Kejutan di kamar dan muster drill yang terlewatkan
Baca episode pertama rangkaian posting Oriflame Gold Cruise 2017 di sini
Masih 22 September 2017
Jam: pokoknya sore (udah berhenti mencoba cari tau jam berapa, ribet dengan segala perbedaan zona waktu)
Gue dan Ida menuju public area di dek 14, tempat digelarnya Sail Off Party alias pesta menyambut keberangkatan kapal. Dek 14 ini boleh dibilang dek paling banyak dikunjungi penumpang, karena di sini ada:
- Ocean View Cafe, tempat makan default buat seluruh penumpang. Nanti akan gue jelasin tentang tempat makan yang gak default.
- Tiga kolam renang, dua terbuka dan 1 tertutup, namanya Solarium
- Sky Observation Lounge, tempat duduk-duduk sambil minum
Waktu gue sampe di lokasi, belum terlalu banyak penumpang yang muncul.

Ini merupakan kondisi yang ideal, karena… nggak harus rebutan untuk dapetin cemilan!
Belasan waiter mondar-mandir bawa nampan berisi minuman dan cemilan. Minumannya komplit, mulai dari soft drink, bir, sampe red dan white wine. Cemilannya disesuaikan dengan selera asal negara para penumpangnya, jadi ada yang bergaya ke-India-Indiaan, ke-Cina-Cinaan, dan ke-Melayu-Melayuan. Mungkin di kapal Celebrity Silhouette yang penumpangnya dari Eropa seperti Rusia dan Polandia, cemilannya juga bergaya Eropa. Mungkin lho ya.
Gue mendekat ke salah satu waiter pembawa cemilan dan mulai tanya-tanya, “What’s this?” Maksudnya biar nggak salah comot cemilan yang ternyata mengandung bahan yang nggak semestinya dimakan, gitu.
Nggak disangka-sangka waiter-nya jawab, “Ini lumpia goreng Pak, enak!”
Lha, petugasnya orang Indonesia!
Ternyata ada banyak waiter dari Indonesia di kapal itu. Yang gue temukan sore itu aja ada sekitar 4 orang, dan selama seminggu berikutnya nemu sekitar 10 orang lagi. Seneng banget kalo ketemu yang dari Indonesia, nggak usah pegel berbahasa Inggris dan biasanya dapet pelayanan yang ekstra ramah (walaupun pelayanan standarnya pun udah prima). Penumpang gampang mengenali kebangsaan para waiter karena tertulis di name tag mereka, lengkap dengan gambar benderanya. Untungnya nggak ada yang terbalik kayak di Sea Games Malaysia.
Sambil ngemil, gue liat-liat sekitar. Kapal itu serasa jadi milik Oriflame karena logonya bertebaran di mana-mana.

Untung banget cuacanya bersahabat, langit cerah nyaris nggak berawan. Makanya gue bisa dapet jepretan kayak gini:

Oh iya, selewat info bahwa foto-foto ini gue ambil pake kamera mirrorless Fuji XA-3 yang lagi-lagi hadiah dari Oriflame, awal tahun 2017… cihuy!
Bukan Oriflame namanya kalo nggak menyelipkan unsur kejutan dalam acara-acaranya. Di tengah pesta kedengeran suara pesawat mendekat. Ternyata itu pesawat sewaan Oriflame, terbang mengelilingi kapal sambil bawa banner bertuliskan Oriflame!

Di sebelah kapal Celebrity Reflection ada kapal Celebrity Constellation, teman seperjuangannya. Kapal itu berangkat duluan, keliatannya menuju rute yang berbeda.

