PERINGATAN:
- Walaupun ini nampak seperti review, dan gue posting di section review, ini bukanlah review (Eriq jangan protes). Ini adalah ekspresi perasaan, tumpahan unek-unek setelah nonton film “Terowongan Casablanca”. Jadi kalo ada di antara kalian yang merasa posting ini terlalu ‘bias’ atau ‘subyektif’; MEMANG IYA BANGET KOK.
- Posting ini puanjang banget. Jangan baca kalo lagi sibuk.
- Awas spoiler. Bukannya ‘banyak’ spoiler – tapi seluruh posting ini adalah spoiler semuanya.
Di manakah Anya?
Film dibuka dengan adegan sebuah mobil mercy melintas malam-malam di jalan Jenderal Sudirman. Penumpangnya antara lain diperankan oleh Ray Sahetapy, sedangkan yang dua lagi, seorang laki-laki dan seorang perempuan, nggak gue ketahui namanya karena tidak cukup penting (bukan lantas berarti Ray Sahetapy adalah penting). Dari pembicaraan yang terjadi, terkesan mereka baru pulang dari ‘ajeb-ajeb’. Si perempuan menggelayut manja pada Ray Sahetapy. Ia mengajak ‘lanjut’ karena merasa dirinya saat itu sudah ‘kenceng’. Entah kegiatan apa yang diusulkannya, mungkin sejenis perlombaan (sebab apa lagi yang lazim dilakukan orang2 kenceng kalo bukan berlomba?).
Di tengah jalan, penumpang ke tiga yang duduk bagaikan obat nyamuk di jok belakang melihat bayangan misterius melintas di luar mobil. Ia lantas meminta Ray Sahetapy menepi sebentar untuk memeriksa. Ray Sahetapy menurutinya. Tentu saja mereka nggak menemukan apa-apa di luar mobil. Ray Sahetapy lantas meneruskan perjalanan. Mereka melintasi Terowongan Casablanca. Kali ini giliran Ray Sahetapy yang melihat sosok aneh di luar mobil. Ia panik, lantas gambar berikutnya menunjukkan mobil telah ringsek.
Adegan berpindah, kali ini menampilkan tokoh bernama Tari yang sayangnya nggak gue ketahui nama pemerannya karena kurang penting (tapi, sekali lagi, bukan berarti Ray Sahetapy penting). Bila dilihat dari seragamnya, Tari adalah seorang siswi SMA. Namun bila dilihat dari make-up di wajahnya, nampaknya dia seorang staff administrasi sebuah BUMN yang 2 bulan lagi akan menerima piagam 10 tahun masa kerja. Tari sedang bersama pacarnya yang bernama Refa, diperankan oleh VJ Nino (ini gue tahu karena kebetulan dibahas di salah satu website – bukan karena dia lebih penting dari Ray Sahetapy). Refa mengajak Tari menghadiri pesta perayaan lulus sekolah. Tadinya Tari menolak tapi akhirnya mau juga.
Adegan berpindah menyorot suasana sebuah ‘rave party’ – ada DJ dan tarian erotis segala. Kamera menyorot Refa dan Tari sedang bermesraan, lantas tidak lama kemudian Tari mengucapkan sebuah kalimat yang denger-denger sebentar lagi akan dirayakan sebagai “kalimat yang telah diucapkan sebanyak 1.500.000 kali dalam sepanjang sejarah perfilman dan persinetronan Indonesia” yaitu:
“Tapi… bagaimana jika aku nanti hamil?”
Seandainya gue menjadi penulis skenario film ini, maka gue akan membuat tokoh Refa menjawab,
“Tentu saja kau akan menjadi gendut dan kebelet pipis 5 menit sekali”
…tapi sayangnya gue bukanlah penulis skenario film ini sehingga tokoh Refa menjawab dengan bujukan bahwa semua akan baik-baik saja dan ia pasti akan bertanggung jawab atas segalanya.
