kar dari akar segala permasalahannya adalah karena di kantor gue sangat minus cewek. Yah maklum namanya bank pasar, di mana para tellernya harus berkeliling pasar becek untuk menagih cicilan, jarang cewek yang berminat masuk sini. Hukum alam berbunyi, setiap orang yang mengalami kekurangan dalam suatu hal, akan:
- merasa kegirangan yang berlebihan saat mendapat hal yang kurang tersebut
- menurunkan standar, tiap kali ketemu hal yang kurang tersebut sekalipun dalam kualitas “biasa” atau “ngepas” sekalipun dinilai “bagus” atau “hebat” banget.
Kebetulan, di lantai 6 gedung kantor gue bersarang sebuah perusahaan kosmetika terkemuka yang tau sendiri baik karyawan maupun karyawatinya tampil modis dan cantik setiap hari. Iya, gue nggak salah tulis, termasuk karyawannya juga yang tampil cantik dan modis. Setiap kali temen2 gue naik lift turun dari lantai 18, mereka berharap-harap liftnya berhenti sebentar di lantai 6 sekedar supaya bisa ngeliat barang satu atau dua orang karyawati sana yang kebetulan lewat. Syukur2 kalo ada yang ikutan naik dalam lift. Menyedihkan, memang.
Pernah suatu hari, lift yang mereka tumpangi berhenti di lantai 6 dan pria-pria gersang ini udah langsung girang, “Yes! Lantai 6 berhenti! Yes! Sip!” dan nggak lama kemudian masuklah… seorang mas-mas bertampang lugu, nampaknya habis ngantar dokumen. Nyaris gak tega gue liat wajah2 kecewa yang muncul sesudahnya.
Beberapa bulan yang lalu, temen-temen gue menemukan seorang karyawati perusahaan kosmetik itu yang menurut mereka kecantikannya di atas rata-rata. Karena cewek ini berambut kriting, maka mereka menjulukinya “si kriwil”.
Setiap hari ada aja cerita mereka tentang si kriwil, khususnya di jam-jam setelah makan siang.
Mulai dari yang sekedar laporan pandangan mata seperti: “Eh gue hari ketemu si kriwil lho bareng temennya. Wah gila, hari ini roknya pendek banget, yahud man!”
Atau yang berbau fantasi seperti “Si kriwil itu boncengannya… ck ck ck…”
Sampe yang rada-rada berbau halusinasi seperti “Gue tadi bareng sama kriwil di lift, dia kayaknya senyum loh sama gue!”
Saking terangnya pesona si kriwil, temen2 gue sampe mengumumkan berdirinya “KFC” yaitu “Kriwil Fans Club”. Tadinya mereka mau bikin kaos segala, tapi setelah dipikir2 kesulitan mencari foto si kriwil untuk dicetak di atas kaos tersebut. Selain menimbulkan kegilaan sesaat, ada juga dampak positif dari kemunculan si kriwil yaitu ada satu orang yang tadinya berprinsip “selama masih percaya dan ingat Allah nggak perlu sholat karena Allah maha tau apa yang ada dalam hati” mendadak jadi ikutan sholat ashar di musholla sekedar berharap ketemu sama kriwil!
Gue sendiri belum pernah ngeliat kayak apa si kriwil ini, sampai hari ini.
Hari ini gue turun makan siang bareng empat orang temen dengan komposisi: 1 orang cewek yang udah mendekati eneg denger kata “kriwil” berkumandang setiap hari, 1 orang anggota KFC, 1 orang lagi belum tau apa-apa karena jarang makan siang bareng, dan yang terakhir, the one and only, the amazing Om Jo.
Kami berlima naik dalam lift yang udah setengah penuh. Lift bergerak turun, dan seperti biasa, si anggota KFC mulai gelisah “ayo brenti di 6 dong, brenti dong…” dan yak! Bener aja, lift berhenti di lantai 6. Pintu lift terbuka, dan masuklah seorang cewek bertubuh mungil berambut kriting salon warna pirang buceri. Ngeliat dari reaksi si anggota KFC yang mendadak gelisah, kayaknya inilah dia yang namanya si kriwil. Temen gue yang anggota KFC itu langsung tega-tegaan nyuruh beberapa orang penumpang lain untuk berdiri lebih mepet ke dinding biar kriwil bisa dapet tempat agak lowong.
And you know what… nggak sampe semenit si kriwil masuk, di tengah lift yang penuh sesak itu, nyeletuklah si Oom Jo, seperti biasa dengan logat campuran yang sebagian betawi sebagian lagi entah apa:
“OOOH… INI YE, YANG NAMANYE SI KRIWIL…”
Entah karena udah denger bocoran sebelumnya bahwa dirinya disebut “kriwil”, atau sekedar sadar diri karena merasa berambut kriwil, si kriwil langsung noleh ke arah kami semua dan senyum-senyum ge-er.
Sementara si anggota KFC mendadak langsung berusaha mengecil-ngecilkan badan di balik kerumunan, saking nggak kuat menahan tengsin.

Ada komentar?