Hari Jum’at 15 April kemarin, gue dapet jatah medical check-up di RSPI. Rangkaian pemeriksaan beres di jam 1 siang, padahal udah kadung ngambil cuti. Ya udah, gue meneruskan hari dengan keluyuran di mal PIM 1 dan 2 sampe sore, termasuk nonton film tanda tanya.
Maka dengan berbekal sebotol air kemasan 500 ml, gue mulai menyusuri rute Jl. Haji Nawi – Jl. Fatmawati – Jl. Wijaya 2 – Jl. Wijaya 1. Di sini tau-tau ujan, jadi gue neduh dulu di resto Pand’Or, istirahat sambil numpang ngecharge HP. Biar nggak dipelototin sama petugasnya, gue basa-basi beli burger sama lemon squash, tapi akhirnya burgernya dibungkus aja karena berusaha konsisten untuk berhenti makan saat lapar hilang. Begitu ujannya berhenti, gue lanjutin perjalanan ke Jl. Tendean – MT Haryono trus sampe deh di Tebet.
Total perjalanan gue memakan waktu 4 jam, dengan waktu ngetem di Pand’Or sekitar 1 jam berarti ‘bersih’nya sekitar 3 jam menempuh jarak 11.5 KM. Artinya kecepatan jalan gue nggak sampe 4 KM/jam. Walau dengan kondisi manggul ransel seberat 6 kilo, tetep aja kecepatan segitu jauh lebih rendah daripada kalo jalan di treadmill yang biasanya kecepatan pemanasannya aja di kisaran 5 – 5,5 KM/jam. Penghambat terbesarnya adalah… karena trotoar Jakarta bener-bener nggak layak disebut sebagai tempatnya pejalan kaki.
Di Jalan Haji Nawi, misalnya: tiang-tiang listriknya ditanam pas di tengah trotoar, nggak menyisakan ruang di sebelah kiri atau kanannya. Artinya kalo mau lewat situ harus rada-rada pole dancing ala di Las Vegas. Fatmawati, trotoarnya bergerigi kayak abis dilewatin tank. Jalan Wijaya 2 dan 1 lumayan, rata, bisa dilewatin, tapi gelapnya minta ampun. Tendean, hampir nggak ada bagian trotoar yang rata karena dipake untuk ramp (miringan) mobil masuk ke gedung. Kalopun ada bagian yang rata, maka lo harus rebutan sama motor kalo mau jalan di situ. Akhirnya karena kesel dan kebetulan juga macet parah, sekalian aja gue jalan di tengah jalan.
Tapi juaranya adalah trotoar MT Haryono. Semua kebrengsekan di jalan-jalan yang gue lewatin sebelumnya ada di sini, plus beberapa ‘bonus’ poin. Gelap? Iya. Miring? Iya. Kalo lu sesekali jalan di bidang miring, mungkin nggak akan merasa terlalu terganggu. Tapi setelah 3 jam jalan, ketemu bidang miring rasanya cobaan banget buat mata kaki. Sempit? Coba deh lewat di bagian-bagian yang ada jembatan penyeberangannya. Trotoarnya abis buat tangga sehingga mau nggak mau kita harus turun ke jalan dulu, atau jalan miring kaya wayang kulit di sisi tangga penyeberangannya. Selain itu yang bikin gue heran adalah ketinggian trotoarnya. Di beberapa titik tingginya bisa lebih dari 50cm. Bayangin kalo yang mau lewat situ adalah ibu-ibu berkebaya lengkap. Dugaan gue, trotoarnya dibuat setinggi itu untuk menjaga agar banjir langganan tetap ada di jalan, jangan sampe masuk ke gedung.
Tapi yang paling gila adalah, di Jalan MT Haryono, daerah segi tiga emas yang harga tanahnya konon salah satu yang termahal se-Indonesia, yang tiap hari dilewatin pejabat, BUANYAK banget lubang GUEDE dibiarin menganga di trotoarnya. Di bawah trotoar itu ada gorong-gorong saluran air yang ditutup dengan jajaran balok beton ukuran 1 x 1 meter. Entah ilang atau rusak, atau kontraktor proyeknya ‘salah hitung’, ada beberapa bagian yang nggak tertutup balok beton. Jadi kalo elu nyemplung ke situ, elu akan masuk ke gorong-gorong dengan kedalaman 2-3 meter di bawah tanah. SANGAT nggak disarankan untuk lewat situ sambil jelalatan menikmati indahnya pemandangan sekitar atau sambil bales SMS. Selalu, selalu, selalu lihatlah ke bawah.
Dengan demikian, kalo gue simpulkan dari pengalaman ‘spiritual’ gue jalan kaki 3 jam di tengah jantung kota Jakarta, manfaat yang gue dapat adalah:
- melatih keterampilan dan kewaspadaan menghindari samberan motor
- merasakan moda transportasi yang bisa melaju lebih cepat dari mobil, khususnya di Jalan Tendean jam pulang kantor
- melatih keseimbangan jalan di bidang miring
- yang terpenting: menjalankan filosofi bahwa dalam hidup kita harus “banyak-banyak melihat ke bawah”.
Akhir kata, buat Foke Kumis, FOKE YOU!

Tinggalkan Balasan ke essymoestl Batalkan balasan