Di rumah, ibu seperti wolverine!

Keputusan untuk memulangkan ibu dari rumah sakit di awal Juni lalu sebenernya sangat dilematis. Di satu sisi, kondisi ibu masih jauh dari sembuh dan di Makassar ibu ditangani tim dokter yang kinerjanya sangat memuaskan. Seharusnya ibu masih terus dirawat di sana. Tapi di sisi lain, ibu nampak stress ingin segera pulang ke Jakarta. Kalau sedang demam tinggi, kadang ibu mengingau ngomong sama kursi kosong seolah-olah salah satu anaknya dari Jakarta duduk di situ. Dari hari ke hari kondisi ibu fluktuatif. Kalo hari ini nampak membaik, bisa ngobrol dan ketawa-ketawa, besokannya bisa tiba2 panas tinggi hingga lewat dari 39oC dan mengigau.

Akhirnya, tanggal 9 Juni kami mengambil keputusan berat itu: memulangkan ibu ke Jakarta. Sebuah perjalanan yang sangat sulit mengingat masih ada bekas operasi yang belum mengering di tangan kanan dan kaki kiri ibu. Tangan dan kaki yang sakit itu bengkak parah Jangankan digerakkan, kesenggol bantal aja ibu bisa berteriak-teriak kesakitan. Bayangin effort yang harus dikeluarkan untuk mengangkut ibu dari RS ke airport, memapah naik ke pesawat, menurunkannya lagi, menaikkan ke mobil dan menurunkan dari mobil sesampainya di rumah di Jakarta.

Waktu ibu sampai di Jakarta, kami anak-anaknya sempet berunding mempertimbangkan perlu atau enggaknya menyewa tenaga perawat profesional untuk merawat ibu di rumah. Kalau ditimbang dari segi kebutuhan, kehadiran seorang perawat jelas sangat perlu karena nggak ada seorangpun di antara kami yang berpengalaman merawat pasien dalam kondisi sulit bergerak seperti ibu. Tapi kami juga mempertimbangkan faktor psikologis ibu yang sebagaimana umumnya orang tua udah nggak mudah lagi beradaptasi dengan kehadiran orang baru. Gimana kalo ternyata perawat yang kami hire kurang berkenan di hati ibu? Atau, gimana kalau ibu malah merasa anak2nya udah nggak sudi lagi merawatnya sehingga menyerahkannya ke tangan suster? Bisa-bisa malah bikin ibu tambah stress! Akhirnya dengan mengucap bismillah, kami memutuskan untuk mencoba merawat ibu sendiri.

Kami langsung saling membagi tugas. Kakak gue yang nomer dua bertugas menyiapkan sarapan dan memandikan ibu, bergantian dengan kakak gue yang nomer satu. Ida juga membantu, memasak dan menyiapkan makanan buat ibu. Siang hari, keponakan2 gue yang baru pulang sekolah berkumpul di kamar ibu, tidur-tiduran sambil ngoceh cerita pengalaman mereka hari itu. Malem, giliran gue dan Ida atau kakak gue yang nomer dua tidur di kamar ibu. Praktis 24 jam sehari ibu dikelilingi anak dan cucu.

Bagaimana dengan gue?

Gue, dapet tugas mengganti perban ibu dua kali sehari, cek gula darah, menyuntik insulin, plus urusan angkat-mengangkat ibu rute tempat tidur – kursi roda P.P. Awalnya, urusan ganti perban cukup stressful juga buat gue karena sumpah deh, luka bekas operasi ibu khususnya yang di tangan tuh ngeri banget. Diameternya lebih dari 1 cm gitu, dan tiap kali perban dibuka ada darah segar mengucur. Kakak2 gue plus Ida pada takut darah, khususnya kakak gue yang nomer dua: dia kayaknya udah masuk kategori ‘phobia‘ karena tiap kali liat darah dia menunjukkan gejala2 mau pingsan. Jadi nggak ada pilihan lain kecuali gue – yang mana juga nggak terlalu tega juga sih liat darah, tapi masih mendingan lah ketimbang mereka. Minimal gue pernah belajar tentang phobia dan panic attack jadi bisa mengindoktrinasi diri sendiri supaya nggak panik saat liat darah kayak air ngucur dari keran gitu.

