Nama lengkap gue Agung Nugroho. Artinya “anugerah yang besar” – sebagai ekspresi kebahagiaan kedua orang tua gue karena berhasil punya anak laki-laki setelah 3 anak terdahulu perempuan semua. Tapi kayaknya beliau berdua nggak mempertimbangkan bahwa nama “Agung” adalah nama udah sering buanget dipake.
Selama gue sekolah, mulai dari TK sampe lulus kuliah, nggak pernah sekalipun gue merasakan jadi satu-satunya orang bernama “Agung”. Jadi kalo ada orang lagi ngomongin “si Agung”, pertanyaan selanjutnya udah bisa ditebak: “Agung yang mana?”
‘Tradisi’ ini pun berlanjut sampe gue kerja. Di kantor gue yang sekarang, gue sempet merasakan saat-saat bahagia sebagai satu-satunya Agung selama… yaaah, kurang lebih 3 bulan deh. Lantas masuklah Agung Prihantoro, di divisi yang beda dengan divisi gue, tapi masih satu lantai.
Maka mulailah kejadian-kejadian rutin yang udah terjadi di kantor-kantor gue sebelumnya, antara lain telepon nyasar, yang saat baru diangkat udah langsung nembak: “Mas Agung, mana nih e-mailnya… saya udah nunggu dari pagi lho!”
“E-mail apa ya mas?”
“Lha gimana sih sampeyan. Tadi pagi katanya mau ngirim e-mail tentang batas wewenang kredit… masak lupa sih….”
“”Hmmm… kayaknya saya nggak ngurusin batas wewenang kredit deh mas. Mungkin tadi pagi ngomongnya sama Mas Agung Prihantoro ya?”
“Oh, iya ya? Maaf.. maaf lho mas..”
“Ok nggak papa (udah biasa). Mohon tunggu sebentar ya mas, saya sambungkan ke extension-nya, 5128”
Salah sambung kaya gini cukup sering terjadi sampe akhirnya gue menciptakan shortcut demi efisiensi waktu:
“Halo…”
“Halo… Mas Agung ya? Mas, saya mau tanya ya, batas wewenang kredit saya kemarin itu kan…”
“Sebentar… sebentar, tahan dulu mas, saya sambungkan dulu sama Mas Agung yang satunya lagi di 5128 ya…”
Kalo cuma salah sambung aja sih masih mending. Yang lebih repot adalah waktu data karyawan online gue tercampur dengan data karyawan lain bernama Agung Nugroho yang berkantor di cabang Solo Barat. Jadi kalo gue login ke sistem database karyawan, yang muncul di layar adalah data-datanya si Agung Nugroho di Solo Barat itu. Sebenernya ini nggak akan gue pusingin seandainya aja data-data yang tercantum di situ nggak mencakup data tentang jatah cuti, besarnya pinjaman, training terakhir yang diikuti, dsb dsb.
Demi mencapai kebenaran, gue mengirimkan e-mail yang intinya permohonan revisi data kepada pihak HRIS. Sayangnya, e-mail gue direspon secara kurang mudeng oleh mereka dengan, “Sdr. Agung Nugroho Yth, apabila ada perubahan data diri, silakan ajukan permohonan tertulis dengan melampirkan dokumen pendukung.” Dikiranya gue baru ganti nama, kali. Setelah beberapa bulan saling berkirim e-mail dengan pihak HRIS tanpa perkembangan yang berarti, akhirnya gue menempuh jalan pintas: ngadu ke boss gue, trus boss gue komplen ke bossnya HRIS. Langsung deh, beres dalam sehari.
Gue kira dengan selesainya insiden Agung Nugroho di Solo Barat, hidup gue akan tenang. Eh taunya, di awal tahun 2007 ini, divisi gue merekrut seorang pegawai baru yang bernama…. (coba tebak)…. yak, benar sekali, Agung Nugroho. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam hidup gue, di mana ada Agung lainnya yang selain namanya plek sama persis, juga satu bagian dengan gue! Kalo dengan Agung Prihantoro, masih gampang dibedain karena nama belakangnya beda. Dengan Agung Nugroho di Solo Barat, masih bisa dibedain karena bisa dikasih keterangan tambahan: “Agung Nugroho yang mana, yang di Jakarta atau di Solo Barat?”
Tapi kali ini, Agung Nugroho yang satu lagi ada di divisi yang sama, bahkan tempat duduknya cuma berjarak 3 meter dari gue. Udah gitu, gelar akademisnya pun hanya beda satu huruf dengan gue. Kalo dia “Ssi”, kalo gue “Psi”.
Problem mulai timbul saat bulan kedua si Agung Nugroho ini ngantor, dan laporan-laporan rekening kartu kredit, tabungan, serta slip gaji mulai berdatangan. Di amplop kan cuma tertulis “Kepada Agung Nugroho, Divisi Business Planning”. Masalahnya amplop2 itu kan memuat data yang sifatnya confidential, sehingga gue nggak bisa sembarangan aja buka amplop orang. Terpaksa deh, tiap kali buka amplop gue musti ngajak2 si Agung Nugroho yang satunya lagi ini.
Belum beres urusan amplop, problem berikutnya adalah pembuatan alamat e-mail. Format standar yang nggak bisa ditawar dari pihak IT adalah:
Untungnya karena gue masuk ke perusahaan ini duluan, alamat agung.nugroho@domain udah berhasil gue kuasai. Sekarang tinggal si Agung Nugroho ke dua ini yang kebingungan. Gue menyarankan supaya make alamat email a.nugroho atau agung.n aja, tapi ditolak oleh IT karena HARUS nama lengkap, depan dan belakang.
Akhirnya setelah sempet terkatung-katung beberapa hari, pihak IT menentukan alamat e-mail yang menurut gue rada ajaib yaitu
Lho kok pake ‘sby’? Rupanya hanya karena si Agung Nugroho yang ke dua ini aslinya dari Surabaya…
Sekarang, kalo ada orang yang nanya alamat e-mail ke gue, terpaksa deh gue jawab dengan, “Agung [dot] Nugroho, nggak pake ‘sby’ lho ya…”
Mungkin biar nggak kejadian kaya gini terus, gue musti ngantor di Swedia kali ya.

Tinggalkan Balasan ke Kirimkan email ke si mbot, selamatkan dunia! | (new) Mbot's HQ Batalkan balasan