Adegan berpindah menyorot sosok seorang mbak-mbak yang diperankan oleh Five V (ini gue ketahui karena Ida mengenali wajah Five V, bukan karena ia terlihat lebih penting daripada Ray Sahetapy maupun VJ Nino). Mbak Five V nampak sedang menelepon seseorang menggunakan HP, tapi kelihatannya HP orang yang dituju malah berbunyi di dekatnya. Ia memungut HP tersebut dan menemukan SMS undangan rave party.
Adegan berpindah, kali ini menampilkan Refa dan Tari sedang main tindih-tindihan di sudut arena ‘rave party’. Nampak Mbak Five V memasuki arena ‘rave party’, celingukan. Pindah adegan lagi, nampak Tari sudah selesai main tindih-tindihan dan sedang memakai celana dalam. Nampaknya celana dalam Tari kesempitan karena ia nampak meringis-ringis saat memakainya. Tiba-tiba masuklah Mbak Five V ke dalam ruangan dan langsung mendamprat Tari, “Heh! Mana Anya? Awas kamu ya, kalau Anya sampai kenapa-napa!”
Mbak Five V juga menasehati Tari agar tidak mudah percaya pada Refa sebab bila Tari sampai ‘kenapa-napa’, Mbak Five V meragukan kesanggupan Refa untuk bertanggung jawab. Untunglah tidak lama kemudian Refa kembali masuk ke ruangan dan menyelamatkan Tari dari amukan Mbak Five V.
Serius nih, di mana sih si Anya?
Konon kabarnya, seorang teman dari temannya keponakan gue ngacir keluar dari bioskop saat film baru berjalan 1/2 jam karena nggak kuat mengahan ngeri nonton film ini. Sedangkan berdasarkan pengalaman gue, batas setengah jam durasi film baru sampai adegan Refa menyelamatkan Tari dari labrakan Mbak Five V. Memang di titik itu gue juga merasa ingin ngacir keluar, tapi untuk alasan yang berbeda yaitu memastikan kepada petugas bioskop apa benar film yang sedang gue tonton ini adalah film horror. Jangan2 tukang proyektornya teledor, masang film “Gairah Malam II”.
Singkat cerita, belakangan terbukti bahwa Tari betulan menjadi ‘bagaimana’ (baca: hamil). Apa daya Refa malah pergi ke Australia untuk melanjutkan sekolah. Maka Tari pun pasrah hingga pada suatu hari Refa pulang untuk berlibur di Jakarta dan dilihat oleh seorang teman Tari. Temannya Tari buru-buru menelepon Tari, memintanya datang ke sebuah cafe dan meminta ‘pertanggungjawaban’ kepada Refa. Ditemani seorang teman, Tari segera berangkat ke cafe naik taksi. Taksi melewati Terowongan Casablanca dan di sana supir taksi membunyikan klakson 3 kali. Saat ditanya alasannya, supir taksi menjelaskan bahwa itu adalah ‘syarat’ agar selamat dari gangguan makhluk halus. Tari juga sempat melihat sekelebat bayangan misterius di pinggir jalan.
Di taksi Tari melamun mengenang saat dia datang ke rumah Refa. Dia ditemui oleh bapaknya Refa yang tak lain dan tak bukan adalah…. Ray Sahetapy! Oooh… jadi Ray Sahetapy itu adalah bapaknya Refa toh, baru jelas di sini. Dalam lamunan Tari digambarkan, Ray Sahetapy memberi tahu Tari bahwa Refa sudah pergi ke luar negeri dan baru pulang 3 tahun yang akan datang. Ray Sahetapy juga memberikan segepok uang kepada Tari, mungkin sebagai pengganti ongkos ‘bagaimana’, namun Tari menolaknya. Perlu dicatat bahwa dalam lamunan tersebut bahwa Ray Sahetapy nampak sehat-sehat saja. Loh, lantas, bagaimana dengan adegan kecelakaan di awal film? Oh, mungkin Ray Sahetapy sudah sembuh dari kecelakaan tersebut.
