[review] Jakarta Hati

Ini adalah film omnibus (film panjang yang terdiri atas sejumlah film pendek) karya Salman Aristo kedua yang pernah gue tonton. Yang sebelumnya adalah Jakarta Magrib, berisi cerita-cerita penduduk Jakarta yang settingnya kebetulan menjelang magrib. Temanya sederhana banget, tapi menohok banget karena bikin penonton ngeliat ulah mereka sendiri sehari-hari. Kalo belum nonton Jakarta Magrib, beli deh DVD-nya. Nggak nyesel, serius. Jakarta Hati dibuat dengan format yang kurang lebih sama dengan Jakarta Magrib. Sama-sama omnibus, dan sama-sama mengangkat potret keseharian warga Jakarta. Tagline-nya gue suka banget: “Ini Jantung Ibukota, di Mana Hatinya?” Ini dia ceritanya:

Orang Lain

film Jakarta Hati - segmen orang lain

Dalam segmen pertama ini, Surya Saputra sedang mabuk-mabukan di cafe ketika tiba-tiba didatangi Asmirandah yang bilang, “Istri Anda selingkuh dengan pacar saya.” Mereka lantas berdialog, saling mengenal, dan saling menganalisis mengapa pasangan masing-masing berpaling dari mereka. Menurut gue, cerita pembuka ini justru yang paling kurang menarik dibanding cerita lainnya di Jakarta Hati. Mungkin karena urutan kejadiannya menurut gue kurang logis. Atau, bisa aja sih logis, tapi dalam kondisi yang sangat khusus. Maksud gue gini: Gue bayangin diri gue sendiri lagi stress karena istri selingkuh, mabuk di cafe. Didatengin cewek yang nggak gue kenal, pengumuman bahwa istri gue selingkuh dengan pacarnya. Abis itu si cewek pergi ke luar. Gue pun. Di luar, cewek itu nunggu taksi. Pas taksi dateng, gue ikut naik. Adegan berikutnya, ujug-ujug gue dan cewek itu ada di tukang jahit langganan istri gue, menceritakan obsesi istri gue terhadap kancing. Pertanyaan besarnya adalah, obrolan macam apa yang terjadi dalam taksi sehingga cewek itu mau-maunya ngikutin gue mampir ke tukang jahit? Apakah…
“Mau pulang, dik?” “Iya lah, Mas.” “Ke tukang jahit aja yuk.” “Lucu juga. Ayo deh.”
Atau…
“Bo, kok kita belum ngobrol udah ngeloyor aja sik. Kita kan belum ngobrolin tentang anehnya istri gue…” “Aneh gimana sih cyin?” “Dese demen banget sama kancing, tau nggak sih. Yuk kita mampir deh ke tukang jahit langganan dia biar jij bisa mainan kancing juga.”
Maksud gue, kalo image film ini adalah film simbolis, gue nggak akan rewel dengan dialog-dialog yang simbolis. Tapi karena bekal pengalaman gue adalah Jakarta Magrib yang pemaparannya sehari-hari banget, ketemu segmen yang model gini rasanya janggal aja gitu. Tapi Surya Saputra dan Asmirandah mainnya bagus kok. Gue baru ngeh bahwa ternyata Asmirandah itu cakep bener yak. Bajunya juga bagus. Cuma kenapa di tengah baju merah cakep gitu pundaknya harus ungu, ya?

film Jakarta Hati - segmen orang lain

Pundak ungu itu hampir sama ganggunya dengan pertanyaan ngobrol apa dia dengan Surya Saputra di dalam taksi.

