agung si mbot nugroho di stockholm public library

Gue dan Perjuangan untuk Kembali Jadi Kecoa Buku

Iklan

Kalo ditanya orang, atau diminta ngisi formulir data diri, salah satu jawaban gue untuk pertanyaan tentang hobi selalu “baca”. Padahal, apa iya?

Memang iya, kok. Tapi, ternyata, itu dulu. Dan gue baru sadar diri belakangan ini, bahwa sebenernya udah nggak layak lagi ngaku-ngaku hobi baca.

Begini maksudnya:

Awalnya: Rajin Baca

Gue suka baca sejak mulai bisa baca. Kelas 4 SD gue bisa menamatkan 1 novel Agatha Christie dalam sehari. Karya-karya Willard Price, Sidney Sheldon, Frederick Forsyth, juga jadi santapan rutin. Tentunya nggak ketinggalan bacaan wajib bocil-bocil era itu: berbagai serial karya Enid Blyton seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Seri Petualangan, sampai kisah Si Kembar di St Clare (sekalipun jelas gue bukan termasuk target marketnya Bu Enyd untuk seri ini 🤣). Dari dalam negeri, karya-karya Marga T, S Mara Gd sampe Arswendo Atmowiloto juga jadi koleksi. Sempet nyobain juga baca karya-karya surealisnya Danarto atau Putu Wijaya, walau tiap selesai baca mabok karena daya tangkap sebagai seorang bocah SD masih belum nyandak. Doyan banget baca serial Noni karya Bung Smas, seru dan unik banget. Kok belum ada yang kepikiran ngangkat cerita ini ke film ya? Serial Penjelajah Antariksa karya Djokolelono juga gue suka, tapi baru baca sampe buku ketiga. Barusan googling ternyata cerita lengkapnya sampe buku ketujuh ya. Apakah ini artinya gue harus beli?

Waktu SMP gue tergila-gila sama Lupusnya Hilman Hariwijaya dan di bangku SMA mulai terkagum-kagum sama John Grisham. Waktu itu gue nggak habis pikir, gimana bisa proses persidangan yang harusnya ngebosenin bisa diracik jadi cerita yang seru abis. Juga sama Michael Crichton karena jago banget menghidupkan latar belakang keilmuan yang berbeda-beda di setiap novelnya. Dia sendiri seorang dokter, tapi bisa mengupas latar belakang perang ekonomi Amerika – Jepang di Rising Sun, arkeologi di Kongo, fisika kuantum dan psikologi di Sphere, sampe rekayasa genetik di Jurassic Park.

Menjadi Kecoa Buku

Waktu kuliah gue pernah liburan 2 minggu di Bandung dan girang banget saat menemukan ada tempat yang menyewakan buku. Namanya Taman Bacaan Hendra dan masih ada sampe sekarang.

Nih kalo mau mampir ke IG Taman Bacaan Hendra. Btw gue punya nih novel Cell ini. Tapi biasalah… belum dibaca 😒

Waktu itu kita bisa nyewa buku seharga 10% dari harga jual bukunya. Jadi dengan anggaran 1 buku, kita bisa baca 10 buku! Entah sekarang berapa tarifnya ya, apakah masih sama atau enggak. Akibatnya waktu itu udah jauh-jauh nyampe Bandung bukannya jalan-jalan malah menimbun diri dengan buku sewaan dari Taman Bacaan Hendra. Pokoknya gue setingkat lebih parah stadiumnya dari sekadar kutu buku. Mungkin di level kecoa buku.

Sampai kira-kira 10 tahun pertama di tahun 2000an gue masih bisalah ngaku-ngaku hobi baca secara sah. Mulai kenalan sama Mary Higgins Clark yang tulisannya ibarat Agatha Christie versi film action. Tentunya sama J.K. Rowling juga. Asal tau aja ya, gue dan orang-orang yang baca Harry Potter di masa penerbitan edisi pertamanya punya tingkat penasaran dan ketegangan yang lebih tinggi, karena waktu itu kita nggak tau apakah J.K Rowling cukup panjang umur untuk menyelesaikan seluruh ceritanya. Gimana kalo masa tinggalnya di dunia habis sebelum ceritanya tamat? Jutaan pembaca jadi kentang penasaran sama endingnya. Serem kan.

