Keajaiban konstruksi berusia ribuan tahun
Baca episode pertama rangkaian posting Oriflame Gold Cruise 2017 di sini
Masih Selasa 26 September 2017
Belum jam 19.00 saat gue dan Ida keluar dari kawasan Akropolis, jadi masih banyak banget waktu hingga kapal angkat sauh jam 01.00.
“Mau ke mana lagi kita?” tanya gue.
“Kita ke Syntagma square aja, nampaknya rame, banyak kios-kios, tempat jajan, dan di sana ada stasiun MRT untuk pulang,” jawab Ida.
Buka Google Maps, jarak ke sana cuma sekitar 20 menitan jalan kaki. Nggak jauh, dan cuaca juga udah nggak panas.
Tapi… lho, kok langitnya makin lama makin gelap?
Kok akhirnya jadi hujan?
Kok hujannya makin deres?
Buru-buru melipir numpang neduh di kanopi sebuah toko.
“Kita punya payung, kan?” kata gue, teringat pada sebuah payung lipat yang Ida masukin di koper sebelum berangkat.
“Punya… tapi payungnya ada di kapal…”
Jiah… Tragis bener ini, kami punya 1 payung dan 2 jas hujan dari goody bag Oriflame, tapi sekarang terpaksa melipir di emperan karena semuanya ditinggal di kapal. Huffttt.
Sekitar 10 menit nunggu di emperan, hujannya mulai reda. Kami jalan lagi. Dapet beberapa puluh meter, eh hujan lagi. Akhirnya: ya sudahlah bodo amat, ujan-ujanan juga nggak mati.
Kami lewat jalan Vyronos yang dipenuhi toko-toko suvenir, dan Ida mampir lagi belanja oleh-oleh di sana. Hujannya sempet makin deres di sana, jadi kami numpang neduh lagi di depan pintu sebuah apartemen.
Kalo dilihat dari Google Street View, undak-undakan marmer di sebelah kanan itulah titik tempat neduh kami:
Ujannya masih semangat aja tanpa ada tanda-tanda akan mereda, jadi kami mulai pikir-pikir mau naik Uber aja. Lagian mumpung ada ibu-ibu pemilik toko suvenir yang bisa bantuin ngarahin kalo supirnya nelepon. Tapi.. yak, di layar aplikasi sama sekali nggak ada mobil beroperasi. Nggak ada pilihan lain kecuali nerusin jalan sambil ujan-ujanan demi memanfaatkan waktu yang terbatas.
Tujuan agak kami geser sedikit, karena Syntagma Square adalah lapangan terbuka, pasti semua aktivitas di sana bubar jalan gara-gara hujan ini. Tujuan barunya adalah ke Attica Mall, yang kalo dilihat di Google Maps nggak jauh dari Syntagma Square. Mudah-mudahan ada banyak toko lucu yang bisa dilihat, dan yang penting: nggak kehujanan.
Di perjalanan menuju Attica Mall sempet berhenti sekali lagi karena volume hujannya naik turun kayak ingus. Kadang deres banget sehingga kami memutuskan neduh, nggak lama kemudian reda sehingga kami nerusin jalan, eh ujug-ujug deres lagi. Hujan PHP.
Di salah satu tempat berteduh kami sempet didatengin ibu-ibu hamil, mengulurkan setangkai mawar ke Ida.
“It’s for you,” katanya
Ida refleks nerima, tapi gue lantas inget berbagai trik akal-akalan yang sering dikeluhkan turis-turis di Eropa.
“No thank you,” kata gue.
“Please take, only one euro, for mama and the baby,” katanya sambil ngelus perut.
Duh sori ya Mbak, air minum yang karuan lebih bermanfaat aja gue kagak beli, elu malah jualan mawar nggak jelas juntrungannya.
Setelah ngembaliin mawarnya, kami buru-buru pergi dan nggak lama kemudian sampe di Attica Mall.
Selama ini kalo denger orang asing ngomong bahwa mall di Indonesia jauh lebih keren-keren dibanding mall di luar negeri, gue kira itu cuma basa-basi. Ternyata Attica Mall ini memang jauh lebih cupu dari mall-mall di Indonesia. Mugkin kalo di Indonesia dia belum disebut mall ya, lebih tepatnya toko besar, seperti Keris Gallery di Menteng. Nggak ada atriumnya, langit-langitnya rendah dan barang-barangnya hampir 90% sama dengan yanga ada di Jakarta.
Ida tadinya berharap di mall itu akan ada foodcourtnya, atau minimal ada 1 lantai khusus berisi jajaran restoran tempat kita bisa ngemil sambil ngelurusin kaki, ternyata nggak ada. Adanya cuma sebuah restoran di lantai paling atas yang dari selintas penampakan seperti restoran-restoran yang harganya mahal padahal kopinya Nescafe.
Akhirnya gue cuma numpang ganti baju di mall itu, terus keluar lagi, mengarah ke Syntagma Square. Kami nemuin sebuah box tourist information center di sana, dijaga oleh seorang ibu-ibu gendut yang nampak sedang bludrek menjawab pertanyaan serombongan turis Rusia. Dari tas yang dipake turis-turis Rusia itu, ketahuan bahwa mereka juga rombongan Oriflame. Mereka juga merhatiin tas yang dipake Ida dan nampak lega menemukan temen senasib.
“Go back to ship, taxi? Bus?” tanya salah satu Rusia itu. Intinya, mereka mau nanya caranya pulang ke kapal.
Ida bantuin nanyain rute bus ke ibu gendut galak, dan bantuin nulisin nomor bus yang harus mereka pake di secarik post it. Mereka harus naik bis M1. Masalahnya, di aksara mereka mungkin juga nggak ada huruf M, pantesan aja bingung.
Setelah rombongan Rusia itu pergi, ibu gendut galak ngomel sambil nepok jidat, “They can not speak English.”
Nampaknya dia harus ganti profesi, masa kerjanya di tourist information center tapi bludrekan ngadepin turis.
Berdasarkan keterangan dari dia, kita bisa mencapai Pelabuhan Piraeus (yang ternyata bacanya Pireas) itu dari Syntagma Square dengan 2 cara:
- Naik bus M1
- Naik kereta bawah tanah, ambil jurusan Aghia Marina tapi transit di Monastiraki ambil jurusan Piraeus
Karena tadi berangkatnya udah naik bis, maka untuk pulangnya kami mau nyoba naik kereta. Katanya kereta akan ada sampe malem, jadi kami memutuskan keluyuran dulu cari makan. Hujannya udah berhenti, btw.
Di seberang Syntagma Square itu ada McDonald’s. Nyaris mau makan di sana, biar cepet aja karena perut kosong dan berjam-jam kehujanan. Tapi pikir-pikir, masa udah jauh-jauh sampe Yunani makannya McD yang di Tebet Barat juga ada.
Kami jalan menyusuri restoran-restoran kecil di seputaran Syntagma Square, nyari restoran yang khas Yunani. Ternyata nggak mudah, karena yang laris malah Chinese Food dan Italian Food. Setelah sekitar 10 menit jalan, ketemu restoran yang plangnya bertuliskan “Ergon – Greek Deli & Cuisine”. Nah, ini baru cocok!
Restoran ini nampak kondang, rame banget sampe kami nyaris nggak dapet tempat. Yang menyenangkan, dikasih minum air es gratis dalam botol 1 liter. Cihuy, lumayan ngirit 32 ribu! Waiternya laki semua, dan kebetulan yang melayani kami adalah yang paling kekar sekaligus paling gemulai. Saat kami nampak mulai nggak sabar karena nggak dikasih-kasih menu, dia malah ngasih kode telunjuk dan jempol yang ditemukan membentuk lingkaran sambil mengedipkan sebelah mata. Aih!