Masih Ada

film Jakarta Hati - segmen masih ada

Muncul Slamet Rahardjo dengan setelan jas tanpa dasi lagi jalan terburu-buru keluar dari komplek perumahan elit. Dari obrolannya di telepon, penonton tau bahwa dia lagi ditunggu orang, dan mendadak mobilnya mogok. Akhirnya dia naik taksi, dan karena satu dan lain hal dia terpaksa turun di tengah jalan. Nggak jauh dari tempat dia turun taksi, ada sekumpulan abang-abang lagi ngerumpi soal ulah anggota DPR. Slamet Rahardjo yang ternyata seorang anggota DPR langsung nimbrung dalam obrolan, berusah “meluruskan persepsi” abang-abang itu. Sempet terjadi insiden kecopetan, tapi bisa diselesaikan dengan baik. Sang Anggota Dewan melanjutkan perjalanan naik ojek, yang ternyata untuk mengantarkan sebuah berkas yang nantinya akan dimanfaatkan untuk sebuah tindak penggelapan. Mulai di segmen yang ini baru gue lega, bahwa ternyata Jakarta Hati sesuai dengan harapan gue yaitu sebuah film yang mengangkat keseharian. Penokohan Sang Anggota Dewan ini nyindir figur pejabat korup banget: islami, dari mulutnya bermunculan kata-kata mulia seperti masya Allah, insya Allah, nampak terhormat, merasa lebih pinter dan lebih penting dari orang lain, rajin korupsi dan punya sederet alasan pembenaran, serta rajin sedekah dan bagi-bagi rezeki kepada ‘wong cilik’. Heran kenapa korupsi alot banget diberantas dari Indonesia? Tontonlah karakter yang dibawakan secara sangat meyakinkan oleh Slamet Rahardjo ini dan tanya sama diri lu sendiri: andaikan elu adalah salah satu dari sederet rakyat jelata yang ditemuinya di jalan, gimana mungkin elu nggak akan mendoakan dia agar ‘sehat dan sukses’ selalu, serta masuk surga kalau mati?

Kabar Baik

Cerita ketiga ini yang super duper keren dari segi demonstrasi kualitas akting para pemerannya. Bana (Andhika Pratama) adalah seorang polisi lurus-bahkan cenderung kaku-yang kerjanya di belakang meja. Tiba-tiba muncul rekannya menggelandang Roy Marten, seorang penjahat penipu yang ternyata adalah bapaknya. Dari dialog mereka, terkuak bahwa Si Bapak ini udah 5 tahun meninggalkan Bana dan ibunya tanpa kabar. Ternyata dia kecantol perempuan lain, dan akhirnya terlibat penipuan dengan modus arisan berantai. Segmen ini bener-bener hanya berlokasi di interior kantor polisi dengan 90% adegan diisi oleh Andhika Pratama vs Roy Marten. Artinya keberhasilan segmen ini bener-bener dipertaruhkan hanya pada kemampuan akting kedua pemain tersebut. Untungnya berhasil. Andhika yang selama ini gue tau sebagai artis sinetron dan tiap pagi cengengesan di acara musik TV ternyata bisa berakting keren banget. Maksudnya, di sini lawannya Roy Marten lho, yang walau belakangan juga sering main sinetron tapi sebelumnya udah lebih lama membuktikan diri sebagai aktor jagoan. Ternyata Andhika berhasil mengimbangi dan membawakan karakternya dengan selamat. Sepenggal dialog yang menurut gue keren banget:
Roy Marten (dalam usaha mencairkan kekakuan sikap anaknya): Matamu mirip mataku… Andhika Pratama: Untungnya yang mirip cuma mata!

