Miracle Delivery (2/4) kanguru dan buah nenas

<<sebelumnya

08.30
Ida udah ada di ruang observasi, udah ganti baju dan dipasangin alat2 pengukur kontraksi dan detak jantung bayi. Cairan yang keluar udah diperiksa, dan positif air ketuban. Ida dipasangin alat-alat untuk ngukur detak jantung bayi sekaligus kekuatan kontraksi. Udah terjadi bukaan 1. Via telepon, dokter menginstruksikan para suster untuk melakukan induksi (memasukkan obat pemicu kontraksi ke dalam cairan infus).

Berbekal pengalaman waktu kontraksi dini bulan lalu, proses pemasangan infus berjalan relatif lebih lancar. FYI, waktu masuk RS bulan lalu itu adalah saat pertama kali dalam sejarah hidup Ida merasakan yang namanya diinfus – sehingga hebohnya kaya orang mau dieksekusi. Waktu itu sampe terjadi dialog konyol sbb:
“SUSTEEEER… SAYA MAU DIAPAIN SUSTEEER….”
“Mau dipasangin infus, ibu tenang dulu ya….”
“SAKIT NGGAK SIH SUSTEEER… HIIY… JARUMNYA KOK GEDE AMAT GITUUUU…”
“Enggak… nggak sakit kok.. yang penting ibu tenang dulu ya… nih, saya pasang ya… ”
“ADUHADUHADUHHHH… SAKIIIIT SUSTERRRR… HIIII… SUSTER BOHONGGG.. TADI BILANGNYA NGGAK SAKIT… SUSTER BOHONGGGG…” dst dst dst.

Ternyata, hikmah kejadian waktu itu adalah untuk latihan mental buat Ida dalam menghadapi proses yang sebenarnya.

10.00
Dokternya datang. Dokter Finekri ini sebenarnya bukan dokter yang dulu menjadi pilihan kami. Dulu di awal masa kehamilan, kami memutuskan untuk mencari dokter yang prakteknya nggak jauh-jauh dari rumah DAN pasiennya nggak ngantri. Biasanya orang bela-belain ngantri untuk bisa ditangani oleh dokter terkenal, tapi pertimbangan kami adalah: semakin banyak pasien seorang dokter, semakin besar kemungkinan si dokter nggak available pada saat kelahiran karena waktunya bersamaan dengan kelahiran pasien yang lain. Waktu itu kami berkenalan dengan Dokter Fernandi Moegni, putra seorang dokter kandungan terkenal. Setelah mencoba beberapa kali sesi konsultasi kami merasa cocok dengan penanganan dokter Fernandi, tapi di tengah masa kehamilan mendadak dokter Fernandi mengabarkan bahwa dia harus PTT di luar kota. Dia menawarkan dokter pengganti, yaitu dokter Finekri. Tadinya kami sempet ragu karena harus beradaptasi lagi dengan dokter yang belum kami kenal, tapi ternyata penanganan dokter Finekri juga sama baiknya dengan dokter Fernandi – sehingga kami memutuskan untuk mempercayakan seluruh proses pemeriksaan kehamilan hingga waktunya melahirkan. Di hari H ini kami baru menemukan satu faktor plus lagi yang sebenernya bersifat non-teknis tapi bisa sangat menentukan yaitu… rumah dokter Finekri nggak jauh dari lokasi RS! Hmm… nemu satu lagi hikmah yang urun peran menciptakan takdir buat Ida…

Dokternya cuma meriksa sebentar, habis itu pergi lagi. Katanya, “Ibu tenang aja, ini baru bukaan 1. Prosesnya masih akan lama, bisa sampe 24 jam maksimal. Tapi baik dari posisi bayi, detak jantung, hingga kondisi saluran lahir semuanya dalam kondisi baik – insya Allah ibu bisa melahirkan normal.” Sepeninggal dokter, Ida mulai merasa kesakitan.
“Suster, habis diinfus kok perut saya jadi mules-mules ya? Tadi pagi kayaknya nggak gini deh.”
“Ya emang infusnya itu yang bikin sakit, supaya anaknya cepat lahir bu. Namanya juga diinduksi, ya pasti sakit,” jawab susternya santai.

Karena dari menit ke menit perutnya terasa makin sakit, akhirnya Ida mau juga dihibur dengan dongeng. Seperti pernah gue posting di sini, kalo Ida lagi kumat resek / cengengnya maka gue akan menghibur dengan dongeng. Selain dongeng “kancil dan pemburu”, gue juga punya dongeng “putri raja dan selendang sutera”, “supir bajaj dan kue cubit”, “7 kurcaci dan gajah ungu”, serta yang terbaru adalah dongeng “kangguru dan buah nenas”. Dulu waktu pertama kali gue menceritakan dongeng “kanguru dan buah nenas” Ida merasa dongeng tersebut terlalu garing sehingga distop sebelum selesai. Sekarang berhubung lagi mules akhirnya dia mau juga dengerin dongeng itu.

“Pada suatu hari, hiduplah sebuah buah nenas… eh.. kok kalimatnya nggak enak ya…”
“Aduuh…”
“Ya udah gini deh, nggak usah pake ‘pada suatu hari’ ya, langsung aja gini, Di sebuah dusun, buah nenas hidup serba kekurangan. Satu demi satu sanak keluarganya telah menjadi dipotong orang menjadi nenas kaleng. Akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke kota…”
“Aduh… aduh… nggak jadi deh, nggak jadi minta dongeng deh, perutku tambah mules denger dongeng garing kamu itu. Udah sini pijitin aja! Nggak usah pake dongeng, ya!”

Lagi-lagi kreativitas seorang suami telah dihambat oleh istrinya.

bersambung>>

14 comments


  1. “Ya udah gini deh, nggak usah pake ‘pada suatu hari’ ya, langsung aja gini, Di sebuah dusun, buah nenas hidup serba kekurangan. Satu demi satu sanak keluarganya telah menjadi dipotong orang menjadi nenas kaleng. Akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke kota…”————————————-Wakakakakak…….. sumprit lucu bangeeet !!!!