Punya embel-embel ‘psikolog’ di belakang nama berarti harus siap dengan konsekuensi jadi ember curhat orang-orang di sekitar. Topik favorit: percintaan. Abis, apa lagi? Topik ‘keuangan’ jelas nggak masuk daftar keahlian gue… hehehe…
‘Psikolog’ tentunya cuma gelar, dan bukan jaminan bakal punya solusi buat semua masalah. Untungnya gue punya banyak temen yang mau berbagi pengalaman pribadi sebagai referensi.
Salah satu referensi yang baru-baru ini gue dapet adalah pengalaman ‘Bunga‘ (tentunya bukan nama sebenernya) yang cerita soal pengalamannya menyelesaikan sebuah cinta segi tiga. Solusi yang dia pilih, menurut gue, butuh sesuatu yang belum tentu semua orang punya.
Berikut gue tulis ulang penuturan langsung dari Bunga:
Pada suatu waktu, aku kenalan dengan cowok lain, katakanlah bernama Rudi. Perhatian Rudi ternyata nggak kalah besar dari Steven, ditambah satu faktor penting: dia seiman dengan aku. Nggak lama kemudian kami jadian. Kedua cowok itu nggak saling kenal, dan nggak tau kalo aku diam-diam menduakan mereka.
Dua tahun aku jalani hubungan rahasia dengan Steven dan Rudi, sampe pada suatu titik aku merasa kondisinya nggak bisa begini terus-terusan. Sebenernya aku takut kehilangan Steven maupun Rudi, tapi aku merasa hubungan ini nggak adil buat mereka berdua. Aku harus mengakhirinya segera.
Pada suatu hari, sengaja aku undang Steven dan Rudi ke rumahku pada jam yang sama. Sengaja aku biarin mereka ketemu di teras, saling kenalan dan ngobrol lumayan lama. Aku sendiri masih di dalam, berusaha menguatkan diri untuk menjalankan rencanaku.
Setelah merasa cukup kuat, aku keluar menemui mereka. Tanpa basa-basi, aku ngomong,
“Steven, kenalin, ini Rudi. Selama dua tahun terakhir, aku jadian sama dia tanpa sepengetahuan kamu. Rudi, kenalin, ini Steven. Sebelum kita kenal, aku udah jadian sama dia beberapa tahun, sampai sekarang. Aku nggak berani bilang bahwa aku udah punya Steven, karena aku takut kehilangan kamu. Begitu juga dengan kamu, Steven, aku nggak berani bilang bahwa aku sekarang juga punya Rudi, karena aku nggak mau kehilangan kamu.
Aku tahu, perbuatanku salah, makanya aku mau mengakhiri sekarang. Aku mohon maaf sama kalian… aku sayang sama kalian berdua, aku juga merasa kalian sayang sama aku… tapi aku nggak berhak menerima cinta kalian berdua seperti ini… aku pasrah, aku rela kalau kalian berdua mau ninggalin aku sekarang. Aku nggak pantas kalian cintai…”
Habis ngomong gitu, aku cuma nangis, sementara mereka berdua shock. Aku ngerti, mereka pasti marah besar sama aku. Aku udah pasrah, aku nggak berhak mempermainkan mereka. Kalo mereka mau ninggalin aku, aku terima – walau berat. Yang jelas, setelah ngomong terus terang, aku ngerasa lega banget.
Dengan berapi-api, Steven mengekspresikan kemarahan dan kekecewaannya. Habis itu dia pergi, dan bersumpah nggak mau ketemu aku lagi. Sementara Rudi tetap tinggal, dan akhirnya ngomong,
“Bunga, perbuatan kamu memang salah. Aku ngerti alasan kamu melakukan ini karena takut kehilangan kami, tapi tetep aja itu salah. Tapi aku menghargai kejujuran kamu, dan aku masih sayang sama kamu. Kalo kamu mau janji nggak akan ngulangin perbuatan kaya gini lagi, aku masih mau kita sama-sama terus… aku nggak akan ninggalin kamu…”
Akhirnya, aku nerusin pacaran sama Rudi, dan beberapa tahun kemudian kami menikah. Sekarang Rudi udah jadi suamiku.
Seandainya cerita Bunga ini pertunjukan teater, gue serasa mau ngasih standing ovation.
Saat orang-orang lain memilih jalan ‘damai’ (baca: diam-diam) untuk menyelesaikan hubungan segi tiga, Bunga justru memilih untuk berterus terang – dengan resiko kehilangan dua-duanya.
Tapi Bunga yakin, sebuah kebohongan nggak akan mungkin diselesaikan dengan kebohongan lain . Solusi terbaik adalah kejujuran – dan kadang untuk bersikap jujur butuh nyali yang besar. Salute, you’ve got the guts, girl!
Sekedar referensi, buat kalian yang mungkin punya masalah serupa…
Foto gue pinjem dari worth1000

Tinggalkan Balasan ke dhunkdhe Batalkan balasan