Di cafe Tari meminta pertanggungjawaban Refa hingga terjadi cek-cok. Refa berusaha menenangkan Tari dan menyodorkan sebotol wiski. Berhubung Tari biasa minum air kendil, baru dikasih wiski seteguk dia langsung teler. Bersama beberapa orang teman, Refa membawa Tari yang sudah teler ke sebuah rumah terpencil. Di sana Refa dihadang seorang bapak cebol yang kemunculannya (diharapkan) cukup mengejutkan (sayangnya enggak). Refa bilang sama si bapak cebol, dia ingin menemui Nyai Pandansari. Siapakah Nyai Pandansari? Apakah ini nama alias bagi si Anya? Kurang jelas.
Adegan langsung berpindah menyorot seorang ibu setengah baya sedang sendirian di rumah. Siapakah ibu ini? Apakah dia yang bernama Nyai Pandansari? Atau jangan-jangan, dialah Anya? Kurang jelas juga. Yang jelas, dia nampak gelisah di dalam rumah, lantas keluar ke teras. Eh ternyata di luar ada di Tari, dengan ekspresi bengong, lagi menggendong bayi. Ibu itu berkata kepada Tari, “tunggu sebentar ya, ibu siapkan air panas untuk mandi”. Tari menjawab, “tidak usah, saya mau istirahat sebentar di sini”. Saat si
ibu membalikkan badan, Tari menghilang. Ibu itu nampak bingung. Gue, lebih bingung lagi.
Terus, bagaimana dengan Anya?
Sejak itu, kehidupan Refa dan teman-temannya menjadi tidak tenang. Refa sering diganggu secara ‘standar’. Maksudnya, gangguan dalam bentuk yang standar dan sudah muncul jutaan kali dalam film2 Suzanna yaitu suara ketok2 di pintu, korden berkibar, dan suara tangis bayi. Suara tangis bayinya mirip suara bayi Rafi sehingga bikin film ini makin tidak serem dan makin bikin gue ingin segera pulang untuk bermain dengan bayi Rafi. Oh iya, mobil Refa juga sempat diganduli kuntilanak di kaca jendela, sebuah adegan yang YA – AMPUN – ALANGKAH – BASINYA – DI – SEANTERO – FILM – HORROR – BAIK – IMPOR – MAUPUN – LOKAL
Selain Refa, 2 orang temannya yang lain yang kita sebut saja bernama Ucup dan Acing juga diganggu (jangan salahin gue kalo milihin nama yang kurang ‘funky’ – habis di sepanjang film nggak dijelaskan siapakah nama mereka). Alkisah Ucup sedang main di rumah Acing yang kebetulan ada kolam renangnya, ditemani seorang cewek yang juga nggak jelas siapa namanya (jangan-jangan… dialah yang bernama Anya?). Ucup sedang santai di atas kasur apung di kolam renang, saat Acing dan si cewek keluar sebentar karena dikirimi SMS iseng oleh seseorang bernama Timbo (kalo yang ini memang bener nama tokoh dalam film).
Saat ditinggal sendirian, Ucup diganggu oleh kuntilanak sehingga mati tenggelam. Yah, memang kalau nasib sedang apes bisa saja orang tenggelam di kolam renang sekalipun airnya cuma setinggi perut. Ketika balik ke kolam, Acing kaget menemukan Ucup sudah mati mengapung. Nah, berikut ini ada sedikit kuis bagi kalian:
Apa yang akan kalian lakukan bila menemukan seorang teman tenggelam di kolam renang?
- Memberikan pernafasan buatan bila mampu dan mengerti tekniknya
- Memanggil dokter / ambulans
- Mengantar korban ke dokter ke rumah sakit
- Menjerit-jerit, mengguncang-guncang tubuh korban, lantas menggendong korban secara sempoyongan sehingga ketika mendadak diganggu oleh kuntilanak menjadi hilang keseimbangan dan jatuh membentur dinding lantas pingsan
Bila jawaban kalian adalah “d” – selamat, kalian berbakat jadi produser film horror lokal.
