Buat yang suka ngikutin status FB-nya Ida, pasti tau bahwa Rafi punya kucing yang gue kasih nama Si Belek. Ternyata dari kegiatan sesederhana memelihara kucing, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik oleh Rafi. Berikut 8 di antaranya:
Pada suatu pagi di awal bulan Juni 2014, gue menemukan seekor kucing kecil terdampar di teras rumah. Badannya kurus kering, bulunya kusut kaku, jalannya sempoyongan dan kedua matanya nyaris tertutup oleh belek yang mengeras.
“Cepetan buang dia di pasar, sebelum mulai bersarang di sini,” kata Ida.
“Jangan, Bunda. Kasihan. Biar dia di sini saja,” kata Rafi.
“Terus siapa yang mau mengurus dia? Bunda udah banyak urusan, repot!”
“Aku,” kata Rafi.
Hari berikutnya, Rafi berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa ternyata kucing mengeluarkan kotoran yang sangat bau.
“Huek…” katanya waktu disuruh ngebersihin kotoran kucing.
“Nggak mau bersihin? Bunda buang nih kucingnya di pasar!” ancam Bundanya kejam.
“Mau Bunda…”
Pelajaran pertama: cinta butuh pengorbanan.

“Mau dikasih nama siapa ini kucingnya?” tanya gue.
“Mmm… aku belum tau,” jawab Rafi.
“Bapak tau! Matanya kan belekan, ya udah namanya ‘Si Belek’!”
“Nggak mau!”
“Mau deh!”
“Nggak! Bapak nggak sopan, memberikan nama yang tidak baik kepada kucingku!”
Pelajaran kedua: ekspresikan cinta dengan ucapan yang baik.

Rafi akhirnya menemukan nama untuk kucingnya, yaitu Kitty. Gue tetap bertahan dengan Si Belek.
“Ke mana Si Belek?” tanya gue.
“Siapa itu Belek?” jawab Rafi ketus.
“Kucing jelekmu itu loh.”
“Namanya bukan Si Belek, namanya Kitty.”
Setiap kali gue menyebutnya Si Belek, Rafi selalu meralatnya jadi Kitty. Selalu.
Pelajaran ketiga Si Belek: cinta adalah ujian konsistensi.

Suatu hari, Rafi memandangi Si Belek. Beleknya udah sembuh sejak dibawa ke dokter (yang mana menghabiskan duit sama gedenya dengan biaya pengobatan majikannya, cuma bedanya yang ini nggak bisa minta reimburse ke kantor). Walaupun begitu penampakan Si Belek tetep aja memprihatinkan: matanya kecil sebelah, suaranya serak, bulunya kaku, jalannya terhuyung-huyung dan hidungnya dekil.
Rafi memperhatikan itu semua, lalu berkata, “Dia cantik sekali ya, Bapak…”
Pelajaran keempat: mata cinta hanya mampu melihat kesempurnaan.

Mungkin karena kecilnya penyakitan dan kurang ASI, Si Belek tumbuh jadi kucing yang begonya setengah mati. Kalo kucing lain mampu melompat ke atas pager setinggi 1,5 meter, Si Belek bahkan nggak bisa naik ke atas kardus Indomi. Gerakannya juga lamban, nggak seperti kucing-kucing pada umumnya. Kerjanya cuma tidur dan makan di teras, karena Ida memang kurang ridho membiarkan kucing itu berkeliaran di dalam rumah.
Tapi biarpun lamban dan bodoh, untuk satu hal dia sangat gesit: mencuri-curi kesempatan menemui Rafi. Kadang kalo Rafi lagi tidur siang dan Ida lengah, Si Belek menyelinap masuk ke kamar Rafi, sekedar untuk menggeser-geserkan badannya ke kaki Rafi. Tentunya kalau ketahuan Ida dia bisa kena sambit gantungan baju.
Pelajaran kelima: cinta itu memunculkan kekuatan dan keberanian.

Pada suatu hari, hujan deras. Airnya tampias membasahi teras, tempat bercokolnya Si Belek. Si Belek duduk mendekam di pojokan dengan tampang stres, berusaha menghindari cipratan air. Tiba-tiba muncul Rafi, dengan badannya setengah basah baru habis mandi, langsung mencoba menggendong Si Belek. Si Belek panik, menggeliat dan mencakar Rafi, lalu melompat turun. Rafi nangis, Ida muncul dengan gantungan baju, lalu memukuli Si Belek.
“Aku benci sama Kitty, dia telah mencakar aku,” kata Rafi.
“Dua hal yang dibenci kucing adalah air dan digendong. Tadi, selain dia panik takut kena air, ditambah lagi dengan digendong oleh Rafi yang badannya basah. Tentu aja dia nyakar,” kata gue.
“Aku mau buang dia di pasar.”
“Dia cuma seekor kucing tak berdaya yang hidup sebatang kara. Nggak ada yang peduli dengan dia, termasuk induknya sendiri. Dulu Rafi sendiri yang bilang ingin memelihara dia di sini. Yang dia perlukan cuma menumpang hidup. Sekarang hanya karena dia panik, atas sesuatu yang memang udah jadi sifat bawaan kucing, dan nggak bisa dia jelaskan, dia akan dibuang. Begitu?”
Rafi nggak menjawab, tapi matanya berkaca-kaca. Dia lantas mendatangi Si Belek dan mengelusnya.
Pelajaran keenam: lebih mudah untuk menerima saat mengingat mengapa cinta itu dulu ada.

Kemarin pagi, Rafi keluar ke teras dan memanggil Si Belek. Biasanya, Si Belek akan datang tergopoh-gopoh, muncul dari kolong mobil. Kali ini enggak. Sampai Rafi berangkat sekolah, Si Belek nggak muncul sama sekali.
Pulang sekolah, Rafi kembali memanggil-manggil Si Belek. Nggak ada sahutan. Rafi nangis. Dia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi pada kucingnya.
“Aku mau Kitty…” kata Rafi sambil berurai air mata.
“Ya Kitty-nya udah nggak ada, mau apa?”
“Aku mau Kitty…”
Rafi nangis sampai ketiduran, dan keesokan paginya nangis lagi saat berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa Si Belek masih belum muncul juga.
Pelajaran ketujuh: besarnya cinta harus sebanding dengan besarnya keberanian untuk kehilangan
“Jadi Bapak harus melakukan apa? Nggak ada yang bisa kita lakukan,” kata gue.
“Ada. Bapak bisa bikin pengumuman di internet, ‘Lost Cat’, gitu. Barangkali ada orang yang menemukan Kitty di jalan dan mau mengembalikannya,” jawab Rafi.
Pelajaran kedelapan: jangan berhenti percaya pada keajaiban.
Jadi, sesuai permintaan Rafi, inilah pengumuman gue:

Kalo ada di antara kalian yang menemukan kucing seperti ini di seputaran Tebet, baik hidup atau mati, kontak gue ya!

Tinggalkan Balasan ke winkthink Batalkan balasan