Miracle Delivery (4/4) “ibu sudah siap?”

< < sebelumnya

17.00

Bukaannya melaju terus hingga lewat dari jam 17.00 udah mencapai bukaan 9. Dokter udah dihubungi, juga para mertua. Sekitar jam 17.20, Ida mulai didorong ke ruang bersalin. Ini pertama kali gue masuk ruang bersalin, dan gue nggak nyangka ruangannya sesempit ini. Di sudut ada sepasang tabung kaca raksasa – alat vacuum untuk membantu kalo bayinya mendadak macet di tengah jalan. Mudah-mudahan nggak perlu make benda itu, pikir gue dalam hati.

Ida makin rewel, “Dokternya mana suster, kok nggak dateng-dateng, sakit sekali ini…”
“Tenang Ibu, dokternya lagi di jalan, kan rumahnya dekat… sebentar lagi juga sampai. Tapi kita ini bukan nunggu dokter lho bu… kita nunggu bukaannya sempurna sampai bukaan 10. Kalaupun bukaannya sudah sempurna sebelum dokternya datang, ya kita semua di sini punya kualifikasi bidan untuk membantu kelahiran. Jadi ibu nggak perlu kuatir, ya…”

Excellent answer, bener-bener menenangkan perasaan. Buat para ibu yang masih bingung mau melahirkan di mana, gue highly recommend RS YPK deh.

Menjelang jam 17.30 ibunya Ida dateng dari hotel, ikutan masuk ke ruang bersalin untuk nengok anaknya.
“Mama… sini aja..” kata Ida.

Para suster saling berpandangan, rada sungkan untuk mengusir, tapi apa boleh buat.
“Maaf ibu, yang nungguin di dalam satu saja, sebab ruangannya sempit. Mau ditunggui ibunya atau suaminya?”

Sekarang giliran ibunya Ida yang liat-liatan sama gue. Nampaknya beliau belum siap mental untuk ikutan nonton proses kelahiran, sehingga akhirnya gue mengambil inisiatif, “Saya aja yang di dalam suster.”
Ibunya Ida segera menimpali dengan nada lega, “Iya suster, saya nunggu di luar aja deh.”

Beberapa menit kemudian, para suster yang berjaga dalam ruangan tiba-tiba berteriak, “Bukaannya udah sempurna ini! Ayo kita mulai aja.” Pas saat itu HP bunyi. Dari Bayu.

“Wah, Bay, sori banget ya gue belum bisa keluar sekarang, soalnya… ini udah di ruang bersalin. Bayinya udah mau keluar. Sori ya, tolong doain ya!” Nggak nyangka ternyata anak gue cinta banget sama Oom Bayu, lahirnya nunggu Oom Bayu dateng dulu. Sementara itu, dokternya belum juga dateng.

Para suster nampak udah mantap bersiap-siap, tiba-tiba jreng… datanglah sang dokter.

“Tahan… tahan dulu ya, dokternya udah datang,”

Dokter make baju operasi dan sarung tangan karet, lalu mengambil alih komando.

“Oke ibu, sekarang semuanya tergantung ibu ya, ini akan sepenuhnya mengandalkan tenaga ibu. Masih ingat senam hamilnya kan? Yak, kalau sudah siap ikuti aba-aba saya untuk mendorong ya bu…”

Nah, di titik inilah keyakinan gue dari tadi pagi sedikit-sedikit mulai luntur. Maksud gue, seluruh proses kehamilan Ida dari hari pertama hingga hari ini berjalan relatif tanpa gangguan. Memang bulan lalu sempet ada kontraksi dini, tapi bisa diatasi tanpa ada kebocoran air ketuban. Selama Ida hampir nggak pernah sakit, nggak pernah jatuh. Hari ini juga semuanya berjalan sesuai rencana dan prosesnya bisa dikontrol. Tapi justru di detik-detik menjelang kelahiran keadaan bisa berbalik 180o.

