
Berhubung dokternya di Jakarta udah jelas nggak bisa diandalkan (baca lengkapnya di sini), maka kami mencari-cari referensi dokter internis yang baru. Lucunya, dari sekian tamu yang datang menjenguk, hampir semuanya kompakan menyebutkan nama seorang dokter di sebuah RS besar di Kuningan. Dokter senior ini disebut-sebut sebagai dokter yang handal, telaten menghadapi pasien, dan sabar menjawab berbagai pertanyaan. Setelah merasakan pelayanan para dokter di RS Stella Maris Makassar yang sangat komunikatif itu, kami merasa faktor ini penting buat kami. Itulah sebabnya kami langsung mendaftarkan ibu untuk berobat ke sana.
Jum’at sore 16 Juni, gue ikutan rombongan kakak2 gue mengantar ibu ke dokter. Ibu dapet giliran nomor 13. Berhubung semua orang yang pernah berobat pada si dokter menceritakan betapa panjangnya antrian pasien di sana, maka kami dateng lebih awal. Jam 1/2 7 udah nongkrong di ruang tunggu.
Tunggu punya tunggu, wah kayaknya bener nih dokter sabar menjawab pertanyaan pasien. Sebab gue itung2, setiap pasien menghabiskan waktu sekitar 20 menitan di dalam. Ibu dapet nomer 13, berarti 13 x 20 menit= 260 menit alias hampir 4 setengah jam!
Untungnya waktu kami dateng udah ada beberapa pasien yang masuk, ditambah lagi ada pasien yang telat dateng sehingga kami ‘beruntung’ bisa masuk jam 9 lewat.
Pemeriksaan dimulai.
Hmm… dari awalnya kayaknya nggak percuma si dokter ini menyandang nama besar. Seluruh data kesehatan ibu dari RS di Makassar dicatat dan diperhatikan dengan teliti. Habis itu giliran kami nanya2.
Secara umum pertanyaan dijawab secara memuaskan, sampe akhirnya kakak gue mengajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut,
“Dokter, ini gimana ya, ibu kok nafsu makannya menurun jauh sekali… apa-apa nggak doyan… gimana solusinya ya?”
Yang dijawab si dokter dengan “Ya ikuti aja porsi makanan waktu di rumah sakit dulu, jangan dikurangi dari porsi itu!”
Lho? Bentar.. bentar.. kayaknya tulalit deh – nggak nyambung antara pertanyaan dan jawaban.
“Justru yang kita bingung, krn ibu nggak doyan makan apapun Dok, boro-boro ngikutin porsi di RS, orang makannya suka nggak habis kok!” kakak gue berusaha menjelaskan.
“Ya itu dia maksud saya, sekarang ini ibu boleh makan apa saja, ibu ingin makan apa saja boleh, jangan dikurang-kurangi, jangan dilarang-larang karena takut gula darah naik!” Idiiih… siapa yang ngurang2in porsi sih…
“Masalahnya Dok, ibu-nya yang nggak doyan makan, bukan kita yang ngurangin makanan ibu! Justru kita mau nanya ada nggak vitamin atau apa gitu yang bisa nambah nafsu makan ibu.”
Dokter terdiam sejenak, nampak jengkel seperti orang yang lagi ngajak omong keledai amnesia.
“Begini ya. Pokoknya sekarang ini yang penting ibu makan yang cukup. Jangan dikurangi porsinya. Apa saja yang ibu ingin boleh, asalkan jangan berlebihan. Sekarang saya tanya coba, Ibu ingin makan apa?” si Dokter masih dengan tulalitnya bertanya kepada Ibu.
“Hmmm… apa ya dok? Rasanya nggak kepingin apa2 tuh.” jawab Ibu jujur.
“Ya itulah seperti kata saya tadi, apa saja boleh! Asalkan porsinya jangan berlebih-lebihan.”
aaarrggghhh…. 

Setelah keluar dari ruang periksa dokter, kakak gue ngomel2. “Tuh dokter bego atau budeg sih, ditanya apa jawabnya apa – nggak nyambung sama sekali. Atau jangan2 pertanyaan gue yang salah ya?”
Sedangkan kalo menurut ‘analisa psikologis’ gue ada beberapa kemungkinan kenapa dokter itu tulalit:
- Si dokter udah punya mindset bahwa keluarga di sekitar penderita diabetes selalu berusaha mengurangi porsi makan pasien karena kuatir gula daerah pasien melonjak. Saat ditanya “kenapa ibu nggak doyan makan” yang terdengar oleh dokter adalah “seberapa banyak ibu boleh makan”
- Si dokter awalnya salah denger dan belakangan menyadari kesalahannya, tapi udah kadung tengsin / gengsi untuk meralat.
- Si dokter awalnya salah denger, dan kondisi ini berlanjut hingga akhir (dengan kata lain emang bolot tulen).
- Si dokter emang bego.
- Gabungan dari poin 1-4.
Yang jelas, pesan moralnya adalah:

Tinggalkan Balasan ke cindil Batalkan balasan