Buku ini memecahkan rekor sebagai buku yang tercepat gue baca. Dimensi buku 150 x 230 mm setebal 426 halaman tamat gue baca dalam 2 hari. Seperti makan kacang sukro, begitu mulai susah berhentinya. Padahal gue selalu beranggapan bahwa gue bukan orang yang tertarik sama politik, tapi ternyata buku ini terasa menarik banget – padahal topiknya adalah pola komunikasi politik.
Dalam pengantarnya, penulis menjelaskan bahwa:
“Komunikasi politik pemimpin bangsa selalu terkait dengan situasi dan kemajuan bangsa yang bersangkutan. Jika seorang presiden lemah komunikasi politiknya, misalnya tidak ada konsistensi atau “asal ngomong”, hampir dipastikan wibawa kepemimpinannya akan melorot.”
Maka itulah topik bahasan utama dari buku ini: mengupas gaya komunikasi keenam presiden yang pernah memerintah Indonesia, dan menganalisis pesan-pesan yang tersirat di baliknya. Penulis mengandalkan referensi berupa buku-buku memoar, kliping koran, dan wawancara dengan orang-orang yang pernah bertemu langsung dengan presiden yang bersangkutan.
Hasilnya, sebuah kajian yang sangat menarik dan berulangkali bikin gue berkata dalam hati, “ooo… jadi gitu toh kejadian sebenernya”. Berita-berita koran yang selama ini membingungkan buat gue karena isinya kutipan para pejabat saling bantah isu, di buku ini dihubungkan satu dengan lainnya sehingga pembaca bisa menilai sendiri siapa yang omongannya paling bener.
Yang menarik dari buku ini adalah: walaupun secara umum disajikan dalam bentuk karya tulis ilmiah, dalam arti setiap argumen disertai referensi penguat sehingga relatif bebas dari subyektivitas penulis, tapi pemilihan kosa katanya termasuk santai. Makanya jangan heran kalo kata-kata seperti ‘sangar’ atau istilah ‘dikocok ulang’ untuk konteks ‘reshuffle kabinet’ bermunculan di buku ini.
Bab yang paling ‘lucu’ (baca: miris) adalah bab tentang Gus Dur dan Megawati. Gus Dur hanya mampu melek sampe jam 10 pagi, setelah itu tidur. Padahal, rapat kabinet justru biasanya baru mulai jam 10 pagi. Jadi, selama pemerintahan Gus Dur, boleh dibilang negara ini dipimpin sambil tidur. Kalo hari Jumat lebih seru lagi, karena setelah salat Jumat Gus Dur sering mengeluarkan pernyataan yang aneh-aneh kepada wartawan.
Lain lagi dengan Megawati. Rupanya aksi diamnya yang terkenal itu bukan cuma diberlakukan saat ketemu wartawan, tapi juga waktu rapat kabinet. Jadi biar kata di depannya ada 2 menteri yang bersitegang, ibu presiden cuma bengong aja duduk manis. Dia cuma nampak bersemangat kalo diajak ngobrol soal… shopping! Yang bikin gue ngakak dari bab yang mengulas presiden kita yang satu ini adalah pernyataannya saat menjamu para kader PDI-P pasca kekalahannya di Pemilu 2004; “Kita bukan kalah, tapi kurang suara!” (hal 285). Yah, sama lah bu, kaya orang balap lari: dia bukan kalah, tapi kurang kenceng larinya, bukan?
Serunya lagi, buku ini juga menggambarkan betapa orang-orang di sekitar presiden bisa punya pengaruh yang luar biasa besar terhadap pengambilan keputusannya. Di jaman Suharto ada Ali Moertopo, yang sepak terjang underground-nya bisa bikin banyak orang yang sebenarnya kompeten malah kena gusur dan di-Dubes-kan. Di era pasca reformasi, ada satu tokoh yang rupanya saking geregetan penasaran ingin menguasai kursi presiden, kerjanya bikin move-move politik yang akhirnya bikin semuanya jadi kacau balau.
Buku ini penting dibaca menjelang pemilihan presiden yang akan datang, karena hampir semua calon presiden yang akan maju di Pemilu 2009 ikut diulas dalam konteks sepak terjangnya di masa lalu. Mengutip slogan salah satu parpol belakangan ini: “Awas, Jangan Bohongi Rakyat Lagi”. Jangan mau dibohongi, guys, termasuk oleh orang yang memperingatkan orang lain agar tidak membohongi rakyat.
Walaupun buku ini layak dapat bintang 5 di mata gue, tetap ada beberapa kelemahan antara lain:
- Tingkat kedalaman yang nggak seragam. Beberapa presiden nampak diulas habis-habisan secara mendalam, sementara lainnya terkesan selewat doang. Tapi ini bisa gue pahami mengingat ketersediaan sumber referensi untuk setiap presiden pastinya nggak sama.
- Beberapa typo kecil yang justru karena sangat jarang ditemukan di buku ini, malah terasa sangat menonjol. Yang paling lucu, dan mudah-mudahan nggak disengaja oleh penulis, adalah kesalahan penulisan nama adik Presiden Mega yaitu “Guruh Soekarnoputri” . Yah, memang ybs rada ‘melambai’ sih, tapi sampe hari ini kan belum sampe ‘operasi’ :-))
Terlepas dari topiknya yang membahas pola komunikasi politik, buku ini sebenarnya juga bisa dilihat sebagai studi kasus gaya kepemimpinan: apa kelebihan dan kekurangannya, serta pesan moral tentang esensi dari kepemimpinan itu sendiri. Satu hal yang bikin gue miris setelah baca buku ini: bahwa ternyata negara kita lebih banyak dipimpin oleh orang-orang yang sibuk mengamankan kekuasaan kelompoknya, ketimbang mikirin nasib rakyat…

Tinggalkan Balasan ke ngbmulty Batalkan balasan