Anya…? Anya…?
Singkat cerita, Ucup mati dan Acing masuk RS. Di rumah sakit, Acing lagi-lagi diganggu secara standar, yaitu pintu rumah sakit terbuka dan tertutup sendiri, serta korden tertiup-tiup angin. Akhirnya Acing mimpi diseret kuntilanak masuk ke rumah kuntilanak di bawah tanah. Dalam keadaan nggak sadar, Acing berteriak-teriak histeris. Kebetulan, Timbo datang hendak menjenguk.
Melihat temannya sedang berteriak-teriak histeris, Timbo berusaha masuk ke kamar hendak menolong, tapi apa daya pintunya terkunci. Loh, katanya pintunya terkunci kok Timbo bisa melihat keadaan Acing yang sedang histeris? Ya, karena dalam tempo beberapa detik sebelum kedatangan Timbo, pintu kamar Acing telah berubah secara misterius – yang tadinya pintu biasa dengan tempelan “No Smoking”, mendadak menjadi pintu ayun setinggi 3/4 dinding seperti yang biasa ada di film koboi. Kok bisa? Yah, tau sendirilah kuntilanak jaman sekarang, suka iseng mengganti-ganti pintu. Timbo akhirnya berusaha memanjat pintu ayun tersebut (yang nampak dengan jelas bahwa dalam keadaan tidak terkunci – jangankan didorong, ditiup aja terbuka) namun apa daya terlambat. Acing udah keburu mati dicekek kuntilanak.
Karena korban sudah berjatuhan, Timbo mengundang Refa dan beberapa teman lainnya rapat. Timbo memperdengarkan sebuah lagu yang menurut dia adalah ‘demo tape’ band mereka yang mendadak kesisipan suara tawa kuntilanak. Apaaa… ternya mereka adalah anak band? Yap, setelah lewat dari setengah durasi film baru terkuak misteri lainnya yaitu mereka ternyata adalah anak band. Pantesan Timbo sering pakai syal – rupanya karena dia anak band, tadinya kirain karena lagi masuk angin.
Refa yang datang bersama pacar barunya yang bernama Agnes menyatakan diri nggak percaya pada hipotesa Timbo, tapi diam2 melamun mengenang Tari. Dari lamunan Refa penonton disuguhi informasi bahwa ternyata Nyai Pandansari adalah seorang dukun spesialis aborsi dan bukan ibu-ibu yang didatangi Tari sambil menggendong bayi (hmmm… lantas siapakah ibu-ibu itu? Jangan-jangan memang benar, dialah si Anya yang dicari-cari Mbak Five V). Di tengah proses aborsi, Tari berhasil melarikan diri. Refa berhasil mengejar Tari dan membekap MULUT Tari. Tari mati lemas karena dibekap mulutnya oleh Refa. Lho, kok bisa sampe mati? Bukannya orang bernafas melalui hidung, bukannya mulut? Nah, demi kalian semua para pembaca Mbot’s HQ yang setia, gue telah melakukan penyelidikan dan menemukan jawabannya pada gambar berikut:

Setelah dibekap sampe mati, mayat Tari dikuburkan di dekat terowongan Casablanca, itulah sebabnya film ini dijuduli “Terowongan Casablanca”. Sebagai informasi, gue tau bahwa mayat Tari dikubur di Casablanca dari sinopsis di situs resmi film ini – sebab kalo ditonton di filmnya sendiri, nggak jelas mayat Tari dikubur di mana. Pokoknya cuma dikasih lihat Refa gali-gali tanah dengan latar belakang gedung2 tinggi.
Ngomong-ngomong, si Anya belum ketemu lho…
Sementara itu, karena tidak mendapat dukungan dari Refa, maka Timbo mengajak temannya yang lain untuk mengadakan upacara pemanggilan kuntilanak. Caranya adalah dengan menggantung puluhan ceker ayam mentah di tiang-tiang bambu, karena konon itulah makanan kesukaan kuntilanak. (Jadi buat para penggemar dim-sum ceker, hati-hati… hati-hati!) Proses pemanggilan berjalan sukses dalam arti berhasil menghadirkan kuntilanak, bahkan bukan cuma satu namun banyaak… tapi Timbo dkk menjadi ketakutan sendiri lantas tidak diceritakan kelanjutannya.
