Gue punya temen, yang tanpa ditanya sering bercerita kaya gini:
“Tau nggak, tadi pagi pas mau berangkat ke kantor, gue bangun pagi-pagi banget. Jam 5 udah bangun. Trus gue mandi, sarapan, abis itu bingung milih baju. Soalnya minggu lalu kan gue abis belanja, sale di Metro. Gue beli atasan dua, sama sepatu satu. Tapi baju barunya belum dicuci. Akhirnya gue pikir-pikir, pake baju yang lama aja deh, yang baru dicuci dulu. Terus gue berangkat. Eh nggak langsung ding, kan harus manasin mobil dulu. Abis itu baru berangkat. Belum sarapan tuh. Si mbak udah nyiapin roti, gue bawa aja, buat dimakan di kantor. Tumben-tumbenan, jalanan macet banget lho. Padahal gue berangkat masih jam 6. Gue kira di tol ada kecelakaan atau apa, gitu. Taunya nggak ada apa-apa. Untung akhirnya gue berhasil sampe kantor sebelum jam 8.”
Biasanya setelah dia cerita panjang lebar gitu, gue akan nanya, “Trus gimana?”
“Nggak ada. Ya cuma mau cerita aja pengalaman gue pagi ini. Emang nggak boleh?”
Ya boleh-boleh aja sik. Dan kurang lebih seperti itulah perasaan gue setelah nonton film Soegija.
Ringkasnya bisa dibilang film ini tentang Monseigneur Albertus Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama di Indonesia. Tapi selain Soegija, juga ada (banyak) tokoh lainnya:
- Lingling (Andrea Reva), bocah kecil yang tinggal bersama ibunya (Olga Lidya) dan kakeknya (Henky Solaiman). Mereka punya restoran.
- Mariyem (Annisa Hertami Kusumastuti), gadis yang sebenarnya bercita-cita jadi perawat tapi lebih sering bertugas nganter makanan dari restoran Lingling ke gereja. Mariyem adalah adik dari Maryono (Muhammad Abbe), seorang aktivis perjuangan.
- Nobuzuki (Suzuki) tentara Jepang langganan restoran Lingling.
- Suwito (Eko Balung) pemimpin grup musik gereja.
- 2 orang Belanda yang bersahabat, Hendrick (Wouter Braaf) – wartawan foto, dan Robert (Wouter Zweers) – tentara.
- Toegimin (Butet Kertaredjasa), asisten ‘general affairs’ alias ngurus segala macem keperluan Sogija mulai dari potong rambut sampe angkat barang.
- Pak Besut (Margono), penyiar radio.
Tokoh sebanyak ini hilir mudik menghiasi film dengan permasalahannya masing-masing. Lingling terpisah dari ibunya yang diculik Jepang, Mariyem terpisah dari kakaknya yang ikut gerilya, Nobuzuki senang main ke restoran Lingling karena teringat anaknya yang seumuran Lingling, Hendrick PDKT melulu kepada Mariyem tapi sering dipahitin karena Mariyem kesel sama Belanda, Suwito gak bisa bebas latihan musik karena sering diganggu Jepang, Pak Besut juga nggak bisa bebas siaran karena mikrofonnya disita Belanda, sementara Robert sebenernya nggak tega lihat penderitaan rakyat tapi berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia cuma menjalankan tugas sebagai tentara.Akhirnya terasa nggak ada satu tema utama yang melatarbelakangi film ini. Tokoh-tokohnya nyaris punya porsi yang sama rata, sampe sosok Soegija-nya sendiri pun nggak terasa mendominasi cerita. Mungkin kalo judul film ini diganti jadi “PERJUANGAN INDONESIA MELAWAN PENJAJAH” rasanya masih cocok-cocok aja.