Nggak lama kemudian Celebrity Reflection ikutan bergerak. Hampir nggak kerasa karena goyangannya halus banget. Kalo mau ngebayangin, bayangin goyangan di dalam kereta Commuter Line, tapi didiskon 95%.
Pestanya asik. Musiknya seru. Cemilannya enak. Tapi anginnya nggak nahan. Dingin banget!
“Yuk suami, kita nyobain restorannya,” kata Ida.
Huft, syukurlah. Kami bergeser ke Ocean View Cafe.
Seperti Kambing di Tanah Sengketa
Di deket kantor gue yang lama ada sebidang tanah nganggur. Entah kenapa tanah di lokasi emas itu dibiarin kosong begitu. Mungkin masih berstatus sengketa. Berhubung nggak ada yang ngurus, tanah itu ditumbuhi rumput setinggi dengkul.
Nggak heran bila kemudian di situ hiduplah sekeluarga kambing yang paling berbahagia di dunia. Bapak kambing, ibu kambing, dan kedua anaknya nampak gendut-gendut dan sehat. Saat kambing-kambing di belahan dunia lainnya harus jalan berkilo-kilo meter untuk nyari rumput, mereka tinggal melek aja udah ketemu rumput. Saking malesnya, beberapa kali gue liat mereka makan rumput sambil duduk atau tidur-tiduran. Mereka tidur, bangun, main kejar-kejaran dan lompat-lompatan di atas makanan berlimpah. Kalo ngelihat aktivitas mereka, kadang gue ngebatin, “Bahagia banget hidup kalian ya…”
Tapi berkat Ocean View Cafe, gue lebih bisa menghayati perasaan kambing-kambing itu.
Lha gimana enggak, kalo cafe itu nampaknya berprinsip, “Semua orang yang masuk sini harus keluar dengan gaya jalan seperti ibu hamil 9 bulan.”
Makanannya, baik dari segi jumlah maupun ragam, berlimpah ruah:


Ingin roti? Silakan pilih, mau roti tawar biasa, roti India atau roti Perancis.



Nggak bisa move on dari makanan oriental khas kampung halaman? Ada. Tersedia juga dalam versi vegan.



Catatan khusus untuk nasi gorengnya: selain di tukang nasi goreng kambing Kebon Sirih, baru di sini gue ngeliat nasi goreng sebanyak ini:

Lagi ingin makan pasta? Tersedia aneka topping, sementara pastanya akan dimasak saat lu pesan:

Plus tersedia pizza juga ya, jangan sedih.
Doyan makan daging awetan dan keju? Ada berbagai jenis:


Butuh yang manis-manis buat pencuci mulut? Stoknya cukup bukan untuk NYUCI MULUT doang, tapi mau KOSEK MULUT juga bisa:


Selain makanan-makanan ini, juga ada pojok gelato dan mesin es krim untuk bikin es krim cone Monas seperti yang ada di restoran A&W.
Yang luput nggak kefoto adalah pojok barbeque, menyediakan aneka steak. Jadi di kapal ini, lu bisa mewujudkan cita-cita norak lu sebagai orang Indonesia asli: makan steak pake nasi goreng. Bebas!
Makanannya gak sehat semua?
Oh tenang, buah tersedia lengkap plus ada satu pojok yang menyediakan muesli dan cemilan kaya serat weetbix.
Tapi dari semua itu, favorit gue adalah bagian minumannya:

Liatin aja, urusan gula aja tersedia sekitar 6 macam gula: gula pasir biasa, gula palem, dan berbagai macam merk gula diet. Teh celupnya ada sekitar 12 macem PLUS coklat bubuk sachet, dan liatin tuh mesin esnya, mantap! Mesin es ini berperan penting dalam acara jalan-jalan di Mykonos dan Ephesus, tapi lengkapnya akan gue ceritain di posting mendatang.
Yang bikin gue (makin) kalap dengan semua makanan ini adalah; rasanya betulan enak! Beda dengan makanan hotel yang seringkali nampak menggiurkan tapi pas dimakan hampir nggak ada rasanya, makanan-makanan di sini beneran mantap rasanya. Jagoan deh kokinya.
Yang bikin miris adalah: makanan sebanyak ini hanya boleh tersaji maksimal 4 jam aja. Jadi makanan untuk sarapan yang terakhir diproduksi jam 8, sebelum jam 12 udah harus dibuang, termasuk roti yang sebenernya bisa tahan lebih lama di udara terbuka. Yoghurt dalam kemasan karton juga bernasib sama, dibuang setelah tersaji 4 jam, sekalipun kemasannya masih utuh.
Kenyang makan, gue dan Ida berjalan terseok-seok menempuh jarak Plaza Indonesia – Thamcit untuk balik ke kamar.
Begitu badan kena kasur, baru kerasa semua sendi sakit semua akibat rangkaian aktivitas jalan – duduk di pesawat – antri – jalan – duduk di pesawat – antri – jalan; sejak dari Jakarta.
Di posting berikutnya akan gue ceritain hasil penjelajahan gue di berbagai sudut kapal ini.

Ada komentar?