cerita sebelumnya:
- bagian 1: gara-gara makan siang
- bagian 2: The Old Gang Reunion!
Yang mewawancarai gue adalah seorang ibu yang nampak sudah sangat seniooor.. sekali. Kayaknya beliau udah baca formulir gue sehingga langsung menyambut dengan “Wah hari ini ada rekan sejawat”.
Habis itu kami ngobrol-ngobrol soal kapan gue lulus, dilanjutkan dengan “kenal nggak sama…” dan sejenisnya. Trus masuklah ibu psikolog ke dua. Yang ini nampak lebih seniooor lagi dari yang pertama. Untuk memudahkan cerita, mari kita namakan mereka Ibu Psikolog Senior 1 (IPS 1) dan Ibu Psikolog Senior 2 (IPS2).
IPS 1 berkata dengan nada ceria kepada IPS 2, “Ini lho, Mas ini ternyata psikolog juga.”
Di luar dugaan, IPS 2 menyambut dengan nada setengah nyolot, “Psikolog? Bener Psikolog atau BARU SARJANA PSIKOLOGI?”
I’ll take that as a compliment. Artinya kan wajah gue nampak seperti anak baru lulus S1. “Psikolog Bu. Udah lulus profesi. stasis. Praktek. Ada ijazah,” jawab gue sopan.
“Anda pasti anak bungsu ya?” kata IPS 2 lagi.
“Ya.”
“Cukup dengan lihat saja saya sudah langsung tahu, padahal saya belum baca formulir Anda,” ujarnya penuh kebanggaan atas kemampuan ‘psikologis’nya yang mampu ‘membaca orang’. Dan menurut gue dia pasti dosen, dan pasti punya nama julukan yang kurang menyenangkan di kalangan mahasiswa. Itu juga gue tau tanpa harus liat KTP lho.
“Trus, KENAPA MAU PINDAH KERJA?” tanya IPS 2 masih dengan nada nyolot.
“Loh siapa yang mau pindah kerja, orang saya lagi makan siang bareng temen tau-tau disuruh kirim CV dan ikutan psikotes,” jawab gue (masih) sopan. IPS 1 nampak agak kurang nyaman tapi masih diem aja.
“Jadi begitu? Setiap kali ada tawaran kerja terus Anda mau saja, begitu ya? Sampai kapan Anda mau begitu? Anda kan psikolog, pastinya tau TIPE ORANG SEPERTI ANDA INI. Harusnya Anda terapkan dong ilmu psikologi itu untuk ANDA SENDIRI!”
Ini apa-apaan sih? Gue mulai hilang kesabaran. “TIPE ORANG SEPERTI SAYA? Ada yang SALAH dengan TIPE ORANG SEPERTI SAYA??”
Ngeliat gelagat gue mulai naik darah, IPS 1 buru2 menengahi dan mengganti topik. Sayangnya, pertanyaan berikut yang dilontarkannya susah gue jawab yaitu, “Sebenarnya pekerjaan Anda sekarang ini apa sih?”
Waduh, gimana jelasinnya ya. Ntar gue ngomongin intranet belum tentu beliau mudeng. Akhirnya dengan penyederhanaan di sana-sini gue bilang, “tugas saya menyampaikan informasi kepada karyawan lewat komputer, sedemikian rupa sehingga informasinya menarik, bisa gerak, bisa bunyi, dan bisa diklik pakai mouse. Itu lho, yang suka dipencet-pencet kalau kita sedang make komputer.”
IPS 1 manggut-manggut, mudah-mudahan karena ngerti. Dan 5 menit kemudian sesi wawancara (yang niatnya mendalam itu) berakhir.
Ilustrasi: cuplikan koran kampus buatan gue, tentang adegan ujian bersama ibu-ibu psikolog senior.
orang sotoy ky ibu itu mah mending jawab aja:”bukan, saya gigi bungsu,bu..”
ya ampun mas mbott..kok tau dr ui? kl dr tw dari ui mbokya jgn disebutin merk ui nya ngono loo..mcemarkan kredibiliti fakultas psikologi tertua di indonesa aj tu ibu2..ck!
nah ini dia satu lagi yang salah kaprah di kalangan psikolog sendiri. yang namanya interview pekerjaan bertujuan mengetahui kelebihan dan kekurangan calon pegawai UNTUK DIGUNAKAN UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN MENERIMA / MENOLAK LAMARAN. Jadi, sebenernya TIDAK ADA RELEVANSINYA untuk ‘SHOW-OFF’ kepada kandidat seberapa banyak informasi yang kita (baca; psikolog) berhasil tarik dari dirinya. Malah tindakan ini membuat kandidat makin tidak nyaman, yang akhirnya makin waspada, dan makin menutup diri sehingga makin sulit digali. contohnya (serius ini contoh asal2an – bukan kutipan wawancara betulan): “buah kesukaan anda?””manggis, pak””wah kalau begitu anda ini pasti orangnya sering bolos, kurang ajar terhadap boss, dan sering nyolong ATK. Betul kan?””…” (sambil mikir, ‘ups, ketahuan deh belang gue, kalo gitu abis ini harus lebih hati-hati ngomong’)”warna kesukaan?”“saya buta warna, pak…”Justru interview yang efektif adalah bila kandidat merasa nyaman, santai, kaya lagi ngobrol di warung, tapi sebenernya udah kebongkar habis-habisan :-))
Gung, sesuai Tag… bikin senewen.
gung, aku jadi inget pengalaman “ditelanjangi” tanpa harus membuka baju, oleh seorang psikolog dari lembaga psikologi terapan ui (sudah kakek2), waktu tes pekerjaan. dengan “ilmu membaca pikirannya” dan teknik interogasi yang canggih, dia berhasil mempecundangiku, tersenyum penuh kemenangan dan… tesnya tidak keterima! (aku nggak akan lupa orang itu!). :(agung mbot ini, hmm… saya kira *tanpa harus membuka cv* orang multitalented, mulai dari ilmu psikologi, komputer grafis/program komputer, ilustrasi/komik, penulis/reporter –yang humoris. :))
jawab aja, “bukan, saya anak orang” :-p
hus, ga sopan ya sama ibu psikolog senior :-p
hehehehe… jobdesc baru 🙂
sumprit jadi inget, aku pernah BERANTEM dan disentimenin sama pengajar yang katanya psikolog di salah satu kursus kepribadian (yang semua dokter di klinik gw harus ikuti) . Si ibu bener bener kesel dan gw bener bener kesel (tapi puas karena berhasil jawabin tiap remarks yang dia buat soal gw di depan kelas) …dan guess what….lucky guess dia yang pertama ?”Anda anak bungsu yaaaaa? ”
ah, aku tahu. tesnya di panti wreda kan?