Untung menunya pake bahasa Inggris, jadi minimal tau makanannya terbuat dari apa, tapi tetep aja nggak kebayang bentuknya gimana. Akhirnya gue bilang, “Can you recommend the greekiest food from the menu?”
Dia menunjuk ke dua nama makanan, yang satu namanya @#$%%#^ dan satunya *&^$%@#!, entah apaan namanya gue nggak inget. Pokoknya yang satu dibuat dari lamb dan satunya beef. Pas dateng kayak begini bentuknya:


Sambelnya nampak intimidatif, merah menyala gitu mengingatkan pada sambel terasi di Jawa, tapi tentunya rasanya kalah galak dan nggak ada bau terasinya karena bahan utamanya cuma pasta tomat. Secara umum makanannya cukup enak, tapi untuk ukuran lidah Indonesia yang terbiasa makan makanan berbumbu aneka dengan rasa yang kompleks, rasa makanan mereka terasa sangat “sederhana”. Kebayang kalo yang terjadi sebaliknya, ya. Orang Yunani dateng ke Indonesia, ketemu sambel terasi merah yang dia kira sama seperti sambel tomat di negaranya, lalu main caplok sesuap gede. Gimana itu nasibnya.
Tadinya gue masih berharap bisa mengingat nama makanan yang gue makan dari nama yang tertera di bill, tapi saat bill dateng, tulisannya begini:

O iya, mas waiter gemulai juga ngasih bonus pencuci mulut, namanya *#*^%$#. Dia bilang itu khas Yunani. Bentuknya seperti gulali putih yang dicelup dalam air.
Rasanya? Ya seperti gula. Pas ngasih benda itu dia merhatiin Ida yang berjilbab dan langsung ngomong “Don’t worry, no alcohol.”
Kenyang makan, kami mengarah balik ke Syntagma Square dengan tujuan stasiun MRT. Sempet ngelewati jalan Ermou, pusat perbelanjaan terkenal di Athena.
Penampakannya agak mirip Pasar Baru, kendaraan dilarang masuk, jadi yang boleh lewat hanya pejalan kaki.
Sebelum masuk stasiun, Ida ngajak mampir foto-foto di depan bangunan kuno yang dijaga tentara.


Ternyata di depan gedung itu ada Tomb of the Unknown Soldier, tugu memorial untuk mengenang pahlawan yang gugur dalam perang. Sedangkan gedung besar di belakangnya adalah gedung Hellenic Parliament.

