Doroymon: A Wonderful Masa Jadul

 photo Doroymon__A_Wond_4e35225c05ccb.gif
Long weekend kemarin bener-bener masa yang sibuk buat dunia bacaan gue. Gue memulai baca 3 buku, dan tiga-tiganya ternyata susah dihentikan sebelum selesai. Ini buku ke dua yang gue tamatkan, buku komunikasi politik presiden yang ke tiga.

Terus terang, saat ngeliat penampakan covernya yang penuh dengan warna-warna ‘dangdut’ gue rada under estimate sama buku ini (hehehe… sorry ya Roy :-))). Kirain ini sekedar buku ABG-style yang belakangan ini lagi booming, dengan tuLi54n geD3-kEciL dan huruf-huruf berulang mubazir (misal:”maca ciiiiiiih….” atau “caaaaaaaaaaapeeeee deeeeeeh”). Ternyata, buku ini cukup menghibur, dan yang lebih penting: ‘berisi’.

Isinya menceritakan pengalaman pribadi sang penulisnya waktu kuliah di teknik Industri Universitas Indonesia, angkatan 2003. Diceritakan mulai dari saat ospek mahasiswa baru sampe masa kelulusannya. Gimana dia mulai kenalan dengan temen-temen barunya, dan gimana perkenalan itu akhirnya berkembang jadi persahabatan.

Yang menarik adalah keisengan (baca: kejelian) si penulis menangkap kebiasaan-kebiasaan unik orang-orang di sekitarnya yang membuat tokoh-tokoh dalam buku ini menjadi ‘hidup’. Contohnya waktu dia menggambarkan salah seorang seniornya yang suka ‘muncrat kalo ngomong:

Ada satu senior yang ketika jadi orator suka muncrat ketika berteriak. Entah karena dia niat atau kelenjar salivanya memiliki kelainan tersendiri. Setiap kali dia meneriakkan kata yang mengandung huruf P, dia pasti memuncratkan ludah dengan gembiranya. Huruf P, dia lafalkan Ph.

“PHOSISI HUKUMAN!”
hal. 14-15

Bagian pertama yang berhasil bikin gue ngakak adalah penggambaran tentang yel kelompok yang diciptakan dalam keadaan tertekan oleh ancaman para senior, sehingga hasilnya adalah sebuah yel konyol yang mirip lagu “gingga guli-guli watchout ginggagu-ginggagu”. Huhuhu… konyol abis!

Cerita terus berlanjut, antara lain tentang seorang dosen yang hobi ngasih ujian isian dalam versi yang ajaib seperti ini:

“Ketika….., maka akan terjadi………., lalu terjadi………., sehingga menyebabkan……, yang menyebabkan………”

Yang istimewa dari buku ini adalah karena dia bukan cuma menjual kekonyolan demi kekonyolan dalam kehidupan seorang mahasiswa, tapi juga pesan-pesan moral mengenai makna persahabatan.

Di langit sana, kembang api bermain dengan indah. Warna-warni mengisi hitamnya malam. Kami semua berlari keluar dari tenda, berebut ingin menyaksikan kembang api itu. Teman-teman angakatan 2003 berdiri berjejeran. Beberapa merangkul pundak di sebelahnya. Yang lain bergoyang pelan mengikuti irama.

Gue nggak nyangka anak teknik ada yang melo… hahaha!

Secara keseluruhan, buku ini menghibur dari awal sampe akhir. Gaya penuturan yang membuka setiap bab dengan penggalan peristiwa di masa yang berbeda juga cukup efektif, bikin alur cerita jadi nggak monoton. Walaupun begitu, ada beberapa hal yang terasa rada mengganjal dari buku ini, antara lain:

  • Jumlah tokoh yang terlalu banyak, padahal nggak semuanya berperan terlalu penting dalam cerita. Mungkin karena cerita buku ini diangkat dari pengalaman Roy semasa kuliah, maka diceritakanlah (hampir) seluruh temen-temen seangkatannya. Akibatnya, di beberapa bagian gue sebagai pembaca jadi rada kehilangan fokus karena saking banyaknya nama yang harus dihafal.
  • Gaya joke Adhitya Mulya dan Raditya Dika masih terasa cukup dominan dalam buku ini. Misalnya, penggambaran suara yang “cempreng mirip suara Tompi kalo lagi ketimpa truk ayam”, gaya bercerita yang tiba-tiba ngelantur di sebuah paragraf dan di paragraf berikut balik lagi ke fokus dengan kata pembuka “Anyway…”, serta khayalan menyiksa seseorang yang bertingkah ajaib dengan menggunakan benda berat yang tumpul, terasa seperti gayanya Adit banget. Sementara gaya Dika muncul dalam ketertiban penggunaan “Rule of Three” yang agak terlalu tertib, sehingga lama-lama jokenya jadi ketebak. Maksudnya, dalam tulisan-tulisan Dika, biasanya suatu peristiwa dideskripsikan dengan dua kondisi yang normal dan diakhiri dengan kondisi ke tiga yang nyeleneh. Gaya yang sama muncul cukup sering dalam buku ini, misalnya:”Lho Bang, kok begini?”
    “Biar nggak gampang patah.”
    “Lho Bang, kok begitu?”
    “Biar nggak gampang patah.”
    “Lho Bang, kok pipisnya dipegangin?”
    “Biar nggak gampang patah.”

Selebihnya, buku ini nyaman untuk dicerna, dan gue harus bilang penulisan bab terakhirnya bagus banget. Gue tunggu buku berikutnya, Roy! 🙂

8 comments