Gara-gara sibuk ngurusin lebaran dan pesanan, Ida teledor kelupaan bayar rekening listrik. Yang deadline-nya tanggal 25, sampe akhir bulan gini belum kebayar. Maka, kemarin siang datanglah dua orang mas-mas ke rumah kami, membawa selembar kertas putih.
“Permisi pak, mau mengantarkan surat pemutusan listrik…” kata salah satu dari mereka. Gue sempet bingung, tapi Ida muncul dari dalam rumah sambil bilang, “Oh iya, aku telat bayar. Terima aja suratnya, aku bayar sekarang deh dari klikbca.”
Maka gue tanda tangani surat putih itu, yang ternyata rangkap dua. Salinannya yang warna biru diambil lagi oleh si mas. Abis itu gue tunggu, lho kok mereka nggak pergi-pergi?
“Eee… mau cek meterannya juga Pak,” katanya.
“Oh, OK.” Gue bukain pagar.
Mereka berdua masuk, mengamati meteran listrik dan menulis-nulis di atas lembaran biru salinan surat pemutusan. “Ck ck ck… lima ratus ribu lebih lho ini tagihannya…” kata mas yang satu kepada yang satunya. Temannya menimpali dalam bentuk gelengan kepala penuh keprihatinan.
“Jadi, persisnya kapan ini pak?” tanya salah satu mas.
“Persis apanya?”
“Pembayaran persisnya?”
“Pembayaran persisnya? Pembayaran bulan lalu? Tauk ya kapan, udah lupa Mas.”
“Bukan, persisnya pak.”
“Persis gimana sih?” tanya gue mulai nggak sabar.
“Persisnya pembayarannya kapan, gitu pak…”
“Maksudnya, kapan mau dibayar, gitu?”
“Iya, Pak…”
“Iyaaaa, ini lagi dibayar lewat internet!” teriak Ida dari dalam rumah.
“Tuh, Pak… lagi dibayar,” kata gue.
“Oo…” habis itu dia masih celila-celili di teras rumah, berpandangan dengan partnernya. Apa lagi sih maunya?
Setelah beberapa menit, akhirnya dia nggak tahan untuk mengutarakan maksudnya,”Ee… kalo gitu minta uang rokoknya deh Pak…”
OALAAA… dari tadi nungguin uang rokok toh… emangnya dia nggak tau ya, merokok kan kurang baik bagi kesehatan, apalagi kalo uang untuk belinya datang dengan cara-cara yang kurang ‘jelas’. Mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya, para penunggak yang mereka datangi akan pucat ketakutan dan lantas ‘minta kebijaksanaan’ agar listrik nggak diputus, atau menitipkan uang pembayarannya kepada mereka. Padahal jelas-jelas di surat pemutusannya tertulis larangan untuk memberikan uang kepada petugas, dengan alasan apapun (termasuk beli rokok, tentunya).
“Uang rokok? Untuk apa ya pak? Saya rasa nggak perlu kali ya…” jawab gue sambil tersenyum manis dan berjalan ke arah pagar. Mereka pun berjalan gontai mengikuti dan pergi dengan manisnya.
Mas… mas… kalian bener-bener salah orang deh hari ini 🙂

Tinggalkan Balasan ke mbot Batalkan balasan