ada apa?”
“Ada yang mau gue omongin, penting banget. Mampir ya…”
Mungkin ada di antara kalian yang pernah terlibat dialog seperti barusan, dan berakhir sama seperti pengalaman gue: setelah jauh-jauh dateng ke rumah orang yang bersangkutan, ternyata diprospek untuk gabung dalam bisnis MLM.
“Lah, gue kan nggak bohong. Emang bener kok, bisnis ini penting untuk menunjang masa depan elu…” begitulah jawaban para agen2 MLM kalo gue protes karena merasa tertipu dengan ‘undangan misterius’ mereka. Ya okelah, udah banyak contoh nyatanya, pelaku MLM jadi kaya banget, punya kebebasan finansial, hidup enak, dllsb, tapi yang gue permasalahkan adalah: gue merasa otoritas untuk mengatur kegiatan gue sendiri dijajah dengan praktek undangan misterius kayak tadi. Kalo tau cuma akan diprospek, mendingan gue melakukan hal lain yang lebih menarik dan bermanfaat ketimbang jauh-jauh dateng ke rumah dia. Dan kalo pas dateng aja gue udah merasa tertipu, susah buat gue untuk tertarik dengan apapun penjelasannya.
“Masa sih, elo nggak tertarik dengan bisnis ini? Coba ya, gue jelaskan sekali lagi…”
Itu poin lain yang gue benci dari orang-orang MLM yang gue kenal selama ini. Mereka berkeyakinan penuh bahwa bisnis ini sedemikian gampangnya dan bisa dilakukan semua orang. Nggak mungkin ada orang yang nggak tertarik. Atau kalo digambarkan dalam flowchart, bentuknya sebagai berikut:
1. Jelaskan bisnisnya.
2. Kalo prospek menolak, artinya dia belum ngerti. Jelaskan lagi.
Udah nggak kehitung deh pengalaman2 ajaib gue saat berinteraksi dengan orang-orang yang lagi giras MLM. Salah satu yang paling parah: gue lagi nyetir di jalan raya, udah nyaris jam 12 malem, tiba2 HP bunyi dari seorang temen yang bilang,”Gung, lo lagi di mana? Gue ke rumah lo ya! Ada yang mau gue omongin, penting!”
Gue ngebut setengah mati ke rumah, kirain dia butuh pinjeman duit, atau butuh donor darah, atau mau numpang make komputer di rumah, atau apalah gitu yang sifatnya gawat darurat. Ternyata: nawarin MLM. Aaaarggghhh….!!
Dan setelah berbagai image menyebalkan tentang MLM, tiba-tiba aja Ida sang istri tercinta memutuskan untuk gabung Oriflame, sebuah MLM!
“Suamiii… keberatan nggak kalo istrinya gabung Oriflame?”
Hmmmm… gimana ya… Secara pribadi sih gue nggak pernah tertarik dengan MLM, tapi kan itu pandangan subyektif gue aja. Kalo gue ngelarang Ida ikut Oriflame sama seperti gue ngelarang dia makan ikan hanya karena gue nggak doyan ikan. Padahal secara obyektif sih nggak ada yang salah dengan MLM-nya sendiri, selama dijalankan dan ditawarkan sebagaimana bisnis lainnya; yaitu ada kekurangan dan kelebihannya.
Misalnya…
“MLM nggak perlu modal, cuma perlu waktu.”
Atau kalimat yang sering banget dikutip para agen MLM: “Anda menanam jagung, anda menuai jagung. Anda menanam waktu (lewat MLM), anda menuai waktu (luang dengan penghasilan pasif).” Siapa bilang? Proses perekrutan itu perlu biaya yang nggak sedikit lho, mulai dari pulsa buat nelepon, biaya transpor, sampe suguhan cemilan dan minuman kalo bikin pertemuan. Bahkan ada sebuah organisasi perhimpunan penggiat MLM tertentu yang memproduksi sendiri kaset-kaset, buku-buku, dan aneka gimmick motivasi dan mengeruk keuntungan besar dari benda-benda itu dengan mengindoktrinasi para anggotanya dengan, “Anda ingin sukses di bisnis MLM? Satu-satunya cara adalah dengan terus berinvestasi pada alat penunjang motivasi!” Yang dimaksud ya si kaset dan buku itu tadi.
“MLM untuk siapa saja.”
MLM adalah bisnis, dan nggak ada bisnis yang berlaku untuk semua orang. Sebagian orang lebih cocok untuk bisnis tertentu, ada yang lebih cocok di bisnis lainnya. Menolak ikut MLM bukan selamanya karena nggak ngerti, tapi ya karena memang nggak tertarik sama MLM, titik.
“Banyak orang udah apriori duluan thd MLM. Makanya kita nggak boleh terus terang di depan bahwa kita lagi jualan MLM.”
Perasaan ‘dikibulin’ – terlepas dari apakah betulan dikibulin atau sekedar perasaan – bukanlah perasaan yang baik untuk memulai sebuah bisnis.
Setelah gue pikir-pikir, keberatan gue pada MLM adalah dari cara MLM itu dijalankan, dan bukan pada bisnis MLMnya sendiri. Maka gue bilang sama Ida, “Ya udah sana kalo mau ikutan Oriflame, selama kamu nggak ngibulin orang, dan nggak maksa-maksa sampe annoying ya!”
Lagipula, gue nggak akan rugi apa-apa: kalo Ida sukses di Oriflame, gue ikutan kecipratan hidup enak. Kalo gagal, minimal akan ada hal yang bisa dipelajari dari pengalaman tersebut, misalnya dari strategi marketing dan persuasi. Gue yakin, Ida punya kualitas-kualitas yang mendukung untuk sukses di bisnis: sikapnya positif, mau belajar, pantang menyerah, dan punya people skill yang baik. Dia udah membuktikan bisa sukses dengan kotakkue.com-nya, gue nggak akan heran kalo abis ini dia juga akan sukses di Oriflame.
Selamat berjuang ya istri!

Ada komentar?