Menyambung jurnal gue sebelumnya, di jurnal ini gue mencoba menjelaskan gimana pengamatan dan pemahaman gue atas perbedaan antara proses distribusi yang terjadi di Oriflame dengan yang terjadi di perusahaan konvensional (non-MLM). Yang perlu gue tekankan di sini adalah; ini hasil pengamatan gue sendiri dan tidak berdasarkan informasi apapun dari pihak Oriflame. Jadi, mungkin aja ada banyak kekeliruan di sana-sini ya.
Di perusahaan konvensional, umumnya terjadi rantai distribusi sebagaimana tergambar dalam ilustrasi berikut:
Dari pabrik, barang diangkut ke distributor, lalu disebarluaskan lagi ke tingkat agen / sub distributor, baru kemudian dibeli oleh para pengecer untuk dijual lagi ke konsumen.
Dengan skema MLM seperti Oriflame, mata rantainya dipangkas sehingga menjadi seperti ini:
Dari pabrik, produk didistribusikan ke kantor-kantor perwakilan di tingkat negara / wilayah, lalu langsung dijual ke tangan konsultan, yang sebagian besar juga merangkap sebagai konsumen.
Berdasarkan panjangnya mata rantai, jelas kedua sistem ini berbeda. Tapi apakah hanya sampai di situ perbedaannya, atau justru ada kesamaan yang lebih esensial?
Dari sudut pandang konsumen, skema distribusi konvensional jelas membuat mereka harus membayar lebih mahal. Di setiap mata rantainya terjadi kenaikan harga karena masing-masing mata rantai pastinya ingin kebagian keuntungan, kan? Sub-Distributor menjual dengan harga lebih mahal dari Distributor, dan Pengecer pastinya menjual lebih mahal daripada Sub-Distributor. Semakin panjang rantainya, akan semakin mahal harganya di tingkat konsumen.
Skema MLM, dengan rantai distribusi yang lebih pendek, memungkinkan produsen untuk mengantarkan produknya ke tangan konsumen secara lebih murah.
Apa iya lebih murah? Bukannya di MLM ada segala macam bonus yang harus dibayarkan pihak produsen kepada para konsultannya, dan bukannya ini masuk komponen biaya juga?
Untuk menjawabnya, gue akan mencoba melakukan perbandingan dalam bentuk persentase peningkatan harga yang terjadi di bisnis konvensional vs. Oriflame.
Berdasarkan hasil pergaulan gue dengan para nasabah kantor tempat gue kerja, yang mana sebagian di antaranya adalah para agen / sub-distributor dan pengecer barang, gue tau bahwa umumnya di tingkat agen terjadi mark-up sekitar 5% dan di tingkat pengecer sekitar 10-15%. Gue nggak tau pasti berapa persen tingkat mark-up di tingkat distributor, tapi perkiraan gue adalah sekitar 2%.
Dengan demikian terjadi mark-up harga 2% + 5% + 10% = 17% dong?
Aktualnya bisa lebih dari itu, karena terjadi proses mark-up secara bertingkat.
Misalnya, sepotong sabun X keluar dari pabrik dengan harga Rp. 10.000
- Distributor menjual kepada Sub-Distributor / Agen seharga Rp. 10.000 + 2% = Rp. 10. 200
- Sub-Distributor / Agen menjual kepada Pengecer seharga Rp. 10.200 (harga setelah mark-up distributor) + 5% = Rp. 10.710
- Pengecer menjual kepada konsumen seharga Rp. 10.710 + 12,5% (rata-rata) = Rp. 12.049
Kalo ditotal, telah terjadi mark-up harga sebesar Rp. 2.049 alias sekitar 20% dari harga yang dikeluarkan pabrik.
Siapa yang menikmati duit Rp. 2.000-an ini? Bukan produsen, melainkan pihak-pihak terkait dalam mata rantai distribusinya yaitu Distributor, Sub-Distributor / Agen, dan Pengecer.
Seandainya seorang konsumen bilang, “Gue mau dong beli sabun ini dengan harga lebih murah, bisa nggak?” Maka solusinya adalah dia harus membeli dalam jumlah lebih banyak, misalnya selusin, dan mendapatkan harga seperti harga Sub Distributor / Agen yaitu Rp. 10.710. Dengan kata lain, konsumen harus meningkatkan volume pembeliannya, untuk mendapatkan harga lebih murah.
Kalo diskon sekian itu masih belum dirasa cukup, ya dia harus beli lebih banyak lagi dan lagi sehingga akhirnya sampai di tingkat harga Distributor. Tapi untuk mencapai tingkat itu ya artinya dia harus beli sabun sebanyak satu atau dua gudang sekaligus, yang cukup untuk dipake mandi anak – cucunya 7 turunan. Nampaknya agak kecil kemungkinannya ada seorang konsumen biasa (bukan pedagang) yang sampe segitu niatnya dapet diskon, ya.
Sekarang mari kita bandingkan dengan skema harga di Oriflame.
