Pertama kali baca buku ‘Keajaiban di Pasar Senen’ (KDPS) waktu gue masih SD, kalo ngak salah, nemu di tumpukan koleksi buku kakak gue. Penerbitnya waktu itu kalo nggak salah Balai Pustaka, atau kalaupun bukan ya tampilannya sebagaimana umumnya buku-buku BP deh, dengan ilustrasi cover gambar abstrak berwarna biru gelap dan merah. Pokoknya tampilan buku itu sebenernya kurang menarik untuk seorang anak SD, tapi gue penasaran dengan judulnya, “Apanya yang ajaib sih di pasar senen?”
Ternyata buku ini menceritakan tentang ulah para seniman di pasar Senen, di era tahun 50-an, dalam bentuk kumpulan cerita. Gue nggak tau cerita-cerita ini beneran terjadi atau enggak, yang jelas dituturkan dengan sudut pandang orang pertama (“saya”). Si “saya” dalam cerita-cerita ini menggambarkan dirinya sebagai orang kantoran yang awam soal seni, tapi setiap hari nongkrong bareng seniman-seniman di pasar senen. Oh, ternyata di tahun 50-an belum ada Ancol atau TIM, jadi mereka nongkrongnya di Pasar Senen.
Maka keunikan demi keunikan mengalir dalam cerita, hasil tabrakan antara sudut pandang orang kantoran dengan tingkah nyentrik para seniman. Tentang gimana para seniman yang sehari-harinya hidup susah karena pendapatan nggak tentu tapi idealis dan gengsian, ogah menadahkan tangan sekalipun cuma untuk minta rokok.
Contohnya tokoh Asmar, dalam cerita berjudul sama dengan bukunya; “Keajaiban di Pasar Senen”, halaman 1:
Dipandanginya saya dengan pandangan sayu setelah tiga perempat menit saya duduk di sampingnya. Dipandangnya dalam-dalam. ada sesuatu yang sedang ditelaahnya pada diri saya. Dan ketika rupanya ia kurang pasti akan hasil penyelidikannya, maka bertanyalah Asmar.
“Ada rokok kau?”
Yang luar biasa dari buku ini adalah, dengan gaya bahasa yang sangat “Indonesia” khas 50-an, pengarangnya bisa mengolah cerita jadi kocak, bikin gemes, seru, dan kadang mengharukan juga. Sudut pandangnya kadang iseng dan jail, kadang sinis, tapi juga bisa tulus dan penuh persahabatan.
Cerita tentang Rebin, misalnya, pelukis abstrak yang kurang dapat pengakuan. Lukisannya dinilai jelek, bahkan oleh para pelukis abstrak lainnya. Dia anak juragan batu akik di kampung, dan bapaknya berpendapat lebih baik dia ikut jualan batu akik ketimbang corat-coret bikin lukisan nggak jelas. Atau tentang Rusli, penulis yang hampir nyerah jadi penulis karena capek hidup kekurangan, dan mencoba melamar kerja jadi pegawai.
Salah satu favorit gue adalah cerita tentang Yanto, yang tergila-gila sama seorang gadis bernama Nunung Zubaedah (nama-nama yang berseliweran di buku ini memang makin bikin gue ketawa sampe sakit perut). Tiap kali dia kirim puisi cinta buat si Nunung pujaan hatinya ini, dengan penggambaran sebagai gadis yang ‘memegang surga di tangan kanan dan seluruh dunia di tangan kirinya’.
Waktu akhirnya Yanto berhasil menikahi Nunung Zubaedah, seluruh komunitas seniman Pasar Senen berduyun-duyun datang karena…
…ingin melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana rupa orang yang sedang memegang surga di tangan kanan dan seluruh dunia di tangan kirinya.
Buku ‘…oh, film’ juga ditulis dengan gaya yang sama, tapi kali ini spesifik tentang kehidupan orang-orang di dunia perfilman tahun 1950-1960. Ceritanya seputar para figuran yang mengais recehan dengan muncul satu dua kelebat dalam film, dan membual kesana-sini soal peran besarnya. Tokoh Imam Kromo, misalnya, sampe berantem sama orang gara-gara diledekin soal ‘close-up’. Imam udah kadung sesumbar bahwa di salah satu film yang difiguraninya, dia diambil close-up beberapa kali. Ternyata adegan close-upnya nyangkut di meja editor, sehingga dia jadi bulan-bulanan temen-temennya. Karena kesel diledekin melulu, dia main tangan. Sialnya, orang yang ditonjoknya ternyata lebih jago berantem!
Selain tentang para figuran, juga ada cerita gimana pengalaman tokoh ‘saya’ menemani seorang wartawan mewawancara seorang artis terkenal. Dodolnya, semua jawaban si artis malah direkayasa sendiri oleh wartawannya, demi kepentingan pembangunan citra publik.
“Hobi lainnya?” tanya saya.
“Berenang, jemur badan, main tenis, anggar, jalan-jalan, dansa,” jawabnya secepat peluru mitraliur, sudah hafal benar dia.
“Mengurus rumah tangga dan masak, tidak?” tanya Ramli.
“Eeee… saya kurang sukai.”
“Sebaiknya saya kira, kita tulisa sajaZus suka dan tidak jarang mencuci pakaian sendiri,” kata Rambli.
“Ah, saya tidak pernah begitu!” jawab si bintang setengah membentak.
“Tetapi kalau ditulis begitu akan tambah banyak penggembar Zus. Ibu-ibu rumah tangga membanggakan Zus dan pria-pira akan suka sekali pada wanita-wanita yang seperti itu,” Ramli menerangkan.
Bukan cuma potongan-potongan cerita unik yang bisa kita dapet dari buku-buku ini, tapi juga potret keadaan masyarakat tahun 1950-an yang menarik banget. Kedua buku ini diterbitkan ulang oleh KPG dengan perwajahan yang jauh lebih menarik dan ejaan yang udah disempurnakan. Di buku KDPS bahkan ada beberapa cerita tambahan yang belum ada di versi aslinya. Dua buku yang sangat gue rekomendasikan buat yang butuh bacaan ringan tapi berbobot 🙂
Sedangkan siapa Misbach Yusa Biran sebenarnya, gue baru tau setelah baca profil pengarang di buku versi baru ini. Ternyata dia sama sekali bukan ‘orang kantoran awam seni’ seperti yang digambarkannya dalam buku-buku ini, melainkan seorang wartawan senior dan sutradara yang memenangkan sejumlah penghargaan!
Dasar guenya yang kuper.

Tinggalkan Balasan ke rayafahreza Batalkan balasan