Tapi seperti pertanyaan temen gue tadi, “Emangnya nggak boleh, sebuah film dengan banyak cerita paralel kayak gini?” – rasanya ya boleh-boleh aja. Walaupun ketiga orang temen yang nonton bareng film ini kompakan bilang film ini ngebosenin banget, bagi gue enggak kok. Memang awalnya sempet terbingung-bingung saat berusaha menebak yang mana cerita utamanya, gue berhasil nonton film ini utuh tanpa ketiduran. Padahal nonton Sherlock Holmes dan Haywire yang banyak berantemnya aja gue sempet ketiduran beberapa kali. Mungkin masalahnya ada di gue, yang udah terbiasa nonton film Hollywood dengan alur cerita tunggal dan gamblang, jadi nggak sreg saat nonton film dengan banyak cerita paralel kayak gini.Setelah filmnya jalan setengah, gue berhenti berusaha menebak arah cerita film dan menikmati aja suguhan adegan-adegan di dalamnya. Ternyata itu lebih mudah dan nyaman. Apalagi ini filmnya Garin Nugroho, yang sejak dulu terkenal doyan banget menyisipkan simbol-simbol tersamar dalam filmnya. Soal kemunculan tokoh Soegija yang nggak dominan di film ini, misalnya. Gue curiga ini memang disengaja oleh Garin untuk menggambarkan sosok asli Soegija yang lebih suka kerja diam-diam dan nggak suka menonjolkan diri. Untung juga sih, film ini disutradarai Garin Nugroho. Kalo Agung Nugroho yang bikin, mungkin ceritanya akan jadi gini:
Mariyem pacaran dengan Hendrick, tapi diem-diem Robert juga naksir sama Marsiyem. Akhirnya terjadi cinta segi tiga. Sementara itu Nobuzuki terlibat affair dengan ibunya Lingling. Sesudah Jepang kalah perang akibat dibom Amerika, Nobuzuki ngajak ibunya Lingling kawin lari ke Jepang. Saat mereka lagi beres-beres barang mau ngabur, datanglah Robert meminta Nobuzuki menyerahkan senjata. Nobuzuki menolak, Robert menembak, tapi di detik terakhir muncul ibunya Lingling sambil menggandeng Lingling mencoba menghalang-halangi tembakan Robert. Akhirnya ibunya Lingling dan Lingling yang kena tembakan dan mati. Stress karena melihat pacarnya mati, Nobuzuki harakiri. Sedangkan Robert juga stress karena salah tembak dan mencoba bunuh diri dengan menembak kepalanya. Tapi muncul Mariyem berusaha merebut pistol Robert, akibatnya justru Mariyem yang ketembak dan mati. Hendrick menyalahkan Robert karena menyebabkan Mariyem mati, akhirnya Hendrick menembak Robert sampe mati. Terakhir Hendrick bunuh diri. Jadi kan dramatis, tokohnya mati semua. Lha trus Soegija-nya kapan muncul? Soegija muncul terakhir, memimpin upacara pemakaman orang-orang itu. Nggak lupa muncul juga Pak Besut si penyiar radio, melaporkan berita dan diakhiri dengan kalimat “It was beauty killed the beast” – ala film King Kong. Keren kan? Enggak ya.
Yang jelas gambar-gambarnya keren, dan setting suasana 40-annya sukses banget. Penulisan naskahnya juga pasti susah banget, karena dialog-dialog dibawakan dengan bahasa aslinya. Orang Jepang dialognya bahasa Jepang, yang orang Belanda pake bahasa Belanda. Jadi nggak kaya ‘Ayat-Ayat Cinta’, misalnya, ujug-ujug orang Mesir bisa bahasa Indonesia.Bahkan dialog-dialog berbahasa Jawa-nya di film ini juga menggunakan logat Semarang yang pas, menandakan film ini dibuat dengan sangat teliti. Soalnya film lainnya suka gitu tuh, mentang-mentang tokohnya Jawa, asal ngomongnya dimedok2in dikit udah merasa aman. Padahal walaupun sama-sama berbahasa Jawa, masing-masing daerah di Jawa Tengah dan Timur punya logat khasnya sendiri-sendiri.