Di masa itu juga sempet kegocek Dan Brown yang jago banget mencampur aduk fakta dan fiksi di Da Vinci Code. Kalo dipikir lucu banget, orang-orang pada serius banget debat sampe berurat soal “kekeliruan fakta” di buku Da Vinci Code, padahal buku itu kan novel fiksi, bukan disertasi ilmiah. Ya terserah penulisnya dong mau masukin fakta atau imajinasi sebagai latar belakangnya 😂

Lalu: Rajin Beli (Doang)

Gak jelas kapan mulainya, tiba-tiba aja gue nggak punya waktu untuk baca buku.

Mungkin karena kerjaan di kantor yang makin numpuk, mungkin juga bosen atau nggak tertarik lagi ngikutin dunia penerbitan buku. Pokoknya tiba-tiba gue merasa nggak nyambung lagi dengan buku. Mungkin andaikan buku-buku itu bisa ngomong, bakalan bilang:

Yang jadi masalah adalah: menurunnya intensitas baca buku nggak dibarengi penurunan intensitas beli buku. Jadi setiap kali jalan-jalan ke toko buku, selalu ada aja buku-buku yang nampak menarik dan akhirnya gue tenteng ke kasir. Sampe rumah kadang baru gue baca satu dua halaman trus nggak sempet ngelanjutin dan akhirnya keselip entah ke mana.

Pernah ada kejadian paling ironis dan mengenaskan: sebagai orang yang merasa rumahnya berantakan pernah beli bukunya Marie Kondo, si ibu-ibu Jepang yang jago beberes itu. Tujuannya tentu agar dapet inspirasi gimana caranya bisa punya rumah yang rapi. Eh baru kebaca 5 halaman bukunya udah ilang keselip entah di gundukan yang mana di rumah yang berantakan ini.

Intinya, di rumah gue ini banyak buku mubazir. Bukan mau nyombong atau riya, sekadar ilustrasi betapa gawatnya belitan masalah perbukuan ini, berikut adalah penampakan sebagian kecil dari koleksi buku gue:

Ini belum sampe 10% dari buku-buku yang ada di rumah gue, dan 90%-nya belum dibaca tuntas. Bahkan ada yang belum dibuka dari plastiknya. Dan ternyata “penyakit” ini ada namanya lho, yaitu “tsundoku” (bahasa Jepang). Kalo diartikan secara harfiah, “doku” = membaca dan “tsumu” = menimbun. Jadi orang-orang yang seneng beli buku tapi nggak dibaca itu namanya punya kebaiasaan tsundoku. Buat kalian yang senasib, bisa baca artikel tentang tsundoku di sini.

Kenapa Tumpukan Buku yang Nggak Dibaca adalah Masalah

Pertama, tentunya karena mubazir secara uang.

Walaupun ada yang hasil pemberian dari orang, tapi sebagian besar gue beli sendiri. Pake uang, bukan pake daun. Capek-capek nyari duit, begitu dapet malah dipake buat beli buku yang cuma menuhin rumah. Mubazir kan?

Kedua, mubazir secara ilmu.

Ada banyak orang yang sebenernya hobi membaca tapi nggak punya akses ke buku. Di beberapa daerah, anak-anak yang haus bacaan sampe menyambut meriah perpustakaan keliling seperti ini:

Sementara di rumah gue ada ratusan, bahkan mungkin ribuan buku yang nganggur belum dibaca. Sedih kan… 😢

Gue sadar diri, jumlah bacaan berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Kalau otak adalah spons, bacaan adalah air yang meresap ke dalamnya dan tulisan adalah air yang diperas dari dalamnya. Ini mungkin penyebab kenapa gue yang di awal pembuatan blog ini bisa produktif banget posting sampai ratusan judul per tahun, tapi belakangan bikin target 100 posting per tahun aja gagal. Asupan air ke dalam spons otak gue kurang, jadinya sekarang kering, keras, dan kisut. Referensi-referensi yang ada di otak gue udah ketinggalan jaman.

