The Tarix Jabrix

Nonton film ini serasa nonton rekaman video handycam sekumpulan anak iseng yang bertingkah aneh. Bukan karena sengaja kepingin sok aneh, tapi karena memang begitulah adanya mereka – cuma kebetulan aja kontras dengan situasi yang melingkupinya.

Ceritanya tentang seorang remaja Bandung biasa-biasa aja bernama Cacing alias Caca Sutarya yang tiba-tiba ingin tampil lebih keren dengan menjadi anggota geng motor. Belum-belum dia udah merasa konflik batin karena persyaratan untuk bergabung cukup berat, antara lain harus berani melanggar peraturan lalu lintas dan harus durhaka pada orang tua. Padahal, Cacing sangat menghormati ibunya dan takut dikutuk jadi batu seperti Malin Kundang.

Ada tiga tes yang harus dijalani supaya lulus. Tes pertama: uji ketahanan dengan cara digebuki pria bertubuh kekar. Cacing yang kurus kering ini gagal. Tes ke dua, uji kekejaman dengan menjambret tas ibu-ibu di pinggir jalan. Lagi-lagi Cacing gagal karena ingat nasehat ibunya agar menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Tas udah berhasil dijambret, eh dia balik lagi karena nggak tega ngeliat korbannya tergeletak di pinggir jalan. Tes ke tiga: uji keterampilan dengan cara mengendarai motor tanpa lampu dan tanpa rem. Walaupun sudah baca bismillah berkali-kali, Cacing juga gagal karena menghindari anak kucing nyeberang jalan. Kesimpulannya, Cacing nggak lulus ujian masuk geng motor.

Sebagai gantinya, Cacing akhirnya bertekad mendirikan geng motor sendiri dengan mengajak 4 orang temannya – yang sebenernya bukan tipe ‘anak motor’ sama sekali. Dadang, misalnya, kedekatannya dengan dunia motor hanya karena bapaknya punya bengkel motor. Mulder, malah nggak punya motor sama sekali karena dilarang oleh Papa. Demi mengikuti ajakan Cacing, dia terpaksa minjem motor supirnya. Sedangkan si kembar Coki dan Ciko, punya motor tapi hanya satu yang bisa nyetir motor – jadi yang satunya cuma bisa ngebonceng. Cacing mendeklarasikan geng motornya sebagai geng motor yang patuh peraturan lalu lintas dan menghormati orang tua.

Selanjutnya, film ini bercerita tentang petualangan Cacing dan The Tarix Jabrix, geng motor ciptaannya melawan geng motor lain yang disinyalir terlibat narkoba. Sebagai bumbu, tak lupa dihadirkan unsur percintaan lewat sosok Calista, teman sekolah Cacing sekaligus adik pentolan geng motor rival The Tarix Jabrix.

Sebagai film, sebenernya “The Tarix Jabrix” (selanjutnya gue singkat TTJ) punya modal yang cukup untuk jadi populer. Dia mengangkat tema geng motor Bandung yang belakangan sempet jadi omongan tingkat nasional karena meresahkan masyarakat. Tapi entah kenapa gaungnya nggak terlalu kedengeran. Gue baru tau tentang keberadaan film ini sekitar akhir April – padahal dia udah diluncurkan sejak 2 minggu sebelumnya. Mungkin dana promosinya kurang gede kali ya? Atau poster filmnya yang kurang menarik? Coba aja liat, selintas orang mungkin nggak nangkep judul film ini karena judul film ditulis dengan font yang terlalu kurus dan warna yang kurang kontras dengan background. Mungkin lho…

Padahal, gue yakin tema-tema alternatif seperti TTJ banyak ditunggu oleh penonton seperti gue, yang udah nyaris muntah liat rombongan film bertema horror belakangan ini. TTJ sukses membangun komedi situasi, di mana kelucuan dibangun dari kontras sifat para tokoh dengan situasi sekitar. Sifat Cacing yang hormat pada orang tua, misalnya, kontras dengan kehidupan geng motor yang ‘keras’. Juga fakta konyol bahwa kok ya ada sih, anggota geng motor nggak bisa nyetir motor seperti si kembar Coki dan Ciko… Buat “orang Bandung” yang paham dengan idiom-idiom khas Bandung juga akan menemukan banyak dialog yang “Bandung tea“, bertebaran mencuri senyum di sepanjang film.

Sedangkan kelemahan film ini adalah kurang faktor cerita yang berpotensi bikin penonton penasaran dengan akhir filmnya. Adegan demi adegan lucu mengalir, tapi di sekitar pertengahan film gue mulai bertanya-tanya ceritanya mau dikembangin ke arah mana. Mungkin kalo konflik dengan geng motor rival dimulai lebih awal bisa memancing rasa penasaran penonton.

Adegan Cacing naik motor dengan gaya bodor muncul terlalu sering. Awalnya lucu tapi pas ke sekian kalinya mulai rada garing. Ceramah Cacing tentang cita-cita membangun geng motor teladan juga terasa rada berlebihan karena diulang-ulang di beberapa adegan.

Tapi terlepas dari kekurangannya, gue suka banget dengan TTJ. Para aktor pendukung seperti Joe Project P dan cameo sang produser sekaligus “supervising director” (emang lazim ya, jabatan kaya gini di dunia perfilman internasional? baru denger gue) berhasil mencuri perhatian. Dan yang lebih penting; gue salut dengan keberanian film ini tampil di tengah arus besar film horror bodoh dan film percintaan basi.

Buat yang tertarik nonton, buruan! Minggu ini TTJ udah mulai terdesak ke bioskop kelas B dan C. Gue nggak yakin TTJ bisa bertahan lebih dari 2 minggu lagi di layar jaringan 21.

24 comments


  1. Anak 10 th boleh nonton gak sih? kalo AAC anakku nonton, dan g nt slalu sama anak.Wkt itu udah sampai 21 mo nt Spiderwick, tyt filmnya dah gakda, yang ada si tarix itu, namun berhub ragu lihat posternya kok kayanya kaya film jadul, akhirnya batal deh.


  2. mywriting said: sayang banget ya bisa ga sampai box officeapa dikirimi surat gitu sama om mbot. isinya minta poster direvisi dan promosi lebih gencar? 😀

    wahahaha… trus yang harus nombokin biaya promosinya siapa…?


  3. jomblo said: ini film komedi yang paling bagus yang gua pernah liat. Adegan paling tak terlupakan adalah yang Cacing dikejar bencong. Yang jadi bencong si candil seurieus. Ancur!

    mustinya dia nyanyi lagunya serieus ya… pasti lebih lucu


  4. fandhiee said: wah gw dah cukup puas dengan baca reviewnya aja… 😛

    kalo gue nulis review film jelek, pada males nonton… kalo gue nulis review film bagus, merasa puas dengan reviewnya aja… serba salah ;-p


  5. ciput said: Posternya lebih mirip konser musik yg disponsori rokok sih :DGw belon nonton sih, tapi udah tertarik, cuma tau ndiri gimana caranya nonton tanpa anak2 khan?

    anak2 titip di rumah eyang aja.. 😛 *solusi populer di kalangan keluarga indonesia