Walaupun sekilas kelihatan sepele, tapi proses merawat orang sakit bener2 bukan hal yang gampang bagi sekumpulan orang yang nggak berpengalaman seperti kami. Proses mengantar ibu ke dokter untuk pertama kalinya, misalnya, berjalan sangat heboh dan sulit. Waktu mau memindahkan ibu dari kursi roda ke mobil, gue yang kebagian tugas mengangkat ibu jadi serba salah karena pintu mobil membentuk sudut sempit yang sulit dimasuki oleh kursi roda. Hasilnya, pulang dari dokter pinggang gue keseleo dan kami jadi berkhayal, “coba punya mobil Toyota Alphard ya… kan enak, pintunya geser…”

Tapi hari demi hari, proses berjalan semakin mudah. Dari terapis yang datang untuk memberikan fisioterapi, kami belajar gimana cara mengangkat dan memindahkan ibu secara lebih cepat, aman dan nyaman. Gue mulai mendapati kegiatan ganti-mengganti perban sebagai kegiatan yang seru. Kayak main dokter2an, gitu. Gue pake masker kayak yang dipake dokter kalo mau operasi, pake sarung tangan karet yang steril, dengan dalih supaya luka ibu nggak kemasukan kuman – padahal diem2 ada faktor “supaya pengalaman dokter2annya lebih real” aja sih…. hehehe…

Mungkin karena faktor psikologis berada di rumah dan dikelilingi orang-orang yang dekat dengannya, perbaikan kondisi ibu berjalan melebihi ekspektasi kami. Misalnya luka bekas operasi itu. Dokter di Makassar memperkirakan, dengan pertumbuhan kulit baru sekian milimeter per hari, luka sebesar itu baru akan menutup dalam 2 bulan. Nyatanya, baru dua minggu ibu di rumah, gue sebagai tukang ganti perban mulai kesulitan memasukkan gulungan perban ke luka ibu karena ukuran luka yang semakin mengecil. Di akhir bulan Juni kemarin, alias baru 3 minggu sejak kepulangan ibu, gue takjub mendapati luka ibu udah sepenuhnya menutup!

Suhu ibu juga berangsur-angsur normal. Sebisa mungkin gue menekan penggunaan obat penurun panas, jadi begitu suhu ibu udah melewati 37,5oC ibu gue kasih 4 butir VCO kapsul. Tadinya ibu protes karena merasa lebih yakin pada obat ketimbang VCO, tapi gue bilang, “Ya udah, coba dulu minum VCO, kalo dalam 1 jam panasnya nggak turun baru minum obat deh…” Entah memang karena khasiat VCO atau karena sugesti ngeliat gue yang ngomong dengan stil yakin banget, biasanya cukup dengan minum VCO panas ibu merosot ke level di bawah 37,5oC. 

Di bawah pengawasan mas fisioterapis, ibu juga terus berlatih menggerakkan tangan dan kaki. Setiap malem ibu gue tanya, “Udah bisa apa hari ini?” Kemajuan-kemajuan kecil seperti gerakan mengangkat tangan secara horisontal atau memegang kue sendiri jadi momen istimewa. Gue menyemangati ibu dengan cara membandingkan kemajuan yang berhasil dicapai dengan kondisi sebelumnya, seperti “Inget nggak, waktu baru sampe Jakarta, cuma kesenggol bantal aja udah sakit, sekarang bisa megang gelas sendiri. Hebat, kan? Ayo latihan terus bu.” Selain itu, foto2 ibu selama di RS di Makassar gue tayangin ke tivi dan gue komentarin, “Liat tuh bu, dulu ibu kayak gitu kondisinya… hiiy ngeri banget…. coba liat sekarang, jauh banget kan kemajuannya?” Kadang kalo lagi timbul putus asanya, ibu suka bilang, “Nanti kalo anakmu lahir, apa aku bisa ya nengok ke rumah sakit pake kursi roda?” yang gue jawab dengan “Lah, ngapain pake kursi roda, bulan November ibu kan udah bisa jalan!”

