[sharing HRD] WASPADA! 5 gelagat buruk waktu melamar kerja

Idealnya, sebelum memutuskan untuk melamar kerja di sebuah perusahaan, kita udah punya gambaran detil tentang apa dan bagaimana sikon di perusahaan tersebut. Kaya apa culture-nya, keuangannya sehat apa enggak, jenjang karirnya prospektif atau enggak, dst. Tapi gimana kalo kita ditawari kerja di perusahaan yang sama sekali belum pernah kedengeran ceritanya? Langsung tolak? Ntar dulu. Nggak pernah kedengeran ceritanya bukan berarti jelek lho. Satu-satunya jalan adalah dengan menganalisa proses yang terjadi sewaktu melamar.
Berikut ini beberapa “gejala” yang mungkin bisa dijadikan panduan untuk menilai kondisi sebuah perusahaan. Nggak selamanya bener, tapi minimal bisa jadi bahan pertimbangan. Kalo cuma satu atau dua gejala yang muncul, yah, mungkin sekedar kebetulan aja. Tapi kalo hampir semua gejala ini terjadi, hmmm… hati-hati aja. Kalo masih punya pilihan, mending ngelamar di tempat lain aja deh! 1. Lo kurang dihargai sebagai manusia. Kalo cuma si resepsionis yang tampangnya bete waktu menyambut elu, yah mungkin kebetulan dia abis ronda semalem, masih ngantuk. Kalo cuma pak satpam yang rada galak waktu minta elu nitip KTP, yah mungkin dia lagi mikirin anaknya sakit di rumah. Tapi kalo mulai dari tukang parkir, satpam, resepsionis, office boy, sampe tukang gorengan yang mangkal di depan pada kompakan menunjukkan perilaku yang kurang santun – warning – kemungkinan ada yang nggak beres dengan perusahaan ini. Yang gue maksud dengan perlakuan kurang santun antara lain: nggak mengucapkan salam saat menyambut, nada bicara yang kurang bersahabat, nunggu lama tanpa dikasih minum, sampe perlakuan yang kurang manusiawi seperti diminta mengisi formulir lamaran di tempat orang lalu lalang – sambil jongkok pula. FYI; formulir lamaran yang lo isi sewaktu melamar kerja itu adalah dokumen yang sifatnya pribadi dan rahasia. Seharusnya lo ditempatkan di ruangan yang tertutup dan nyaman – minimal ada meja dan kursi untuk tempat nulis – bukan di ruang resepsionis yang serba terbuka sehingga mas-mas kurir yang kebetulan lewat bisa nyeletuk, “wah rumahnya deketan nih sama rumah saya, kapan-kapan boleh main ya…” Perusahaan yang sehat dan profesional sadar bahwa citra perusahaan dibangun mulai dari garda depan, dari bagaimana tamu disambut. Kalo untuk urusan remeh gini aja mereka nggak becus menangani, jgn2 untuk urusan yang besar-besar juga morat-marit. 2. Lo dicoba untuk ditempatkan dalam posisi lemah / dependen pada perusahaan Yang gue maksud antara lain: petugas recruitment yang meminta elu untuk menyerahkan dokumen pendukung (ijazah, transkrip nilai, referensi kerja) yang ASLI, atau “menggantung” status kepegawaian lo di zona limbo antara kontrak dan permanen, penetapan masa percobaan yang kurang jelas, dan sebagainya. Khusus untuk urusan “menahan” dokumen pendukung, asal tau aja ya, sebenernya perusahaan nggak berhak melakukannya. Kecuali kalo elu udah jadi pegawai, terus disekolahin sama perusahaan dan setelah pendidikan selesai ijazah lo ditahan sampe masa ikatan dinas berakhir, itu lain perkara. Sedangkan yang terjadi di sini kan elu capek2 sekolah pake ongkos sendiri, eh begitu lulus ijazahnya disandera. Mengutip kata Mpok Jane dan Sarah, “WHO DO YOU THINK HE ARE??”. Kalo tau-tau kantornya kebakaran, kebanjiran, atau diserbu tikus hingga dokumen penting itu rusak, siapa yang mau tanggung jawab? Perusahaan yang menerapkan kebijakan konyol macam ini biasanya perusahaan yang udah menghadapi dilema: di satu sisi terlalu pelit / terlalu miskin untuk menaikkan kesejahteraan pegawai, di sisi lain butuh untuk mempertahankan jumlah pegawai yang loyal. Kalo perusahaan yang sehat pastinya akan mencoba membuat pegawainya betah dengan cara meningkatkan kesejahteraan mereka, bukan dengan menyandera dokumen! Dengan kata lain, ini tipe perusahaan yang ngajak susah bareng-bareng. Sama sekali nggak worth it untuk dilamar. 3. Lo diminta mondar-mandir kaya setrikaan Lazimnya, proses seleksi pegawai dilakukan dalam 3 tahap:
  1. Wawancara dan psikotes awal – biasanya di tahap ini lo ketemu dengan petugas HR di level officer atau konsultan eksternal
  2. Tes kesehatan
  3. Wawancara dengan calon boss (user).
Kadang-kadang, ada 2 atau 3 tahap tambahan di mana elo diminta wawancara dengan bossnya HR, bossnya user, atau dengan big boss – biasanya terjadi di perusahaan kecil. Jadi maksimal elu mondar-mandir untuk keperluan melamar kerja adalah 6 kali. Nah kalo elo ketemu kantor yang meminta lo dateng untuk interview doang, habis itu psikotesnya di hari lain, habis itu di hari lainnya interview lagi dengan orang lain, habis itu “eh iya ada yang lupa ditanyain” dan lantas lo harus dateng lagi minggu depannya untuk wawancara lanjutan, baru abis itu wawancara dengan boss, terus minggu depannya lagi wawancara dengan boss yang lain lagi, baru abis itu tes kesehatan, terus “oh iya ada lagi ding yang kelupaan ditanya” sehingga lo harus wawancara dengan HR lagi… – warning – lo sedang berhadapan dengan perusahaan bingung. Kondisi kayak gini mengindikasikan ada masalah dalam pembagian wewenang pengambilan keputusan di perusahaan tersebut. Lo diminta dateng berkali-kali dan ketemu dengan orang yang berbeda-beda karena nggak ada satu orang yang punya cukup nyali untuk bertanggung jawab atas keputusan menghire elu. Maksudnya kalo elu ternyata bertingkah setelah dihire jadi pegawai, biar nggak ada satu orang yang jadi kambing hitam, gitu. Makanya wawancaranya jadi tanggung renteng gitu. Pertanyaannya, lagi-lagi, kalo untuk mengambil keputusan menghire seseorang aja segitu ribetnya, gimana dengan pengambilan keputusan untuk urusan lain yang lebih penting dan genting? Selain itu, kembali pada poin pertama, mereka juga kurang menghargai waktu, biaya dan tenaga yang harus lo keluarkan untuk dateng ke kantor mereka. 4. Lo ditawar pada pertemuan pertama Wawancara tahap pertama adalah saringan awal untuk memilih calon pegawai yang paling potensial.Kalo baru pada pertemuan pertama concern mereka terpaku pada gaji yang lo ajukan seperti “bisa turun nggak nih?” atau “negotiable nggak nih?” atau yang ngeselin “minta gajinya gede amat mas. bisa turun nggak?” – warning – mereka nggak peduli pada kualitas elo sebagai pegawai. Mereka cuma ingin cari tenaga murah. Tapi berita baiknya, kalo perusahaan yang lo lamar termasuk tipe yang begini, maka ada satu kiat jitu yang PASTI berhasil, yaitu jawab aja dengan “Saya GRATIS pak, nggak usah digaji, soalnya tadi saya liat rumput di depan seger2.” Bukannya ‘haram’ untuk menanyakan apakah gaji yang lo minta itu negotiable pada pertemuan pertama, tapi bedakan antara yang sekedar nanya dengan yang maksa “kurang dikit dong mas!” 5. Lo diajak bersekongkol Yang ini pengalaman pribadi gue nih. Di salah satu perusahaan sebelum kantor gue yang sekarang, masa HR managernya bilang gini, “Agung, tolong kalau kamu masuk tanggal 1 nanti, bilang sama orang-orang bahwa kamu udah mulai interview dengan saya sejak 2 bulan sebelumnya ya.” Gue, tentu aja bingung mendengar permintaan aneh ini, mengingat wawancara pertama cuma berjarak 1 bulan dari tanggal masuk gue. “Nggak papa, sekedar supaya nggak heboh aja karena ada orang baru.” Sebuah jawaban yang nggak memuaskan, tapi waktu itu gue pikir, ‘ah ini kan cuma soal kecil’. Ternyata… setelah gue masuk baru ketauan bahwa alur komunikasi si boss dengan para bawahannya sangat parah. Lingkungan kantor dipenuhi desas-desus, termasuk tentang kehadiran gue. Parahnya, si boss sama sekali nggak bernyali untuk menghadapi para karyawan, minimal menjelaskan biar lurus, dan membantah isu yang ngaco. Kalo ada isu negatif ya begitulah yang dia lakukan, berusaha menutup-nutupi dengan kebohongan yang sayangnya kurang cerdas. Puncaknya, baru sebulan gue kerja di perusahaan tersebut, si boss yang ngajak sekongkolan tadi mendadak “resign” secara misterius karena baru ketahuan pernah melakukan sebuah kesalahan fatal yang menyebabkan perusahaan harus berurusan dengan pengadilan. Perusahaan yang mengajak lo menutup-nutupi sesuatu mengindikasikan bahwa mereka kesulitan mengelola iklim kerja. Dan seperti yang pernah gue sebut di sini, jangan kira tawaran paket remunerasi yang menarik bisa mengkompensasi iklim kerja yang parah.