Adegan berpindah ke apartemen Refa. Saat lagi sendirian, Refa kembali diganggu kuntilanak (rupanya enak bener kuliah di Australia ya, baru masuk kuliah beberapa bulan langsung libur lagi – liburnya lama, lagi). Kali ini gangguannya lebih frontal (walaupun tetap standar), yaitu kuntilanaknya muncul dari berbagai penjuru. Refa berusaha melarikan diri, tapi akhirnya ketangkep juga. Akhirnya Refa diseret oleh kuntilanak dan dilempar dari lantai atas apartemen.
Melihat masalah kian tak terkendali, akhirnya Agnes sang pacar baru mengajak Refa berkunjung ke rumah Tari di kampung. Lho, Refa masih hidup toh? Bukannya tadi abis dilempar dari atas gedung? Yah liat aja bapaknya (Ray Sahetapy), abis kecelakaan mobil bisa langsung sembuh kembali. Pastinya anaknya juga demikian, keturunan cepat sembuh.
Singkat cerita Refa dan Agnes berhasil mencapai rumah Tari di kampung. Mereka disambut oleh… ibu-ibu yang waktu itu didatangi Tari sambil menggendong bayi! Ooh… rupanya dia itu ibunya Tari. Ibunya Tari menyambut dengan wajah misterius dan menunjukkan sebuah kamar tertutup, “Tari ada di dalam sana, langsung masuk saja”
Di dalam kamar, Agnes kesurupan roh Tari dan mengajak Refa main tindih-tindihan. Akibatnya, Refa menjadi gila. Loh, kenapa? Sudahlah jangan banyak tanya. Refa masuk RS jiwa sementara dijelaskan bahwa ibunya Tari juga sudah meninggal saat mendengar anaknya mati di Jakarta. Jadi rupanya yang tadi ditemui oleh Agnes dan Refa adalah ibu jadi-jadian.
Berikutnya, Agnes menelepon Ray Sahetapy, dengan tujuan memintanya berbuat sesuatu untuk menolong Refa. Secara mengejutkan, digambarkan Ray Sahetapy menerima telepon sambil mengenakan penyangga leher – seperti habis kecelakaan. Loh, bukannya tadi u
dah sembuh? Yah memang begitulah konsekuensi segala sesuatu yang bersifat instan, bila cepat sembuh maka cepat sakit lagi.
Ray Sahetapy menyuruh paranormal yang diperankan oleh Ki Joko Bodo (paranormal betulan) untuk menangkap Tari si kuntilanak. Dengan upacara tertentu Ki Joko Bodo berhasil menangkap Tari dan memasang paku di kepalanya. Apakah kuntilanak akan mati bila kepalanya dipasangi paku? Ternyata enggak, tapi minimal saat bergentayangan dia akan mengenakan pakaian yang lebih lazim – tidak pake baju putih kuntilanak yang kurang praktis tersebut.
Begitulah, Tari yang kini tetap bergentayangan namun dengan pakaian normal mengunjungi Refa di RS Jiwa. Refa bermesraan dengan Tari, sampai tiba-tiba menemukan paku di kepala Tari.
“Eh, apaan nih?”
Refa mencabut paku tersebut. Sebagai akibatnya, Tari kembali menjelma jadi kuntilanak dan membunuh Refa dengan paku yang baru dicabut dari kepalanya itu. Selesai.
Oh iya, ngomong-ngomong, sampai akhir film nggak ada kelanjutan tentang siapakah Anya dan apa pentingnya memunculkan Mbak Five V di film ini. Padahal konon menurut berita di koran “Non-Stop”, Five V udah pake acara sewot-sewotan dengan Cut Meymey demi memperebutkan peran ini. Kalo gue jadi Cut Meymey sekarang ini pasti udah merasa bersyukuuur banget gagal meraih peran tersebut.
Kesimpulan
Sepanjang sejarah gue bikin review film Indonesia, setiap kali ada orang yang menanggapi dengan “Oh, kesimpulannya film ini jelek ya? Kalo gitu gue males ah nonton” maka gue akan menjawab dengan “eh, jangan! Nonton aja, selera orang kan beda-beda, siapa tau menurut gue jelek tapi menurut orang lain bagus, bisa aja kan?” Tapi untuk film ini, seandainya ada orang yang jadi males nonton karena baca review ini, maka gue akan bilang “Yak, itu adalah keputusan yang tepat dan bijaksana sekali.”
Maksud gue, dari aneka film yang pernah gue review selama ini, memang masih sangat sedikit yang masuk kategori ‘bagus’, banyak kekurangan, – tapi minimal mereka adalah ‘film’. Mereka adalah hasil kerja keras sebuah tim untuk menghasilkan sebuah karya seni berjenis film. Sedangkan ini? Bener-bener cuma akal2an otak dagang yang ingin mengeruk keuntungan dari sebuah masyarakat yang masih doyan mistik. Mulai dari blow-up insiden jatuhnya helikopter kamera saat shooting yang dihubungkan dengan upacara pemanggilan kuntilanak (beritanya antara lain bisa dibaca di sini) hingga pemutaran perdana yang bikin jengkel masyarakat karena bikin macet (link referensinya ada di bagian akhir posting ini). Yang berbahaya dari fenomena film ini adalah, akal2an publikasinya dibuat sedemikian rupa sehingga masyarakat penasaran dan berbondong-bondong ingin nonton (termasuk gue, jadi penasaran karena sempet 2 kali kehabisan tiket) sehingga film ini sukses secara komersial dan memberikan inspirasi bagi produser2 film lainnya “kalo gitu, next time gue mau bikin film, bikin yang asal aja kaya Terowongan Casablanca – asal didukung publikasi yang OK dijamin laku!” Amit-amit deh kalo film2 Indonesia yang akan muncul kaya gini semua mutunya… hiiiy…
Biasanya, sejelek apapun sebuah film, gue masih berusaha menemukan segi bagus / keunggulannya. Film “Pesan dari Surga” misalnya, walaupun katro tapi pada dasarnya berusaha menghadirkan ide-ide yang ‘besar’ – sayang penyampaiannya aja kedodoran. Film “Koper” walaupun ruwet dan boring tapi minimal gambarnya bagus dan di beberapa bagian menghadirkan simbolisasi yang ‘kena’. Film “Kejar Jakarta”, walaupun penyampaiannya luar biasa bodoh dan garing, tapi minimal masih punya pesan untuk disampaikan kepada penonton. Tapi untuk film yang satu ini, ampun deh, gue nyerah. Udah tata warnanya bikin sakit mata, tata suaranya bikin sakit kuping, kualitas aktingnya bikin sakit perut, dan kalo inget duit yang telah gue bayarkan untuk beli tiket bikin sakit hati. Pokoknya pol-polan deh. Bahkan posternya aja menjengkelkan saking jeleknya, cuma sekumpulan image yang ditumpuk-tumpuk secara asal-asalan pake ilmu Photoshop bab “Mari Berkenalan Dengan Layer”.
Paling-paling, kalopun ada pelajaran yang bisa ditarik dari film ini adalah:
Bila lain kali elo lagi bermesraan dengan pacar, lantas menemukan sesuatu yang mencurigakan nancep di kepalanya, JANGAN DICABUT. Tetap tenang, dan besokannya ajak putus baik-baik. OK?
Referensi:
- situs resmi film “Terowongan Casablanca”
- gambar adegan pembekapan berasal dari sini.
- tanggapan masyarakat yang ‘antusias’ dengan pemutaran perdana film terowongan casablanca

Ada komentar?