Gue belum pernah kenal penulis jago yang nggak suka membaca. Eh, pernah sih, gue kenal penulis yang sukses merilis buku pertamanya tanpa punya hobi membaca. Tapi setelah itu dia baca banyak banget buku sebelum bisa nulis buku kedua dan seterusnya. Mungkin orang yang berbakat banget nulis, super duper berbakat, bisa merilis satu, dua, tiga buku yang bagus tanpa punya hobi baca. Tapi sesudah itu, kalo nggak juga suka baca, maka salah satu dari dua hal ini yang akan terjadi: kualitas karyanya menurun atau tiba-tiba nggak tau lagi harus nulis apaan.

Jadi, gue harus menemukan cara supaya buku-buku itu menuntaskan tugasnya mengisi ilmu ke dalam kepala gue. Apakah nanti setelah berhasil dibaca akan gue jual lagi atau gue hibahkan, itu urusan belakangan.

Kenapa Ngotot Banget Harus BACA?

Iya, memang sekarang ada banyak cara selain baca untuk menyerap ilmu dari sebuah buku. Kalo kalian buka YouTube, ada banyak channel yang membacakan ringkasan sebuah buku. Di spotify atau aplikasi podcast lainnya, kalian akan menemukan banyak kanal yang ngebacain buku, baik secara lengkap maupun ringkasannya. Juga ada situs yang nyediain intisari buku dalam bentuk beberapa infografis aja. Jadi kalian nggak perlu capek-capek baca ratusan halaman, cukup baca infografis itu langsung bisa dapet pesan utama sebuah buku. Ada juga aplikasi namanya Deepstash, isinya ringkasan ide dari banyak buku bagus. Banyak situs yang jualan audiobook, buku yang dibacakan, kadang oleh penulisnya sendiri, kadang oleh aktor suara terkenal. Jadi kalian nggak usah duduk anteng dan membaca; bisa sambil nyetir, jogging, atau masak tetep bisa “membaca” buku.

OK, lalu kenapa gue nggak (belum) tertarik dengan cara-cara alternatif itu?

Karena gue percaya, membaca adalah aktivitas belajar secara aktif: lu perlu mengerahkan sejumlah energi untuk melihat huruf-huruf, membaca, mengartikannya, lalu mengerahkan kapasitas imajinasi untuk merangkai informasi yang lu baca menjadi realita dalam otak yang bisa dipahami dan dirasakan. Dengerin audiobook nggak perlu aktivitas mental setinggi baca buku. Ibarat makan; baca buku itu seperti menyendok sendiri makanan dari piring untuk dibawa ke mulut, sementara audiobook itu seperti lagi disuapin. Belum lagi audiobook kadang dikemas dengan tambahan musik atau sound effect untuk menambah daya tarik, bikin jadi terlalu “mudah” untuk “dikunyah”. Sebagai orang yang gemar tantangan, audiobook kayaknya bukan buat gue.

Selain itu, kalo mau membedah struktur buku, gimana penulisnya membagi ide ke dalam bab dan subbab, peletakan kutipan dll akan lebih susah dilakukan dengan audiobook.

Baca infografis ringkasan? Ini malah lebih gampang lagi. Kalo audiobook ibarat makan disuapin, baca ringkasan itu ibaran makan dikunyahin. Yang didapat adalah hasil “kunyahan” orang lain, yaitu orang yang meringkas. Membaca adalah pengalaman yang unik: dua orang membaca buku yang sama, bisa jadi menarik kesan yang berbeda. Baca buku hasil ringkasan orang lain sama aja kehilangan sebagian besar pesan dari buku itu.

Lagipula, inti permasalahannya kan bagaimana memanfaatkan tumpukan buku yang udah telanjur dibeli. Kalo solusinya adalah dengan beli audiobook, masalahnya nggak selesai dong.