Sekarang gue ngerti kenapa banyak cerita tragis seputar proses kelahiran justru di detik2 terakhirnya: karena semuanya tergantung pada kekuatan si ibu. Sekalipun semuanya normal, dalam arti bayi nggak sungsang, bukaan sempurna dan jalan lahir memadai, kalo ibunya tiba-tiba kehabisan tenaga saat proses kelahiran akibatnya bisa fatal. Yang paling berbahaya adalah ketika bayi udah separuh jalan keluar, tiba-tiba ibunya nggak mampu lagi mendorong – bayi bisa kejepit di tengah-tengah, dan resikonya bisa aneka ragam mulai dari kelainan saraf hingga kematian karena nggak bisa nafas.

“Siap ibu? Yak dorong…!”

Ida mencoba mendorong tapi belum berhasil. Gue sibuk mengabadikan pake digicam. Huh, untung memory cardnya udah gue kosongin.

Rupanya patokan untuk mendorong keluarnya bayi adalah kontraksi di perut ibunya. Jadi para suster yang membantu selalu nanya “sakitnya masih nggak? Kalo sakitnya hilang berhenti dulu” Saat istirahat itu dipake untuk mengambil nafas dan menyusun tenaga sambil menunggu gelombang kontraksi berikutnya datang. Dan di saat bukaan udah sempurna begini, jeda waktu istirahatnya nggak akan terlalu lama – oleh karena itu managemen energi bener-bener penting dalam proses ini.

“Sudah terasa sakit lagi ibu? Oke, ayo dorong lagi. Nggak papa bu, tendang aja saya,” kata dokternya mempersilakan Ida menggunakan badannya sebagai pijakan kaki. Satu lagi hikmah yang gue temukan: untung dokternya gede dan kekar – Mayor Angkatan Darat pula. Coba kalo kurus kecil dan cungkring, bisa mental kali menahan tekanan segitu besarnya. FYI, tekanan mengejan pada saat melahirkan sedemikian besarnya sehingga para ibu dilarang untuk menutup mata (karena pembuluh darah mata bisa pecah), menggembungkan pipi (karena pembuluh darah pipi bisa pecah), maupun mengatupkan rahang (karena lehernya bisa jadi menggembung seperti kodok bangkong).

Beberapa kali Ida mencoba mendorong tanpa hasil sampe akhirnya… nah tuh, apaan tuh bulet-bulet berlendir nongol… eh ternyata kepala anak gue!

Memang luar biasa design Sang Pencipta bayi karena ternyata kepala bayi yang baru lahir itu sama sekali nggak terlihat seperti tulang. Di tangan dokter yang menyambutnya, kepala anak gue nampak lembek dan berdenyut seperti balon berisi air. Rupanya tulang tengkorak kita yang sekarang keras ini, dulunya lembek dan elastis supaya gampang melewati jalan lahir. Rupanya ini juga sebabnya kenapa para bayi yang lahir dengan divacuum kepalanya jadi memanjang, karena saat lahir tulangnya masih sangat lunak. Yah pikir2 tulang manapun kalo direndem air selama 9 bulan bisa jadi empuk juga kali nggak?

Saat kepala bayi udah keluar, dokter berhenti sebentar untuk melepaskan lilitan tali pusar di leher. Selama ini hasil USG menunjukkan adanya tali pusar melintang di leher, tapi nggak bisa memastikan apakah posisinya hanya sekedar numpang lewat atau betulan melilit seperti laso. Ternyata memang melilit. Kalo kata orang Jawa sih, bayi-bayi yang lahir dengan terlilit tali pusar nanti setelah besar akan pantes pake baju apa aja. Gue sih nggak terlalu setuju ya, secara ada beberapa orang yang gue tau lahir terlilit tali pusar suka aneh juga dandanannya.

Setelah lilitan tali pusar berhasil dilepaskan, proses kelahiran berlangsung lancar. Dalam beberapa menit aja seluruh badan bayi udah keluar sempurna. Sama sekali nggak kaya di film-film di mana bayi-bayi yang baru dilahirkan langsung bisa nangis kenceng, anak gue cuma teronggok tak berdaya di atas meja – keriput berlumuran lendir dan darah. Suster mengorek-ngorek mulutnya untuk mengeluarkan sisa lendir, lantas dipindahkan ke meja sebelah untuk dilap dan ditimbang. Baru setelah itu kedengeran tangisnya, itu juga dengan suara yang seperti tertahan. Keliatannya masih banyak lendir di saluran pernafasannya.

Waktu itu jam tangan menunjukkan angka 17.55. Waktu ini yang dipake sebagai catatan resmi waktu kelahiran bayi gue.