Hadiah

film Jakarta Hati - segmen hadiah

Dwi Sasono berperan sebagai penulis skenario film. Dia adalah orang yang idealis dan hanya mau bekerja untuk film yang menurutnya ‘berbobot’. Walaupun dikejar kebutuhan ekonomi sebagai single parent seorang bocah laki-laki (Bastian Coboy Junior), dia bertahan nggak mau menerima proyek film berjudul “Pocong Impoten” yang menurutnya kurang bermutu. Suatu hari, anaknya pulang sekolah dan mendesak minta diantar beli kado untuk seorang temannya yang berulang tahun. Dengan berat hati dan mengorek sisa-sisa duit terakhir di kantong, Dwi Sasono akhirnya mau menuruti permintaan anaknya. Ternyata di lokasi pesta ulang tahun temannya, anaknya malah diusir satpam karena tidak punya undangan. Tapi justru dari peristiwa ini si penulis akhirnya belajar sesuatu. Segmen ini paling menyentuh karena penggambaran pola pikir tokoh anak di sini menurut gue sangat nyata, nggak dibuat-buat  atau dipaksain sok bijak basi gitu, tapi dampaknya beneran ‘kena’. Simak deh dialog antara ayah dan anak ini waktu mereka milih kado, pas banget menggambarkan pemikiran anak-anak yang sederhana!

Dalam Gelap

Sepasang suami istri (Agni Pratistha dan Dion Wiyoko) terbangun di rumahnya tengah malam dalam keadaan mati listrik. Sebagai orang-orang yang hidupnya biasa tergantung pada barang-barang elektronik, nggak ada hal lain yang bisa mereka lakukan kecuali ngobrol, dan akhirnya mengupas banyak masalah yang selama ini mereka biarkan terpendam. Permasalahan yang diangkat cukup menampar-nampar mereka yang selama ini mengaku kelas menengah: berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, banyak maunya tapi sedikit tindak nyatanya. Ini adalah segmen paling nekad, karena seluruh segmen dilakukan hanya dalam 1 x take, tanpa proses editing sama sekali. Bayangin kalo udah shooting panjang lebar tau-tau ada yang lupa dialog, atau mendadak ingin cekikikan, maka proses shooting harus diulang dari awal lagi. Bukan cuma itu: karena ceritanya lagi mati listrik, otomatis wajah-wajah pemerannya nggak terlihat sama sekali. Cuma kelihatan samar-samar gerakan tangan atau kaki, tapi wajah sama sekali nggak kelihatan. Jadi buat kalian yang motivasinya nonton Jakarta Hati hanya untuk liat cantiknya Agni Pratistha atau gantengnya Dion Wiyoko mendingan gak usah deh, karena yang muncul di layar cuma kayak gini nih:

Darling Fatimah

Segmen penutup ini menampilkan dialog antara Fatimah (Shahnaz Haque)-seorang janda pedagang kue subuh di pasar dengan Ayun (Framly Nainggolan)-seorang anak pedagang. Mereka rupanya pacaran, tapi karena perbedaan SARA Ayun nggak berani terang-terangan membuka hubungannya dengan Fatimah di depan bapaknya. Di sisi lain, Fatimah yang merasa umurnya udah nggak muda lagi butuh kepastian status. Seharusnya Fatimah adalah perempuan nyablak bermulut tajam, tapi entah ada sesuatu di Shahnaz yang bikin sifat itu nggak sepenuhnya terasa pas. Apa mungkin karena wajah Shahnaz yang terlalu smiley face jadi omongannya kurang terasa ‘nyilet’, entahlah. Yang jelas, segmen ini nampaknya mencoba menjadi penawar yang ‘manis’ atas serangkaian segmen yang cenderung ‘pahit’ sebelumnya. Secara keseluruhan, dibandingkan Jakarta Magrib film ini nampak digarap lebih serius, maksud gue dari segi teknik pengambilan gambar dan tata warnanya. Tapi gue kehilangan satu elemen dari Jakarta Magrib yaitu sebuah adegan penutup yang menggabungkan seluruh segmen sebelumnya. Mungkin Salman sengaja menghindari itu agar nggak terkesan maksa, entahlah. Tapi rasanya klop aja kalo setelah nonton rangkaian cerita yang beda-beda kita nonton satu adegan yang menyatukan semuanya. Yang jelas, gue sangat merekomendasikan film ini. Dikemas secara ringan, nyata, tapi punya pesan yang bikin penonton keluar bioskop sambil sedikit berpikir. Minimal, terusik-dan mempertanyakan hal-hal yang selama ini kita terima begitu aja.

8 comments

Tinggalkan Balasan