Stasiun MRT Syntagma nampak udah cukup tua umurnya, dan ini bikin gue miris. Maksudnya, miris kenapa negara lain udah sejak kapan tau punya MRT dan Indonesia baru akan punya tahun 2019.
Tiketnya bisa dibeli di mesin otomat (kali ini kami bukan penumpang gelap lagi), dan berlaku untuk MRT maupun bus. Jadi sekali beli tiket, bisa digunakan untuk naik MRT dan bus dalam jangka waktu tertentu. Untuk pemakaian 90 menit 1,40 euro. Untuk 24 jam 4 euro dan untuk 5 hari 10 euro. Kami tentunya cukup beli yang 90 menit aja, karena estimasi waktu tempuh dari Syntagma ke Piraeus cuma sekitar 40 menit. Mesin otomatnya canggih, kalo dimasukin pecahan besar bisa ngasih kembalian.
Karena tiketnya berlaku berdasarkan batas waktu, maka pada saat dibeli harus divalidasi masa pemakaiannya di mesin ini:
Waktu 90 menit yang jadi batas waktu pemakaian tiket gue dihitung sejak tiketnya dilewatin di mesin itu.


Gerbong keretanya lucu, nggak ada pintu yang menghubungkan antargerbong. Jadi kalo udah masuk dan dapet gerbong yang penuh ya terima nasib, nggak bisa geser ke gerbong sebelah. Di ujung gerbong nampak serombongan orang yang nampak familiar, ternyata mereka orang-orang Rusia yang tadi nyasar di Syntagma Square!
Seusuai petunjuk di rute, kami turun di Stasiun Monastiraki dan pindah kereta.

Di stasiun nemu poster film “It” yang di bahasa Yunani jadi panjang judulnya:
Akhirnya… sampe juga di Stasiun Piraeus alias Pireas. Lucunya, nggak ada satupun petugas yang meriksa tiket! Jadi kalo tadi di stasiun keberangkatan kita lompat gate pun akan selamet aja sampe tujuan.
Pas turun baru perhatiin keretanya, ternyata eksteriornya abis-abisan digrafitti kayak gini:
Kondisi di luar Stasiun Piraeusnya juga rada mirip setting film dystopian future gini:
Kalo nyimak berita tentang Yunani yang konon lagi kesulitan keuangan, kondisi ini konsisten dengan teori “Broken Window”. Pelemahan kontrol pemerintah ditandai dengan banyaknya pelanggaran kecil seperti ini.
Satu hal yang penting yang kami pelajari malam itu adalah: ternyata pelabuhan Piraeus itu gedeeeee banget dan apesnya, kapal Celebrity Reflection parkir di ujung yang berlawanan dengan stasiun kereta. Sempet ada beberapa taksi yang nawarin jasa nganter dengan tarif 10 euro karena “It’s too far, maybe more than 3 kilos!”
Tadinya gue kira mereka berlebihan, tapi setelah dijalani, pikir-pikir mungkin ada juga segitu jaraknya. Dijalanin nggak nyampe-nyampe, mana udah tengah malam.
PerJALANan (dalam arti harfiah karena beneran jalan kaki) berakhir hampir jam 12, saat kami nemu dermaga tempat Celebrity Reflection parkir. Sempet mampir toilet dan menemukan penjaga unik ini:
Ida yang seharian pake boots berhak langsung lesehan sambil nunggu bis yang akan ngangkut kita dari pintu masuk dermaga ke pintu masuk kapal.
Nunggu bisnya dateng sekitar 5 menit, trus bisnya ngetem sekitar 15 menit nunggu penumpang agak banyak, bisnya jalan 2 menit, nyampe. Kalo jaraknya sedeket ini mah harusnya jalan kaki aja, sayangnya dilarang oleh petugas.
Perjalanan panjang hari ini berakhir di hari Rabu 27 September 2017, jam 00.30 dini hari.
Bacanya ngos ngosan Gung. Baru mau komentar di jilid satunya, udah nongol aja jilid berikutnya.
Kudunya ngecek ramalan cuaca kali ya, biar siap bawa jas hujan. Mungkin ini kebiasaan rata rata orang Indonesia, atau hanya aku aja kali ya yang gak pernah ngecek ramalan cuaca, meskipun udah lama tinggal di US. Udah bolak bolak ketipu dan salah kostum gegara nggak pernah ngecek ramalan cuaca.
Maklum baru pertama ke luar negeri :D. Orang indonesia terbiasa dg cuaca stabil sepanjang hari, ternyta itu nggak terjadi di seluruh dunia ya.
Gw biasanya cek weather mas Agung, kalau prediksi ujan, langsung pakai jaket yang anti air seharian. Gak perlu payung, karena payung gak gitu guna. Kalau kesambet angin terbang kemana-mana.
Btw makanan Greek itu termasuk kaya rasa, mungkin karena lidahku udah kena makanan Irish yang gak ada bumbunya kecuali garam dan onion 🙁
Makanan Irish sejenis makanan Inggris kali ya, hambar
Buaaaanget.