Aneh. Tiba-tiba aja hari ini gue udah jadi seorang bapak.

Epilog

Bayu dan Ade tercatat sebagai MPers pertama yang menyaksikan kehadiran anak gue ke dunia. Bayu malah mengabadikan proses gue mengadzani si bayi – sementara gue sendiri nggak kepikiran. Sedangkan Ai, sesama ibu guru di tempat ngajar Ida, ikutan jadi orang pertama yang nengok karena ‘kebetulan’ lagi lewat di deket RS. Malemnya, seluruh keluarga gue, minus ibu yang masih terikat di kursi roda dan kakak gue yang tinggal di Makassar, berbondong-bondong dateng ke RS. Lagi-lagi
‘kebetulan’, hari itu adalah ulang tahun kakak gue yang tertua, jadi semuanya lagi pada ngumpul di rumah. Seperti udah diatur dalam skenario maha besar, kelahirannya disambut oleh banyak orang.

Menjelang tengah malam, setelah semua tamu pulang, gue pulang sebentar untuk ngambil baju di rumah.

I looked up to the sky, and there it is… the full moon. My favourite celestial object is also coming to witness the birth of my son.

Nadiv Rafi Nugroho.

Terima kasih…

…buat para MPers yang udah repot-repot meluangkan waktu untuk kirim SMS, PM, nelepon, dan menengok, terima kasih banyak ya.

Posting-posting yang berkaitan dengan kelahiran bayi kami antara lain bisa diklik di:

(update: sayangnya album-album berikut ini udah broken link semua akibat tutupnya multiply)

  • Kangbayu’s journal: Welcome Rafi! (Agung & Ida’s)
  • Kangbayu’s photo album: Anggota baru keluarga Agung & Ida
  • Kangbayu’s video: Rafi: Sesaat setelah lahir
  • Kangbayu’s video: Rafi: Sesaat setelah lahir part.2
  • Tianarief’s journal: [kabar gembira] Baby Boy!
  • Menhariq’s photo album: Hello Rafi.. (mbot jr.) ^_^
  • Rauffy aka Alan’s photo album: Welcome to the world, Rafi
  • Trizyalempicka aka Tria aka Idunk’s journal: Agung’s Baby Boy
  • Prajuritkecil aka Ira’s photo album: Rafi-nya Ida dan Agung: NNaaaah… ini baru bayiiii…. 🙂
  • Ciput’s photo album: [Kopdar] Bezoek Mbot Jr. Tapi Teuteup Kendid & Narsis
  • Ciput’s photo album: [Anak] Pelajaran Jahil #1 Dito U/ ‘Adik’ Barunya
  • Nicelovelydentist aka Alya’s journal: Hari hari sebelum cuti 4 hari
  • Windageulis‘ photo album: Nadif Rafi Nugroho
  • Windageulis‘ photo album: Dede Rafi Digangguin Tante Diah

eh kalo ada yang kelewat mohon dikoreksi ya… maklum gue postingnya udah telat banget sih, huhuhu… kebiasaan buruk menunda pekerjaan :-p

Thanks again, guys. You’re the best!

37 comments


  1. alhamdulillah, kami ditakdirkan sebagai salahsatu (eh salahdua ya?) temen yang bisa hadir di event penting ini. minggu sore yang lalu, rencananya mo mampir ke tempat kalian abis dari Monas tuh, nengok Rafi yang keliatannya udah ganti versi wajah lagi hehehe… cuma karena takut ganggu yang abis begadang jadi diundur aja dulu, sekalian ntar ta’ bawain video versi full nya, ama foto2nyaditunggu cerita kangguru ma nanasnya yee…


  2. mbot said: Yah pikir2 tulang manapun kalo direndem air selama 9 bulan bisa jadi empuk juga kali nggak?

    subhanallah ya mbot.. tapi bukan karena direndem ini makanya tulangnya jadi lembek. tapi karena kebesaran sang Pencipta yang merancang tulang2 di tengkorak belum keras (menyatu) seperti tulang orang dewasa.. gunanya agar cukup elastis saat lewat lubang sempit waktu dilahirkan:Dsekali lagi, selamat ya mbot dan ida.. gila, jurnal loe bikin gue degdeg aaan…