Perkenalan gue dengan buku ini diawali dengan rekomendasi dari Dayana yang kebetulan rajin mengikuti program pelangsingan gue *wink*
Yang menarik dari buku ini adalah tulisan di sampulnya:
“Menurunkan berat badan dengan makan apa saja dan kapan saja”
Hue… yang bener nih?
Ternyata, ibarat iklan operator seluler, kalimat tersebut harusnya diakhiri dengan *syarat dan ketentuan berlaku.
Betul, Juli Triharto membolehkan bahkan menganjurkan kita untuk makan apa saja kapan saja, asaaal…
…makannya hanya ketika lapar fisik. Buku ini memperkenalkan istilah “lapar fisik” dan “lapar emosi”. Lapar fisik adalah lapar karena secara fisiologis tubuh membutuhkan asupan makanan. Lapar emosi adalah bentuk lain dari ‘ngiler’, ‘laper mata’, atau dorongan makan untuk melarikan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan (misalnya: ngemil untuk mengusir stress) atau dorongan makan sebagai bagian dari kegiatan rekreasi (misalnya: nonton bioskop sambil ngemil pop corn).
Lengkapnya, buku ini memperkenalkan 5 Magic Rule untuk melangsing:
- Makanlah ketika lapar (fisik)
- Makan apapun yang Anda inginkan
- Makan secara sadar
- Ketika netral, berhentilah makan
- Tingkatkan aktivitas tubuh
Intinya, kalo berdasarkan kesimpulan bebas gue, buku ini mencoba mengembalikan kegiatan makan sesuai fitrahnya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh. Makanya kita dianjurkan untuk hanya makan ketika lapar fisik dan makan secara sadar, karena memang pada kenyataannya kita sering sekali makan bukan karena lapar. Bisa jadi kita makan karena ‘mumpung’ – mumpung ditraktir. Kita juga sering makan karena ‘sayang’ – sayang makanannya belum habis. Kita juga sering makan karena liat orang lain makan dan ngiler karena keliatannya makannya nikmat bener.
Buku ini juga menganjurkan pembacanya untuk tidak menghitung-hitung kalori, dan nggak memikirkan apakah makanan yang kita inginkan ‘sehat’ atau tidak. Sebagai gantinya, buku ini menggunakan istilah ‘makanan yang menginspirasi’ dan ‘makanan yang tidak menginspirasi’. Tujuannya, sepenangkapan gue, menghindarkan orang dari perasaan tertekan saat mengatur makan lewat program diet, yang pada akhirnya membuat tubuh merasa ‘lapar’ karena belum terpenuhi keinginannya. Trus, gimana dong kalo makanan yang kita inginkan nggak sehat, misalnya ingin makan mi ayam atau soto jeroan? Lewat proses ‘makan secara sadar’, buku ini mengarahkan kita untuk nggak cuma sadar saat memilih makanan, tapi juga sadar – dan menghayati – reaksi tubuh setelah makan. Makanan-makanan yang ‘tidak menginspirasi’ biasanya menimbulkan rasa nggak enak di tubuh seusai makan, sehingga di kesempatan berikutnya bisa jadi acuan saat kita memilih makanan.
Secara umum gue setuju, dan udah mulai mempraktikkan cara makan sehat yang diajarkan di buku ini. Hasilnya memang sangat membantu proses diet gue, karena praktis gue nggak perlu tersiksa saat mengatur pemasukan kalori. Pokoknya kapanpun gue lapar, gue makan. Tapi begitu laparnya hilang, atau dalam buku ini istilahnya ‘mencapai kondisi netral’, gue berhenti makan. Makanannya kalo bisa disimpen ya disimpen dulu untuk dilanjutin lain kali. Kalo di restoran, biasanya gue minta sisa makanan (yang biasanya masih lebih dari setengah porsi) untuk dibungkus. Kalo nggak memungkinkan, ya apa boleh buat dibuang. Juli menganjurkan kita untuk lebih sayang badan daripada sayang makanan. Kalau sayang badan, maka kita nggak akan memaksa badan kita untuk menelan makanan lebih dari yang dibutuhkan, yang pada akhirnya akan mendatangkan penyakit.
Hal yang masih bikin gue skeptis dari buku ini adalah anjurannya untuk hanya makan makanan apapun yang kita inginkan. Kalo berdasarkan argumen di buku ini, saat kita benar-benar secara sadar menginginkan makanan tertentu, artinya tubuh kita sedang membutuhkan zat yang terkandung dalam makanan itu. Contohnya saat kita ingin makan sate, ya makan aja, karena artinya badan kita sedang butuh protein hewani. Tapi praktiknya, pendekatan itu agak sulit diterapkan di kondisi gue karena makanan yang tersedia di seputaran kantor umumnya nggak sehat, dan belum tentu bersih juga. Makanya gue masih menggunakan kombinasi antara prinsip hypnolangsing dan program diet herbalife. Kalo lapar, gue mengutamakan minum shake herbalife daripada berkhayal-khayal dulu ingin makan apa. Hasilnya, berat gue tetap turun tapi nggak pake kelaparan, samsek. Bahkan ternyata makan nggak sampe kenyang bikin perut lebih nyaman dan bikin nggak ngantuk.
Selain itu, kritik gue terhadap buku ini, khususnya untuk 5 Magic Rule poin 5: Tingkatkan aktivitas tubuh. buku ini sekedar mengarahkan pembacanya untuk bergerak lebih banyak, jalan kaki pun cukup. Padahal menurut gue, keseimbangan porsi olah raga antara yang bersifat cardiovaskuler dengan yang latihan beban juga perlu diperhatikan. Jalan kaki aja nggak cukup, kalo memang beneran ingin punya badan langsing yang sehat (baca: berstamina tinggi, sehat, dan padat).
Kesimpulannya: ini adalah buku yang patut dicoba bagi mereka yang ingin melangsing tanpa kelaparan.

Tinggalkan Balasan ke dayanadayanadayana Batalkan balasan