
Bepergian bersama bocah 4 tahun ke tempat-tempat yang situasinya nggak dirancang khusus untuk bocah 4 tahun itu seperti bawa balon ke tengah hutan kaktus.
Semalem, gue, Ida dan Rafi lagi ngumpul di rumah ibu gue. Menjelang tengah malam, sebuah kabar duka datang: sepupu gue meninggal karena kanker otak. Daripada menunda sampe besok takutnya malah nggak sempet, kami bertiga memutuskan untuk layat malam itu juga. Cuma masalahnya, kalo harus memulangkan bocah kecil keriting ini dulu, akan buang-buang waktu. Padahal udah lewat tengah malam. Maka apa boleh buat, gue beranikan mengambil segala risiko yang mungkin terjadi dengan mengajaknya ikut melayat.
Persiapan Sebelum Berangkat
Sebelum berangkat, gue mencoba memberi pengertian.
“Rafi, kita akan pergi ke tempat orang meninggal. Di sana Rafi tidak boleh bicara ya. Tidak boleh tanya-tanya, tidak boleh minta makan dan minum, pokoknya diam aja. Bisa?”
“Kenapa, bapak?”
“Sebab di sana semua orang sedang sedih, jadi sedang tidak ingin bermain dengan anak-anak.”
“Kenapa semua orang sedih?”
“Karena ada oom yang meninggal.”
“Kenapa oomnya meninggal?”
“Oomnya sakit.”
“Sakit apa, bapak?”
“Sakit kepalanya.”
“Dioperasi nggak, bapak?”
“Iya.”
“Berdarah?”
“Udah, pokoknya Rafi kalo mau ikut nggak usah banyak tanya deh. Ingat ya, di sana diam aja. Nggak boleh tanya ‘oomnya kenapa itu bapak’; nggak boleh ‘aduh rafi sangat kehausan ingin minum bapak’. Pokoknya nggak boleh bicara sama sekali. Janji?”
“Iya, bapak.”
Jawabannya terdengar meyakinkan. Tapi gue tau itu sama meragukannya seperti lagi dengerin anggota DPR bacain sumpah. Apa boleh buat, nggak ada pilihan lain, berangkatlah kami ke rumah sakit.
Awalnya Menjanjikan
Sesampainya di rumah sakit, jenazah ternyata masih ada di ruang ICU. Keluarganya berkumpul di ruang tunggu, termasuk ibu almarhum, seorang nenek sepantaran ibu gue (80 tahunan).
“Rafi, sana salam sama oma,” kata gue. Walau nampak sedih, sang oma menyambut Rafi dengan ramah. “Aduh, anak siapa ini cakep betul!”
“Hayo Rafi, bilang apa kalau dibilang cakep?” kata gue.
“Terima kasih, oma,” jawab Rafi sopan. Fiuh.
“Sini duduk dekat oma. Sudah kelas berapa Rafi?”
“Kelas tiga, oma.” Dia kebetulan ada di kelas TK – A3, jadi ya jawabannya nggak salah juga.
“Rafi rumahnya di mana?”
“Tebet, oma.”
“Senang nggak tinggal di Tebet? Senang mana dengan tinggal di rumah eyang?” Maksudnya rumah ibu gue, yang gue tinggali sebelum pindah ke Tebet.
“Di Tebet.”
“Tapi di rumah eyang ada ikan banyak, lho!”
“Di rumah Rafi di Tebet ada kura-kura! Dua, lagi.”
Oma itu tertawa. Gue menarik nafas lega. Lumayan, rupanya kehadiran bocah kecil ini malah bisa menghibur orang yang sedang berduka cita.
Eh, nanti dulu. Menghibur? Rasanya terlalu cepat gue mengambil kesimpulan.
Endingnya Menggetarkan
Karena dengan spektakulernya pertanyaan Rafi berikutnya adalah…
“Oma, mana sih oom yang meninggal karena kepalanya sakit terus dioperasi?”
…oh, nooo…
……
“Oomnya dipanggil Tuhan, Rafi…” jawab oma sambil mulai berkaca-kaca lagi.
Sementara gue, “Mmm.. Rafi, ikut bapak sini yuk, beli minum!”
“Tapi Rafi tidak haus, Bapak.”
“Ikut, sini!”

Tinggalkan Balasan ke nanin Batalkan balasan