Eh tapi jangan salah ya, gue bukannya anti sama audiobook, podcast/kanal YouTube/infografis ringkasan buku. Buat kalian yang memang nggak hobi baca, menyimak layanan-layanan itu jauh lebih baik daripada enggak sama sekali. Gue juga install aplikasi Deepstash walau harus berhati-hati saat menggunakannya, karena kalo sampe nemu kutipan yang bagus dari suatu buku, suka jadi tertarik untuk beli bukunya…

…tentunya setelah tumpukan buku yang belum dibaca ini kelar semua.
Photo by Carles Rabada on Unsplash

Solusinya Ternyata Sederhana

Pada suatu hari gue ikut training tentang Law of Attraction. Prinsip Law of Attraction adalah: apa yang kita pikirkan dan kita yakini, bisa menjadi kenyataan (manifestasi). Kalo denger sampe sini, maka orang suka berkomentar sinis, “Kok enak banget, berarti tinggal duduk bengong aja di bawah pohon, meyakini udah jadi orang kaya, nanti ujug-ujug kaya sendiri.”

Dari training itu gue belajar, Law of Attraction ya nggak berhenti cuma di keyakinan doang. Keyakinan dan tindakan itu dua hal yang saling mempengaruhi secara timbal balik. Kalo kita yakin akan sesuatu, maka pasti kita melakukan sesuatu untuk mewujudkannya. Sebaliknya, tindakan yang sering kita ulang setiap hari, kebiasaan-kebiasaan kita, juga akan membentuk dan memperkuat keyakinan kita akan suatu hal.

Contoh:

Kalau orang yakin dirinya bugar, maka dia akan rajin olah raga, makan yang sehat, tidur teratur, dsb. Sebaliknya, orang yang rajin olah raga, jaga makan, jaga kualitas tidur, akan membentuk keyakinan bahwa dirinya bugar. Kalo lagi di tengah kerumunan ada yang teriak, “Siapa di sini yang merasa bugar?!” maka orang itu pasti akan angkat tangan. Mungkin bukan cuma angkat tangan, dia akan lari kepanggung sambil mengangkat kedua kepalan tangan tinggi-tinggi seperti Rocky baru selesai naik tangga.

Itulah yang memungkinkan terjadinya manifestasi: karena keyakinan dan tindakan selaras. Jadi memang nggak mungkin cuma ngelamun jadi orang kaya di bawah pohon tiba-tiba jadi kaya beneran, karena yang dia punya cuma khayalan, bukan keyakinan. Kalau yang dia punya adalah keyakinan, maka dia pasti akan bergerak, melakukan sesuatu untuk mewujudkannya.

Dari training itu gue juga belajar, tindakan yang diperlukan untuk manifestasi nggak perlu tindakan dahsyat nan bombastis, cukup kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten setiap hari. Selama kebiasaan itu nyambung dengan keyakinannya, maka akan terjadi manifestasi.

Gue jadi mikir.

Keyakinan gue: kecoa buku. Maka tindakan yang nyambung tentunya adalah: baca buku. Berhubung kata trainer nggak perlu tindakan dahsyat nan bombastis, asalkan konsisten tiap hari cukup, maka gue menetapkan akan baca buku 30 menit per hari. Kenapa 30 menit? Karena durasi itu yang menurut gue pas: nggak terlalu lama sehingga memberatkan, tapi juga nggak terlalu singkat sehingga progresnya lambat.

Memulai Upaya Kembali Jadi Kecoa Buku

Gue install aplikasi namanya Habit Tracker. Gunanya buat mencatat seberapa konsisten gue melakukan sebuah kebiasaan harian. Setiap kali gue selesai melakukan satu kebiasaan, gue ceklis di aplikasi itu, maka dia akan menandai tanggal hari itu dengan lingkaran. Kalo besoknya gue melakukan kebiasaan itu lagi, maka tanggal besok juga akan ditandai dengan lingkaran dan dikasih garis penghubung dengan hari sebelumnya. Makin konsisten gue melakukan suatu kebiasaan, makin panjang garis penghubungnya. Sebagai orang yang kira-kira 75% OCD, tentunya gue nggak rela garis itu terputus. Maka ini jadi semacam motivasi tambahan untuk mempertahankan kebiasaan baca setiap hari.

