Tahu ini, denger-denger akan ada perbedaan waktu lebaran lagi. Ada sebagian orang yang akan merayakan Idul Fitri tanggal 12 Oktober, dan ada yang tanggal 13 Oktober.
Perbedaan ini, setau gue, akibat perbedaan metode penentuan tanggal. Ada yang pake rukyah (melihat kemunculan bulan baru) dan ada yang pake hisab (perhitungan matematis). Soal yang mana yang lebih tepat untuk jadi acuan, gue nggak ikut-ikut deh. Yang gue masih nggak ngerti sampe sekarang adalah, kalo terjadi perbedaan penentuan tanggal kaya gini, terus gimana dengan orang yang memanfaatkan kalender hijriyah sebagai standar kalender utamanya?
Misalnya gini:
Tuan Mahmud dari Arab Saudi mau ketemuan sama Tono, rekanan bisnisnya dari Indonesia. Jauh-jauh hari Tuan Mahmud udah kirim e-mail, bilang bahwa dia akan mendarat di bandara Sukarno Hatta tanggal 17 Syawal. Tono menyanggupi untuk menjemput.
Kalo kemudian Tuan Mahmud punya perhitungan tanggal 1 Syawal yang 1 hari lebih awal dari Tono, maka dia akan sampe di Bandara Sukarno Hatta tanggal 16 Syawal (menurut perhitungan Tono), yang mana mungkin pada tanggal tersebut Tono sedang ada janji dengan koleganya yang lain sehingga nggak bisa datang menjemput. Trus gimana dong?
Lebih jauh lagi, kalo kita berpedoman pada tanggalan yang 1 hari lebih cepat, maka ke depannya tanggalan kita akan terus 1 hari lebih awal. Misalnya, saat tanggalan kita udah menunjukkan tanggal 16 Syawal, makan tanggalan orang lain masih 15 Syawal, dst dst dst sehingga pada secara teoritis, kita bisa merayakan tanggal2 penting lainnya seperti Isra Miraj dan tahun baru hijriyah lebih awal. Tapi kenapa gue nggak pernah denger ada perselisihan mengenai penetapan tanggal awal tahun baru hijriyah? Apakah artinya setelah tanggal 1 Syawal ada sebuah hari tak bertanggal, untuk me-‘reset’ perbedaan rukyah vs hisab?
Buat yang lebih ngerti soal ginian, atau yang punya pengalaman menganut sistem penanggalan hijriyah, gue tunggu sharingnya ya. Penasaran, nih.
*gambar bulan sabit gue pinjem dari sini

Ada komentar?