Rupanya cara motivasi seperti ini lebih berkenan buat ibu, sampe ibu pernah bilang “Orang sedunia* pada ngoprak-oprak (ngejar-ngejar) aku, suruh cepet sembuh, cepet bisa jalan, cuma Agung yang memberi semangat.” Diam2 ternyata ibu bete kalo ada orang yang mencoba menyemangati dengan mengatakan hal-hal seperti “Ayo bu, cepet sembuh, biar kita bisa cepet jalan-jalan lagi” atau “Cepet sembuh dong bu, kan bosen di tempat tidur terus?” karena buat ibu terasa seperti pressure, seperti target yang harus cepet diraih. “Emangnya siapa sih yang nggak mau cepet bisa jalan, tapi apa lu nggak tau, gue udah berusaha tapi kondisi gue masih seperti ini” mungkin begitu yang ada di benak ibu. Jadi pelajaran yang bisa gue tarik saat menangani orang sakit adalah,

Hargai kemajuan sekecil apapun yang udah berhasil dicapai, dan jangan membebani pikiran pasien dengan target muluk yang nggak usah diomongin juga semua orang sakit ingin mencapainya.

 

Hari ini, ibu kembali membuat milestone karena berhasil jalan mengelilingi meja makan. Memang masih dengan dipengangin oleh mas fisioterapis dan sebelah tangan masih berpegangan ke meja, tapi ini sebuah lompatan besar untuk sebuah kondisi yang menurut dokter di Makassar “lukanya aja baru akan kering setelah 2 bulan”.

Saat didudukkan kembali ke kursi roda, ibu menengok ke sepasang sandalnya yang teronggok di sudut ruangan dan bilang ke Lis, asistennya urusan sapu menyapu, “Lis, tolong sandalku itu dibersihin ya, kali-kali aku sebentar lagi butuh untuk jalan…”

Ternyata, dirawat di rumah bikin ibu seperti Wolverine** 🙂

*ya, ibu juga suka hiperbola seperti anaknya.
**tokoh komik yang memiliki ‘healing factor’ sehingga kalau cedera bisa langsung sembuh. Gambar Wolverine (kiri) lagi lawan Sabretooth(kanan) di atas adalah karya Jim Lee, gue ambil dari sini.

53 comments


  1. waaa senangnya! mungkin karena anaknya demen baca komik, ibu jadi punya kekuatan wolverine? tapi emang kalo ngerawat orang tua yang sakit biasanya progressnya lebih baik kalo dirawat sama anak-anaknya…jadi nambah skill dong ya gung? handling sick elders… kapan mo dijurnalin? =)


  2. mbot said: Gue, dapet tugas mengganti perban ibu dua kali sehari, cek gula darah, menyuntik insulin,

    selain agung, aku sekarang juga udah mulai berani nyuntik ibu lho.. :-)) *kemajuan yg sangat membanggakan buat seorang ida yg takut darah dan suntik*tadinya takuuut bgt, gimana enggak, wong ngeliat jarum suntik or aku harus disuntik aja bikin ngeriii.. eehh, tau2 kepepet, agung lagi nggak ada di rumah sedangkan ibu harus disuntik segera.. *fiiiuuh*Ternyata lama2 acara menyuntik terasa senengnya.. :-))pertama2 dipas-in dulu dosis insulinnya, berapa ml, trus buka suntikan, basahin kapas beralkohol ke tempat yg harus disuntik, biasanya lengan atas atau perut, trus mulai deh menusuk… cuuuuuuuussssssss…. tekan bagian atas suntikan sampai cairan habis, trus cabut alat suntik, basahin lagi permukaan yg habis disuntik dengan kapas beralkohol, BERES deh!! :-)))aku juga jadi main dokter2an deh.. hehehe..yg aku belom berani ampe sekarang tuh ngecek gula darah ibu..takut liat darah segar ngucur dari jari tangan ibu.. :-(((((


  3. jadi inget dulu gw ikut2an panik waktu umi dan keluarga besar merawat alm. kakek.apalagi kakek itu tingginya hampir 190, tinggi besar. untung sembuhnya juga cepet.semoga cepet sembuh ya gung. salam buat ibunda : )


  4. Aku sangka….cakar-cakaran waktu mau gantiin perbannya.Ternyata proses sembuh Ibu nya Mas Agung yang cepat. Senang mendengar kabar baik ini. Jangan-jangan karena VCO tuh… wahh.boleh donk…(dulu pernah mau pesen tapi batal di follow up).Ntar coba di follow up lagi aahh.