Jerry Seinfeld, komedian kondang dari Amerika menggunakan metode yang sama: membiasakan diri menulis materi joke setiap hari dan menandai progresnya di kalender. Itulah rahasia dia bisa jadi salah satu komedian tersukses di dunia: karena cadangan materinya banyak akibat ditulis setiap hari. Kalo setiap hari dia menulis 5 materi aja, maka sebulan dia akan punya 150 materi dan setahun akan punya 1.800 materi. Kalaupun 90%-nya garing, maka dia masih punya 180 materi yang solid.

Gue juga berkeyakinan yang sama: sekalipun tumpukan buku yang belum dibaca di rumah gue mencapai ribuan, tapi kalo setiap hari ada yang dibaca, walau hanya 30 menit, pasti akan selesai juga. Ada 2 peraturan sederhana yang gue tetapkan:

  1. Baca buku selama 30 menit
  2. Kalau waktu 30 menit itu udah selesai, dan akhir bab tinggal berjarak 20 halaman atau kurang, maka gue akan terusin sampai akhir bab.

Program ini gue mulai tanggal 19 Februari. Tiga hari pertama nggak ada masalah, lancar. Masuk hari keempat mulai terasa ganggu, karena kadang gue baru inget untuk baca di malam hari menjelang tidur. Hari kedelapan mulai sadar: lebih baik aktivias bacanya diberesin sepagi mungkin biar nggak jadi beban sebelum tidur.

Masuk hari ketigabelas dan seterusnya, terasa ini mulai jadi kebiasaan otomatis. Pagi setelah bangun tidur gue jalan pagi, dan setelah sampe rumah langsung duduk di kursi yang sama, baca buku. Untuk meminimalkan gangguan dan hambatan, maka di deket kursi itu udah tersedia semua perlengkapan yang mungkin gue butuhkan untuk baca: kaca mata, dan remote kipas angin. Gue juga menemukan, kecepatan baca gue antara 40-60 halaman per hari, tergantung dari ukuran font dan topik bukunya. Ada buku yang terasa ringan banget dibaca, ada yang setiap kalimatnya harus dibaca 2-3 kali dulu untuk bisa nangkep maksudnya.

Sampai posting ini ditulis, gue udah menjalankan kebiasaan baca ini selama 40 hari.

Berapa buku yang berhasil gue selesaikan? Segini:

Tujuh buku fisik dan satu e-book yang udah ngendon di Google Playbook Library gue mungkin 5 tahun lebih. Berarti kecepatan baca gue kurang lebihnya 8 buku per 5 minggu, atau sekitar 1,6 buku per minggu. Masih ada 39 minggu lagi sampai akhir tahun, maka gue optimis bisa menutup tahun ini dengan menyelesaikan 62 buku. Yah kira-kira setelah 3-5 tahunan gue konsisten dengan kebiasaan ini maka tumpukan buku di rumah gue akan termanfaatkan sekitar setengahnya. Semangat ✊✊✊

Gimana dengan kalian, berapa banyak yang koleksi bukunya numpuk belum dibaca seperti gue?

[daftar buku yang gue baca untuk kembali jadi Kecoa Buku bisa dilihat di sini]

*foto cover: gue di Stockholm Public Library, waktu lagi ditraktir jalan-jalan gratis bareng istri oleh Oriflame tahun 2019. Kebayang kalo gue punya buku sebanyak ini, kelar dibacanya tahun berapa ya 😍

4 comments


    1. Hahaha gue sendiri hampiiiir beli Kindle waktu melihat tumpukan buku2 fisik ini dan mikir, “sebentar, yg ini mau diapain?”

    2. Agung Nugroho – Jakarta – Seorang mantan pegawai baik-baik yang kini udah pensiun dan terobsesi agar semua orang Indonesia terproteksi secara finansial
      Agung Nugroho berkata:

      Horee, senangnya ada temennya. Ayo bikin halaman catatan buju yang udah dibaca tahun ini, aku udah bikin juga. Bisa dicek di bagian “pages”

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan