Sebelumnya perlu gue informasikan dulu bahwa gue belum baca novel “ayat-ayat cinta”, jadi review ini murni penilaian gue atas filmnya tanpa membandingkan dengan bukunya.
WARNING: MILD SPOILER AHEAD
Alkisah hiduplah Fahri, seorang mahasiswa Indonesia yang lagi kuliah pasca sarjana di Universitas Al Azhar Mesir. Fahri ini ganteng, baik hati, rajin sholat, sopan santun, gemar menolong dan tidak sombong. Pendeknya, tinggal tambahin mobil BMW sama rumah mewah, jadilah dia si Boy.
Saking kharismatiknya si Fahri ini, sampe aneka jenis cewe dari seantero Mesir lintang pukang naksir sama dia. Mulai dari Maria – tetangganya, Nurul – temen kuliahnya, Aisha – kenalan di kereta api, sampe Noura – korban bayi ketuker di RS.
Saking banyaknya yang naksir, tentunya Fahri menjadi bingung. Tapi akhirnya, dia mengambil langkah yang bijaksana namun realistis, yaitu mengawini cewe yang paling kaya. Sebagai akibatnya, 1 cewe stress sampe sekarat, 1 cewe nekad minta dipoligami, dan 1 cewe kalap lapor polisi. Akhirnya, Fahri masuk penjara karena fitnah.
Secara umum, film ini lumayan ‘menyegarkan’ karena settingnya yang nggak umum – yaitu kehidupan para mahasiswa Indonesia di Mesir, dan latar belakang tokoh2nya yang sangat Islami. Tapi sayangnya, berbagai kendala yang menghambat proses pengambilan gambarnya ternyata kebawa juga sampe ke layar. Setting Mesirnya nampak kurang meyakinkan, sehingga tema utama yang seharusnya ‘eksotis’ ini jadi rada kurang greget.
Walaupun nggak ada yang menonjol banget, para pemainnya bekerja dengan lumayan ‘mulus’. Cuma satu yang gue rasa cukup mengganggu yaitu pemilihan Surya Saputra sebagai pamannya Aisha. Ngeliat dia muncul di layar dengan tampang yang ‘Surya Saputra banget’ tapi ditempeli jenggot dan gamis malah bikin geli. Dandanannya malah mirip dandanan bintang tamu di Extravaganza, tau nggak sih. Waktu gue nonton di bioskop Setiabudi 21, tiap kali Surya muncul penonton pada ketawa. Bikin mood romantis jadi nge-drop banget.
Walaupun belum baca bukunya, tapi nonton paruh pertama film ini memang terasa banget dia ‘kejar setoran’ ingin memampatkan sekian ratus halaman novel ke dalam beberapa belas menit jam tayang film. Adegan-adegan berganti-ganti dan walaupun nggak sampe memusingkan tapi lumayan bikin nggak nyaman aja. Rasanya kaya lagi ngunyah tahu goreng trus dijejelin kue cubit, klepon, dan emping melinjo. Sisi baiknya, gue jadi nggak ngantuk – walaupun sebelumnya gue nggak terlalu tertarik sama film ini, orang niatnya sekedar nemenin Ida doang kok.
Begitu masuk paruh ke dua, saat Fahri mulai masuk penjara, nah mulai deh waktunya tidur-tidur ayam. Alurnya jadi terasa lambaaat banget, dan mulailah muncul kebiasaan buruk para pembuat film Indonesia: ceramah. Teman satu selnya Fahri mendadak jadi filsuf yang ngoceh aneka petuah-petuah bla-bla-bla. Segi bagusnya, di bagian ini muncul tokoh pengacara dari Indonesia yang diperbantukan untuk membebaskan Fahri. Sepanjang proses persidangan dia cuma mengajukan 1 usulan bodoh yang langsung ditolak oleh hakim, dan matanya nampak berbinar setuju saat pihak keluarga mulai putus asa dan timbul ide menyuap hakim. Lho, apa bagusnya? Bagus, karena ini gambaran yang sesuai dengan kenyataannya. Ups.
Singkat cerita, Fahri berhasil lolos dari hukuman. Dia disambut meriah oleh temen-temennya. Semua senang. Saat yang baik untuk menamatkan film. Tapi rupanya waktu mas sutradara beli rol film lagi ada promo “buy 1 get 1”, jadi rol filmnya masih kelebihan. Sayang kalo nggak dipake. Maka mas sutradara memutuskan untuk melanjutkan film dengan menceritakan kehidupan Fahri selepas masa tahanan dengan 2 istri. Nah, mulai dari titik inilah film terasa makin ke belakang makin sinetron banget, dengan cucuran air mata setiap 3 menit sekali. Malesin banget.
Kesimpulan:
Plus points: setting dan tema cerita unik, theme songnya enak, para pemainnya enak diliat, dan paruh pertama nggak ngebosenin untuk ditonton orang yang kurang niat seperti gue.
Minus points: Surya Saputra, pemilihan titik ending yang kurang pas, kegagalan menahan nafsu ceramah, paruh terakhir yang sinetron banget, Surya Saputra (iya memang dua kali soalnya kemunculannya gangguuu… banget).
Penilaian akhir: 3 bintang – bukan film yang buaguuus banget, tapi OK lah.

Tinggalkan Balasan ke kangbayu Batalkan balasan