Terlepas dari nyaman atau enggaknya untuk ditonton, film ini bagus dan poin pentingnya: digarap secara sangat serius. Kita perlu lebih banyak film yang dibuat seserius ini.
ngakak bacanya… 😀
thx for pencerahannya 🙂
Setujuuuuuuu!!!!! Ini adalah tugas kita bersama utk bisa menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah negara Pancasila yg cinta damai. Amin.
baca bagian yg ini jadi sedih banget… kenapa msh ada aja ketakutan kayak gitu yg semakin menjadi2 di Indonesia? padahal dgn adanya tokoh uskup ini justru utk membuka mata Indonesia bahwa umat agama lain pun turut berperan dalam memerdekakan Indonesia. Kita semua saling bahu-membahu.
amiiin
Pertanyaanmu tepat banget, Gung. Itulah bagian jugun ianfu yg hilang dari film Soegija. Si Mariyem sebenernya sdh tahu kalau mama Ling2 selamat dan dia sengaja ingin memberikan kejutan kepada Ling2 saat di berdoa di gereja sambil mengajarkan ttg teladan Bunda Maria pada Ling2. Sudah mulai jelas khan adegan ttg pertemuan Ling2 dgn mamanya?Nah itu dia, versi 3 jamnya yang bisa nonton cuma undangan VVIP waktu premiere perdana (salah dua yg nonton adalah ibu Hartati Moerdaya, Uskup Agung utk Indonesia — yg kutipannya diedit dan ditempelkan dalam BBM yg menyatakan bahwa film itu dipotong berdasarkan kesepakatan bersama, padahal sumber BBM itu tidak dapat dipertanggung jawabkan, contoh nama romo Andang yg mengklaim bahwa film ini sudah mendapatkan persetujuan Garin utk di edit jadi 1 jam 45 menit. Siapakah rm. Andang? Dari ordo mana? Paroki mana? Jadi BBM yg beredar tidak dapat dipakai sebagai bukti bahwa film itu dipotong sesuai kesepakatan bersama, kecuali Garin angkat bicara di publik). Moga2 jawaban ini bisa memberikan secercah info pada temanmu Dinantonia.Dan menurut info yg gue terima dari salah seorang pastor yg bekerja di KAJ (Keuskupan Agung Jakarta), yang memegang film versi 3 jam saat ini cuma Garin, bahkan pihak Gereja Indonesia tidak diberikan copynya. Jadi, kita berharap saja Garin mau menyertakan film Soegija di festival luar negeri yg dipastikan akan diputar dalam format 3 jamnya. So, siapapun yang bisa ke luar negeri (contoh : Festival Film di Cannes) dapat kesempatan untuk nonton versi utuhnya. Moga2 aja kita diberikan rezeki ama Tuhan spy bisa keluar negeri ya, Gung.
Coba minta ke SET
jadi dimana bisa dapat film yang versi tak disensor?
Oh gitu ya… pantesan banyak tokoh nanggung, spt ibunya Lingling kan nggak jelas gitu ngilang ke mana tau-tau nongol lagi sehat wal afiat. Sayang banget ya. Nonton versi 3 jamnya di mana?
tos!
makasih!
boring atau enggak sih subyektif kok
ini sih bukan ‘agak’ lagi. enggak, malah gemes!
ayo buruan nonton selagi ada
sebenernya bukan temanya yg menggemparkan, tapi (calon) penontonnya yg paranoid dan berotak negatif.
walau kata orang ngebosenin, tapi gue sendiri ngerasanya nggak gitu kok
wah yang itu belum nonton
enggak, settingnya pindah-pindah kok. Dan rata-rata setting yang susah dibuat krn menggambarkan situasi tahun 1940an
mungkin kalo ceritanya gitu, cocoknya jadi sinetron serial
Sama. sedih. ini jaman ternyata masih orba. malah mungkin makin parah.1. Pengeditan gegara takut ternyata kristen punya andil dalam kemerdekaan Indonesia. Hal yang sebisa mungkin dieliminasi dalam sejarah. Dan tentu saja Sukarno mencium tangan seorang romo? uuh..2. Peran kedutaan Jepang yg pasti minta sensor ketat untuk pengungkapan peristiwa yang memperburuk citra. Bukan rahasia lagi, LSF akan mengonfirmasi ke negara bersangkutan yang ada dalam film sebelum layak tayang. Demi hubungan baik dua negara judulnya..Tapi lucunya, Garin bilang ga ada yg diedit (yg benar mana nih?).Lepas dari itu, film ini tetep buruk dari sisi penyajian. Kalo toh diedit jadi satu sekian jam, mustinya seorang sehebat Garin teteplah bisa merangkainya dengan bagus. Tapi ternyata tidak. Namun kalo ini sebentuk film Mozaik Indonesia, cukup dapet. Memberi judul nama orang akan menjadikan membawa beban ekspektasi kehidupan tokoh. Dan di film ini, hmm ga dapet. Peran Soegija malah jadi sumir.*Curiga pemotongan sedemikian banyak lantaran LSF ga kecipratan yg 16M(?) itu.