  5. hebat agung…!!! salam buat ibunya ya.. salam buat ida juga…heheheh..btw…gung kata adik gw, yang ketemu di RS Tambak…”gak sangka ya…agung tampangnya…******(sensor) tapi dari omongannya ketauan ilmunya banyak…”heheheheheheheeeee


  6. mbot said: apalagi kalo diinget effort ibu membesarkan kami berempat sendirian setelah bapak meninggal th 83. waktu itu kakak yang terbesar baru kuliah semester 4.

    Ibunya Mas hebaaaaaaaaaaaat! Titip salam hormatku ya Mas 🙂


  7. mbot said: apalagi kalo diinget effort ibu membesarkan kami berempat sendirian setelah bapak meninggal th 83. waktu itu kakak yang terbesar baru kuliah semester 4.

    jadi pantas kalau surga ada dibawah telapak kaki ibu…lekas sembuh ibu wolfie …..


  8. ya betul, yang bisa kita lakukan cuma sedikit memperkecil gap antara yang udah kita terima dari orang tua dengan yang kita berikan.——————————————————————————sebenarnya kalo memang ada gap (seperti istilahnya mas mbot) pastilah gap itu akan selalu membesar dan tak akan pernah mengecil………kita nggak akn pernah bisa memperkecilnya mas…..hiks…hiks…hiks…..*jadiberkacakacanihingetmama*


  9. reipras94 said: kita nggak akan pernah dapat membalas kebaikan orang tua walau dengan nyawa kita sekalipun…

    ya betul, yang bisa kita lakukan cuma sedikit memperkecil gap antara yang udah kita terima dari orang tua dengan yang kita berikan.


  10. imazahra said: sama pengasihnya seperti ibu

    belum imbang lah ma, apalagi kalo diinget effort ibu membesarkan kami berempat sendirian setelah bapak meninggal th 83. waktu itu kakak yang terbesar baru kuliah semester 4.


  11. tahun 2004 lalu ibuku juga ngalamin patah tulang di pangkal paha sebelah kiri, jadinya terpaksa harus dioperasi dan pasang pen yg bentuknya seperti garputala melengkung, dulu selama beberapa bulan hanya bisa telentang di kasur dan duduk di kursi roda dan tiap bulan harus control ke RS tapi kini Alhamdulillah sudah bisa berjalan tanpa bantuan alat walaupun masih tertatih-tatih………anggaplah apa yg sudah dilakukan mas agung dan keluarga untuk berusaha menyembuhkan ibu sebagai balas budi kepada ibu yg telah merawat dan membesarkan kita….meskipun kita tahu bahwa kita nggak akan pernah dapat membalas kebaikan orang tua walau dengan nyawa kita sekalipun……..semoga cepat sembuh yah mas ibunya……


  12. mbot said: Kakak2 gue plus Ida pada takut darah, khususnya kakak gue yang nomer dua: dia kayaknya udah masuk kategori ‘phobia’ karena tiap kali liat darah dia menunjukkan gejala2 mau pingsan.

    Gue banget nih :)))Salut buat Agung. Terharu dengan sikap Agung yang luar biasa.


  13. imazahra said: Subhanallah, Mas Agung sekeluarga telaten banget yah ngurusin Ibu *tercenung dalam* begitu ya cinta seorang anak pada ibu *kandungnya*, sama pengasihnya seperti ibu yg maha pengasih *srooooooooot, apus airmata* huhuhuhuhu…, aku terharuuuuuuuu…

    *hug Ima*


  14. Subhanallah, Mas Agung sekeluarga telaten banget yah ngurusin Ibu *tercenung dalam* begitu ya cinta seorang anak pada ibu *kandungnya*, sama pengasihnya seperti ibu yg maha pengasih *srooooooooot, apus airmata* huhuhuhuhu…, aku terharuuuuuuuu…Makasih udah sharing kisahnya Mas, luar biasa!!!