Sang Penari

Poster film Sang PenariTentang trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, gue udah pernah denger. Tapi berhubung waktu cerita itu terbit (kalo nggak salah pernah dimuat bersambung di Kompas ya?) gue masih keciiil sekali, kurang tertarik lah gue untuk tau tentang apa ceritanya. Maka gue nonton filmnya sebelum baca bukunya, tanpa tau latar belakang ceritanya, cuma tau bahwa film ini menang piala Citra dan setiap orang yang udah nonton bilang ini film bagus.

Jadi, sebenernya apa sih ronggeng itu?

Ternyata ya, para pembaca sekalian, kesimpulan gue setelah nonton film ini adalah bahwa negeri kita punya budaya yang sangat kinky. Selama ini gue kira yang namanya ‘ronggeng’ itu ya penari biasa aja gitu, yang suka ditanggap kalo ada acara keriaan di kampung seperti pernikahan, misalnya.

Ternyata bukan sekedar itu.

Orang baru bisa jadi ronggeng di sebuah kampung kalo dia ‘ketiban’ titisan roh ronggeng. Jadi lu nggak bisa ngelamar untuk jadi ronggeng.Lu harus ketiban titisan ronggeng dulu. Kalo lu ‘ditakdirkan’ untuk jadi ronggeng, maka jadilah elu ronggeng. Kalo enggak ya lu terpaksa cari profesi lain, misalnya staff admin*. Dan sebaliknya, kalo lu udah kena titisan untuk jadi ronggeng, maka jadilah elu ronggeng, nggak boleh ngeles. Nggak boleh bilang, “Aduh gimana ya, sebenernya saya lebih suka profesi yang lebih banyak berkaitan dengan angka, misalnya akuntan…” Nggak bisa. Lu kena titisan ronggeng, maka lu akan jadi ronggeng. Nggak bisa dinego.

Dan kalo dibilang tugas seorang ronggeng adalah sebatas menari, itu sama aja bilang bahwa tugas wasit itu cuma niup peluit. Karena begitu lu dapet wangsit roh ronggeng, dan udah disahkan oleh petugas pengesahan ronggeng, maka ada acara yang namanya ‘buka kelambu’. Bukan, bukan disuruh dagang kelambu atau balmut** di ITC. Tapi yang dimaksud dengan ‘buka kelambu’ itu keperawanan seorang ronggeng dilelang, cuy. Jadi siapa yang berani bayar paling mahal, berhak merawanin. Dan itu jadi simbol status di kalangan penduduk kampung tersebut. Dan para ibu-ibu dengan santainya sambil nangkep kodok di sawah bisa saling membual suami siapa kiranya yang akan beruntung merawanin  si ronggeng.

Untuk memperjelas bagaimana perbedaan ibu-ibu sosialita Dukuh Paruk dengan ibu-ibu sosialita Jakarta dalam saling membual kurang lebihnya dapat gue ilustrasikan sebagai berikut:

Ibu-ibu sosialita Jakarta (sambil ngopi yang secangkirnya 200 ribu)

“Mbakyu, mau nitip nggak, besok saya mau shopping ke Singapore. Ini lho, mau beli TAS HERMES lagi. Bosen, soalnya yang ini udah dua kali dipake.”
“Oh ndak usah Jeng, baru tadi pagi SPG HERMES dari Singapore mampir ke rumah saya, nganterin pesenan tas…”

Ibu-ibu sosialita Dukuh Paruk (sambil nangkep kodok)

“Mbakyu, besok ronggeng mau buka kelambu lho. Pasti suami saya yang dapet. Dia udah siapin kebo dua ekor buat setoran.”
“Lha itu dia Jeng, saya ini lagi pusing. Saya lihat kan halaman rumahnya si ronggeng itu sempit ya, kira-kira muat nggak sih untuk nampung setoran 8 ekor kebo saya?”

Intinya gitu: kalo lu jadi ronggeng, keperawanan lu dilelang pada penawar paling tinggi. Dan tawarannya nggak selamanya cash keras. Bisa kebo. Bisa binatang lainnya. Bayangin gimana repotnya jadi ronggeng di Lampung, di mana orang paling kaya adalah yang GAJAH-nya paling banyak.

Dan bayangin obrolan para ronggeng kalo misalnya lagi pada ngumpul dalam acara Konferensi Ronggeng Nasional:

“Buka kelambu kemarin, dapet apaan lu?”
“Kampung gue kampung orang susah, cuma dapet domba 3 ekor.”
“Jiah, masih mending. Masa gue cuma tokek.”

OK, ini udah terlalu melantur. Balik ke filmnya, ya.

Jadi tersebutlah tokoh bernama Srintil yang sejak kecil tertarik banget sama kehidupan seorang ronggeng. Orang tua Srintil berprofesi sebagai pembuat tempe bongkrek. Suatu hari, banyak orang keracunan sehabis makan tempe bongkrek. Penduduk datang ke rumah mereka sambil marah-marah, menuduh orang tua Srintil telah meracuni penduduk desa dengan tempe bongkreknya. Untuk membuktikan bahwa bukan tempe bongkreknya yang beracun, orang tua Srintil memakan tempe bongkreknya. Dan ternyata mereka ikut mati. Dengan demikian penduduk desa tidak marah lagi karena tidak ada lagi kecurigaan dan keraguan di kalangan penduduk desa mengenai apakah tempe bongkrek buatan orang tua Srintil beracun atau tidak***.