Andaikan aja Oriflame memiliki produk sebuah sabun dengan spek yang 100% plek sama dengan yang gue jelaskan dalam contoh barusan, maka Oriflame juga bisa menjualnya dengan harga Rp. 12.049.
Nggak berhenti sampai di situ.
Konsumen juga selalu punya peluang untuk mendapatkan harga 30% lebih murah dengan cara mendaftarkan diri sebagai member. Biaya pendaftarannya nggak sampe Rp. 40 ribu, dan keanggotaannya berlaku 1 tahun. Artinya, kalau konsumen itu membeli produk seharga Rp. 150 ribuan aja, maka diskon yang didapatkannya udah langsung bisa menutup biaya keanggotaan yang dia bayarkan. Ini bisa terjadi dengan pembelian produk secara satuan, tanpa harus ngeborong produk untuk 7 turunan.
Kembali ke contoh sabun seharga Rp. 12.049, bila konsumen lantas memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai anggota, maka dia akan mendapatkan harga sekitar Rp. 8.500-an. Loh, kok bisa lebih murah dari harga pabriknya produk konvensional? Lalu ke mana larinya biaya distribusi sekitar 20%-an yang ada dalam distribusi konvensional?
Jawabannya karena dengan pola distribusi MLM, tidak ada biaya iklan dan promosi.
Dalam proses distribusi MLM, biaya iklan, marketing, dan tenaga penjualan bisa ditekan seminim mungkin. Coba perhatiin kios-kios dari perusahaan kosmetik dan perawatan tubuh konvensional yang ada di mal. Perhatikan juga iklan-iklan berwarna di majalah dan koran, yang per milimeter kolomnya bisa mencapai biaya puluhan ribu rupiah. Semua itu dibiayai oleh produsen, tanpa peduli apakah penjualannya banyak atau sedikit, bahkan tetap harus dibayar sekalipun produknya nggak terjual sama sekali.
Dalam MLM Oriflame, biaya-biaya promosi dan iklan digantikan oleh peran para konsultan, yang bekerja tanpa digaji tetap. Mereka hanya dapat bonus kalau terjadi penjualan, itupun harus memenuhi batas minimal dulu. Walaupun demikian, daya jual para konsultan lebih tinggi daripada iklan media massa yang secanggih apapun, karena pada dasarnya orang lebih percaya pada rekomendasi orang yang telah dikenalnya ketimbang pada iklan.
Memang bener MLM nggak harus bayar biaya iklan dan promosi, tapi kan harus bayar bonus buat para membernya. Sama aja, dong.
Biaya bonus untuk para konsultan, masih lebih murah ketimbang biaya iklan dan promosi, karena, sekali lagi, strukturnya proporsional dan harus memenuhi batas minimal dulu sebelum dibayarkan.
Pertama-tama gue jelaskan komponen bonusnya dulu, lewat tabel bonus ini:
Perhatikan, di level Senior Manager, level yang tertinggi, persentase bonus yang bisa didapatkan adalah 21%, atau kurang lebih sama seperti biaya distribusi yang terjadi di pola distribusi konvensional.
Yang membedakan adalah: komponen biaya 21% berada dalam kantong Oriflame, dan berpotensi sebagai tambahan keuntungan bagi Oriflame!
Maksudnya begini:
Biaya distribusi sekitar 20% plus biaya iklan dan promosi yang terjadi dalam distribusi konvensional bersifat tetap, tanpa peduli apakah penjualannya baik atau buruk. Komponen biaya distribusi dinikmati oleh para pelaku distribusi, bukan oleh produsen.
Dalam proses distribusi Oriflame, komponen bonus hanya akan dibayarkan apabila telah memenuhi batas tertentu, dalam tabel batas minimalnya adalah 200 poin (= kurang lebih Rp. 1 juta). Penjualan di bawah itu, tidak mendapatkan bonus.
Sekarang bayangkan ada seorang konsultan yang bergabung saat Oriflame baru buka di Indonesia sehingga tidak punya upline, dan dalam sebulan hanya membeli produk senilai 5 poin. Dia punya 10 orang downline, yang masing-masing juga hanya belanja 5 poin. Total pembelian yang dilakukan oleh group itu adalah 11 orang x 5 poin = 55 poin, maka mereka semua tidak berhak mendapatkan bonus pembelanjaan karena masih di bawah batas minimum 200 poin. Artinya, dari aktivitas mereka bersebelas, pihak Oriflame yang mendapatkan ‘bonus’ karena tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan!
Dengan kata lain, dari segi persentase komponen biaya, distribusi ala konvensional dan distribusi ala MLM Oriflame memiliki persamaan. Walaupun begitu, dengan distribusi ala MLM Oriflame, baik produsen maupun konsumen sama-sama berpeluang meraih keuntungan yang lebih besar.