Yg bner yg mana sih ptama ada bbm broadcast yg blg dipotong2, lalu ada bbm broadcast berikutnya yg blg bhw itu ga bener.Well, menurut saya, filmnya bagus kok, temanya juga jelas dan kena: kemanusiaan itu gak kenal suku/bangsa. Yg ditulis/dinarAsiin si Soegija itu lah pokoknya. Nggak gagal. Memang terkesan datar, tapi dapet dan mengena kok
ada ga y yg ga dbabat? lbh pengen liat yg aslinya tanpa babatan
Gung, ini film sebenernya baguuuuuuuuussssss banget kalo bisa nonton yg durasi 3 jam. Masalahnya ini film dibabat abis ama LSF dari 3 jam jadi 1 jam 45 menit. Akhirnya ini film jadi ngelompat2 ngak karuan, makanya banyak yg bilang ini film gagal. Asal tahu aja, banyak adegan/cerita kontroversial yg dihilangkan LSF, contoh: kisah ttg jugun ianfu (mama Ling2), kedekatan uskup Soegija dengan Soekarno (adegan Soekarno nyium tangan Soegija, hilang), pembunuhan para imam di Semarang (banyak imam yg dibiarkan mati kelaparan/disiksa Jepang di penjara), peran penting uskup Soegija dalam politik luar negeri demi kepentingan Indonesia dan masih banyak lagi printilan2 penting lainnya yang hilang. Sebenernya gue sedih melihat LSF begitu paranoidnya menghadapi film ini shg film bagus dibikin acak2an kayak gini. Menurut gue ini adalah film sejarah romantis ttg Indonesia tp banyak yg paranoid bilang bahwa ini adalah film ttg Kristen (baca: mengkristenisasi masyarakat Indonesia). Sedih gue…… koq banyak yg picik cuma gara2 film. Moga2 bangsa Indonesia mau sadar bahwa ini negara Pancasila yg seharusnya bisa menghargai berbagai keragaman dan sanggup bertoleransi dgn bijak, bukan sekedar negara preman yg bersembunyi di balik pembenaran suku, agama, ras maupun golongannya sendiri.
nobody’s perfect 🙂
Bukan, justru karena dia hebat, tapi bikin film ini kok gagal (menurutku)
ada dendam pribadi sama garin? 🙂
Kalo bukan Garin, aku kasih binang.
ha ha … maksudku kasian filmnya, gak dikasih bintang 🙂
Masa kamu ga bisa baca komen sedemikian jelas Wikan?
Belum nonton .. tp stuju dg quote ini … ^_^
4 bintang buat filmnya atau ulasannya? 🙂
Ulasan ini pas banget. tapi kalo aku yg menuliskan, ga bakal bisa seartikulatif ini menyampaikan. 4 bintang untuk ulasannya. trims Mbot… (Sorry, tadi salah ngetik nama)
Kalo daku ketemu dirimu, semedhok apapun, sumpe ga bakal ilfil Vin!Sumpe..Sumpe..Sumpeeeeee..
Gila. Boring bgt ya ceritanya, padahal sempet niat nonton juga gara2 liat di iklan tentara jepangnya pake arisaka
agak OOT ya, mas.Mau nanya: Kalo misalnya liat ada cewek cakep tapi ngomongnya medok Semarangan, kira-kira ilfil atau enggak?
Penasaran
film yang menggemparkan karena tema yang diangkat. 😀
niatnya turun gunung pengen nonton ini, tapi temen saya gak mau, nggak jadi deh. Untung gak nonton sendiri, bisa-bisa tidur terus nggak ada yang ngebangunin. *_*
waah filmnya Garin… :Djadi inget film dia yg ‘Rindu Kami Padamu’…
settingny kebanyakan di restorannya lingling ga? Makan-makan terus gitu..
Wk wk.Kalo skenarionya yang cinta segitiga plus dua, mungkin gue niat nonton.