Dan oh iya, ngomong-ngomong insiden tempe bongkrek tadi juga bikin ronggeng desa ikutan mati. Sejak itu Dukuh Paruk nggak punya ronggeng lagi karena belum ada yang dapet titisan.

Sepuluh tahun kemudian Srintil (Prisia Nasution) udah dewasa dan dia merasa dapet titisan ronggeng. Dia punya pacar bernama Rasus (Oka Antara). Rasus, logisnya, merasa kurang enak badan ngebayangin Srintil ‘buka kelambu’ sebagaimana layaknya ronggeng, tapi di sisi lain Srintil merasa sudah takdirnya untuk jadi ronggeng. Selain itu Srintil juga yakin bahwa takdirnya sebagai ronggeng adalah sebagai penebus ‘dosa’ kedua orang tuanya yang telah meracuni penduduk desa dengan tempe bongkrek. Maka selanjutnya cerita berkembang pada bagaimana kedua orang ini menjalani hubungan percintaan dalam setting dunia ronggeng. Sebagai latar belakang, digambarkan juga gimana penduduk desa dikompori oleh aktivis partai (PKI?) untuk melawan para tuan tanah, dan gimana Rasus yang kemudian mendaftar jadi tentara harus berhadapan dengan para penduduk desanya sendiri saat G 30 S terjadi.

Seperti yang gue bilang di status Twitter / FB; film ini bagus tapi nggak untuk ditonton mereka yang lagi cari hiburan. Ini jenis film yang bikin lu semakin lama semakin khawatir sama nasib para tokohnya. Saat lu nonton mau nggak mau akan ada perasaan “duh, jangan-jangan abis ini mereka ditangkep / ditembak / digebukin / mengalami nasib buruk lainnya”. Saat nonton film ini, lu bahkan nggak berani berharap akan terjadi happy ending. Terus terang, bukan film yang nyaman buat ditonton. Dan Ifa Isfansyah, sutradara film ini, juga kayaknya nggak terlalu berusaha ‘melunakkan’ film ini. Banyak adegan bahkan dibiarkan sepi tanpa musik latar. Bahkan adegan percintaannya pun bikin miris karena penonton tau mereka nggak akan bisa menjalani hubungan percintaan dengan nyaman. Tapi tetep aja si Oka Antara sungguh BANGKE bisa usel-uselan sama Prisia Nasution.

Maksud gue, si Prisia ini memang pas banget meranin ronggeng: mukanya lugu-lugu erotis gimana gitu. Dan dia adalah makhluk sejenis Farah Quinn atau Anggun C Sasmi atau Kinayosih: kalo dibiarin terlalu sering berkeliaran akan bikin produsen-produsen kosmetik pemutih kulit gulung tikar karena membuktikan bahwa untuk jadi seksi itu nggak harus putih. Kulitnya coklat slurp gitu, dengan kostum dan tarian ronggengnya yang bikin mimisan seperti ini misalnya:

Prisia Nasution

atau ini…

Prisia Nasution

Damn you Oka Antara, damn!

OK, kembali ke film.

Konon film ini butuh waktu 3 tahun untuk membuatnya. Nggak heran, detil lokasinya luar biasa. Belum lagi berseliweran mobil-mobil kuno yang masih dalam kondisi mulus kinclong: pasti bagian properti film ini nggak santai banget hidupnya.

Dan satu hal yang terbawa hingga selesai nonton (di luar ke-BANGKE-an Oka Antara bisa usel-uselan sama Prisia Nasution) adalah tragisnya orang-orang seperti Srintil, Rasus, dan seluruh penduduk Dukuh Paruk harus saling berkonflik untuk sesuatu yang sama sekali nggak mereka mengerti.

Siapa berani jamin hal kayak gitu udah nggak terjadi lagi di jaman sekarang?

*ini apa sih.  
**bantal selimut. Selimut yang bisa dibentuk menjadi bantal. Lagi ngetrend di kalangan ibu-ibu sebagai isi goodie bag kalo ngadain pesta ultah anak. Benda yang paling gue benci karena biasanya gue nganterin anak ke pesta ultah naik sepeda. Dan lu pikir aja sendiri gimana caranya nyetir sepeda dengan ngeboncengin anak seberat 26 kilo DAN balmut. I don’t hate balmut. I DESPISE it.
***sebuah desa yang sangat berkepala dingin ya

4 comments


  1. wkt abis nnton film ini, oh pas tau ada sesi buka kelambu n tau gmn ibu2 malah makasi-makasi sm ronggengny..welehh..sumpah ngg kterima akal bnget..tercengang gw…aneh aneh aneh
    smpet kepikiran smpe bbrapa hari
    pntesan ronggeng dliat negatif, mgkin krn duluny kaya gt x ya