Keuntungan lainnya bagi produsen yang melakukan distribusi secara MLM adalah, saat basis anggotanya udah makin besar, maka secara alamiah mereka akan mengasah kemampuannya secara mandiri tanpa harus disuntiki dana tambahan dari pihak produsen. Ambil contoh BOSS family, kelompok konsultan Oriflame tempat Ida bergabung. Kelompok ini secara rutin mengadakan training, acara-acara rekognisi dan penghargaan, bahkan sampe membuat jaringan toko online secara mandiri tanpa dukungan dana sedikitpun dari pihak Oriflame.
Bukan cuma sebatas pelatihan, tapi pemekaran jaringan juga bisa dinikmati produsen MLM secara ‘gratis’ dengan mengandalkan pergerakan para anggotanya. Contohnya kantor cabang Oriflame di Bali. Hingga beberapa tahun yang lalu, belum ada kantor cabang di sana. Pelan – pelan, bermunculan para member baru di Bali yang awalnya harus memesan barang dari kantor cabang Surabaya. Lama kelamaan volume pemesanannya terus meningkat hingga akhirnya pihak manajemen Oriflame memutuskan untuk membuka kantor cabang di Bali. Bagi produsen, ini sama aja dengan melakukan proses survei pemekaran lokasi secara gratis, yang nggak mungkin terjadi di proses distribusi konvensional!
Kesimpulannya, dengan MLM, produsen bisa mengalokasikan biaya secara lebih efisien, konsumen juga bisa mendapatkan produk dengan harga yang lebih murah. Pertanyaan berikutnya, kalo tau gini kenapa nggak semua perusahaan rame-rame mengubah dirinya menjadi MLM?
Karena biar bagaimanapun ada juga kelemahan dari sistem ini, yaitu konsistensi ketersediaan produknya.
Ambil contoh kasus misalnya seorang pelanggan Oriflame, non member, bernama Ibu Yayah yang tinggal di Cidodol. Dia biasa beli produk-produk Oriflame dari Ibu Tuti, tetangganya.
Pada suatu ketika, Ibu Yayah menjual rumahnya di Cidodol dan pindah ke Tebet Timur. Di Tebet Timur sebenernya udah ada Ibu Endang, Ibu Wati, dan Ibu Jamilah yang berprofesi sebagai konsultan Oriflame, tapi biasalah, orang Jakarta kan suka kurang kenal sama tetangga. Maka saat bedak Oriflamenya habis, ibu Yayah menelepon ibu Tuti untuk membeli bedak dan dijawab oleh ibu Tuti, “Waduh, kalo saya harus nganter ke Tebet Timur cuma bawa bedak 1 biji mah rugi di ongkos, mbakyu”. Mendengar jawaban ibu Tuti, ibu Yayah lantas mengalihkan bedaknya ke merk lain, tanpa mengetahui bahwa sebenarnya dia juga bisa membeli produk tersebut dari 3 orang tetangganya.
Selain itu, proses pengembangan jaringan MLM juga relatif lebih lambat daripada proses distribusi konvensional. Gue inget saat es krim Wall’s baru diluncurkan, dalam tempo kurang dari 2 tahun kulkas-kulkas pendinginnya udah bisa ditemukan di seluruh pelosok nusantara sampai ke tingkat kelurahan. Kecepatan ini, menurut gue, sulit ditandingi oleh perkembangan jaringan MLM.
Nah demikianlah ocehan panjang lebar gue tentang MLM. Semoga bermanfaat, walaupun gue curiga banyak yang males duluan untuk baca tulisan sepanjang ini…. hehehe…
panjang bener post-nya…males bacanya. 🙂
tentunya setelah segala urusan per-lebaran-an beres.. :-0sip sip, ntar aku PM ya!
abis lebarannya kapan dulu nih?pan mudik, haha..yaudah, nanti coba pm-an aja utk lanjutannya.
abis lebaran aku ada rencana ke jogja.. :-)aku punya beberapa donlen disana..yuk yuuk, nanti kita bertemuuu 🙂
saya di jogja mbak, hehehe…piye carane ketemuan?
@laptopmini: tertarik dengerin sistemnya? Yuk kita ketemuan, nanti aku jelaskan detail.Kapan punya waktu? 🙂
ada yang bisa jelasin ke saya ga?oriflame itu kaya gimana sih?-benerangatau-
hihihihihi jd pasangan oriflame nih…..
titi juga selesai bacanya, biar bukan Boss Fam, tapi tetep ngerasa saudara dg boss fam, sesama oriflame. haha
So konsultan oriflame itu pebisnis atau pegawai?
Mending jadi donlen ida, kalo bingung dibantuin pprospek2nya. Kalo jadi donlennya agung, kalo bingung dijadiin jurnal lohh.KikikikiNice post mas agung, yaaaah seperti biasaaaa
Ntar gw jd donlen elo aja
elunya nggak sekalian?
Gila gung, gw kelar juga bacanya… Bilangin ida… Formulirnya gak tau dimana… Jadi neh, daftarin sepupu gw