33 comments


  1. mas agunk.. saya mau nanya bisa gak ?saya udah terlanjut tanda tangan kontrak sama perusahaan XXX yang mengharuskan saya untuk ninggalin ijazah asli saya..sebetulnya kontrak kayak gini boleh gak sih ama hukum ? kalo saya mau nuntut balik untuk minta ngebalikin ijazah bisa apa gak yaa ??thankss mas agunk !!


  2. hhhmm….keknya tips ini perlu deh gung buat hrd di kantor guesecara ya …yg biasanya manggil orang untuk dept gue itu, ya gue sendiri, langsung interview sama bos gue, langsung nawar gaji, mulai masuk kerja sesuai permintaan bos gue. jadi kadang hrd malah nanya’ data karyawan ke gue ….HEEE ?????? 😀


  3. huhuhu…tHx U infonya…mau nambahin , jgn tertipu dng perusahaan2 yg sudah punya nama “besar ” or perusahan asing , berdasarkan pengalaman ada perusahaan yg seperti itu sistem kepegawaiannya parah alias gak jelas dan kebanyakan pakai sistem out sourcing…huh…


  4. kalo yg minta ijasah asli, menurutku, tergolong “pelanggaran HAM”. aku dulu kerja pertama (1995), baru 4 hari kerja, udah dipercaya bos mencairkan cek Rp 5 juta, ngambilnya pake mobil sedan punya manajer keuangan. *padahal itu perusahaan bukan sodara 😀

Tinggalkan Balasan