get married 2

Sequel, apalagi dari sebuah film yang menurut gue bagus, selalu bikin deg-degan. Di satu sisi senang bahwa film yang bagus itu muncul lagi, tapi juga cemas karena berdasarkan pengalaman sequel biasanya lebih jelek dari film aslinya. Penyebabnya biasanya karena sequel dibuat bukan karena betul-betul ada materi cerita lanjutan, tapi hanya karena film pertamanya laku keras dan para juragan di balik film tersebut ngiler ingin mengulang kesuksesan yang sama.

Get Married yang pertama dulu, udah bikin gue lumayan terkesan sehingga rela memberikan 4 bintang. Waktu itu gue bilang, kekuatan film ini adalah dengan tema dasar yang begitu ‘ringan’ (misi sepasang orangtua mencarikan jodoh buat anak) berbagai tema lain bisa ikut diselipkan tanpa terkesan maksa. Di sequelnya, tim kreatifnya kelihatannya mencoba meramu resep yang sama. Tema dasarnya juga sederhana, yaitu keresahan pasangan Mae (Nirina) dan Rendy (Nino Fernandez) karena belum dikaruniai momongan. Selain itu, Mae juga mulai sebel sama suaminya yang keliatannya lebih sayang sama kerjaan ketimbang sama istri. Kekesalan Mae memuncak saat di ulang tahun perkawinan mereka Rendy malah sibuk meeting di kantor, sehingga akhirnya Mae memutuskan pulang ke rumah orang tuanya (Jaja Miharja dan Meriem Bellina). Seperti di film pertama, ketiga teman Mae yaitu Eman (Aming), Guntoro (Desta), dan Beni (Agus Ringgo) terlibat terlalu dalam.

Film ini dibuka dengan sangat menjanjikan. Seperti di film pertama, aneka realita masyarakat ikutan nongol dan mengajak penonton menertawakan diri sendiri. Misalnya ketika diceritakan bahwa Eman sempat ikut-ikutan tren mendaftar jadi caleg dan akhirnya bangkrut, sementara salah satu tetangganya malah jadi gila. Juga ada tokoh adiknya Rendy yang cuma 2 tahun sekolah di luar negeri, itupun nggak lulus, tapi pulang-pulang mendadak lupa bahasa Indonesia. Celetukan-celetukan Jaja Miharja sebagai bapaknya Mae juga cukup ‘kena’, misalnya waktu diajak istrinya menghadiri acara ulang tahun perkawinan Mae:

“Pak, ayo kita berangkat. Sebentar aja, cuma setor muka doang…”
“Setor muka? Lu kata gue anggota DPR?”

Komedi situasi waktu Rendy yang ‘anak gedongan’ harus ikutan nginap di rumah Mae yang sederhana juga bagus. Atau bagaimana reaksi Mae saat diminta untuk bersikap ‘sexy dan romantis’ juga bikin gue ngakak. Tapi waktu cerita sampe pada marahnya Mae kepada Rendy akibat suatu kesalahpahaman, film terasa jadi kehabisan bensin. Gue bahkan mulai harus mengerahkan upaya ekstra untuk nggak ketiduran. Untunglah menjelang akhir film ada angin segar yang bikin film gue kembali melek dan lumayan terhibur.

Satu hal yang mengganggu gue dari sequel ini adalah pergeseran karakter ketiga teman Mae. Kalo di film pertama, digambarkan mereka adalah anak-anak kampung yang nggak kenal kompromi dalam hal solidaritas antar teman. Mungkin rada norak dan kuper, tapi pada dasarnya mereka orang baik dan jujur. Jadi kalo ulah mereka berbuntut kekacauan, itu bukan karena disengaja. Sedangkan yang gue liat di sekuelnya, Eman, Beni dan Guntoro berubah jadi manipulatif. Coba aja amati tingkah Guntoro dengan bingkai foto pemberian sekretaris Rendy, juga ulah Beni saat bertugas beli makan siang. Gue ngerti bahwa ulah mereka ini jadi bagian dari kritik realita tentang tingkah orang-orang yang gemar menyalahgunakan jabatan, tapi buat gue terasa kurang pas kalo mereka yang harus melakukannya. Kalo gue jadi penulis naskahnya, gue akan memasang tingkah-tingkah menyebalkan itu pada tokoh antagonis baru aja sekalian.

Sekarang tentang para pemain. Nino Fernandez sebagai Rendy adalah pemain baru, karena di film pertamanya tokoh Rendy diperankan oleh aktor lain (yang mana gue lupa namanya). Secara akting sih gue nggak ngeliat ada masalah pada Nino, tapi secara fisik, hmmm…. maaf lho ini, bukannya nuduh, cuma kesan subyektif aja, tongkrongannya terlalu gay! Aming masih aja suka ngomong kecepetan sampe susah ditangkep, tapi udah mendingan ketimbang waktu di film pertama. Jaja Miharja dan Meriem Bellina keren banget. Salah satu adegan favorit gue adalah ‘catfight’ antara Meriem Bellina sebagai ibunya Mae vs Ira Wibowo sebagai ibunya Rendy, yang kocak banget karena mereka saling cela pake bahasa Sunda! Hanung sebagai sutradara juga ikutan ber-cameo sebagai orang yang mobilnya lagi diparkirin oleh Mae dan nabrak sebuah reklame raksasa bertuliskan film berjudul “Ayat Sangat Cinta” yang berhiaskan stempel bertuliskan “Mesir Asli” hehehe…. sindiran yang keren!

Akhir kata, walaupun ketawa gue nggak selepas waktu nonton Get Married versi aslinya, film ini masih masuk kategori OK kok. Layak dapet 3.5 bintang dari gue.

15 comments


  1. Sindiran ayat sangat cinta berstempel asli mesir itu maksudnya apa ya?Apa Hanung sebel gagara waktu dia garap AAC, si Manoj (boss rumah produksi MD Ent. yg garap AAC) ga mau usahain suting di Mesir, shg AAC-nya Hanung banyak dikritik soal itu?Gitu bukan boss? ;-P